Dulu saya belajar agama, tapi sekarang saya belajar tentang agama. Apa bedanya? Dan apa pengaruhnya terhadap model keberagamaan? Pertanyaan bisa dilanjutkan lagi: Apakah lembaga pendidikan seharusnya mengajarkan agama (teaching religion) atau mengajarkan tentang agama (teaching about religion)?
Pertanyaan terakhir ini menjadi perdebatan di Amerika Serikat terutama sejak tahun 1940-an ketika sejumlah putusan pengadilan melarang pelajaran Alkitab di sekolah-sekolah negeri. Hal itu sejalan dengan Amandemen Pertama Konstitusi Amerika yang melarang Kongres membuat undang-undang yang mengukuhkan suatu agama tertentu. Tujuan Amandemen Pertama itu ialah untuk menjaga netralitas negara dan melindungi hak-hak minoritas.
Para guru pun merasa ketakutan mengajarkan materi agama. Baru pada tahun 1960-an, pengadilan membuat putusan yang membedakan antara mengajarkan agama dan mengajarkan tentang agama. Yang pertama berbentuk dakwah dan indoktrinasi dan karena itu dilarang; sementara yang kedua menerapkan kaidah-kaidah ilmiah dan dianggap tidak melanggar Konstitusi.
Tentu saja Indonesia bukan Amerika. Negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia itu tidak mengenal netralitas negara terhadap agama, sebagaimana dipraktikkan di Amerika. Negara memfasilitasi dan memiliki sekolah dan universitas Islam. Sementara itu, tak ada sekolah agama-agama lain yang dibangun oleh negara.
Terlepas dari itu, penting bagi universitas-universitas negeri (dan juga swasta) untuk menyediakan pengajaran dan pembelajaran tentang agama, bukan semata pengajaran agama. Mengkaji, bukan sekadar mengaji.
Belajar Agama dan Dampaknya
Di banyak lembaga pendidikan tinggi di Tanah Air, agama masih kerap diajarkan sebagai bentuk ketaatan atau kebaktian keagamaan. Karena tujuan belajar agama ialah untuk mencapai ketakwaan, betapapun abstrak tujuan itu, maka agama dipelajari dengan semangat menyerap apa pun kata guru/dosen tanpa sikap kritis.
Praktik pembelajaran agama semacam ini bukan hanya berlangsung di sekolah-sekolah yang khusus mendalami agama untuk tujuan kesalihan, seperti pesantren dan seminari, tapi juga terjadi di banyak perguruan tinggi. Agama diajarkan untuk diterima at face value, bukan untuk didiskusikan dinamika dan kompleksitasnya. Jikapun beragam perspektif dikemukakan, tetapi begitu cepat diputuskan hanya satu pendapat yang dapat diterima.
Dengan paradigma yang sempit itu, kompleksitas agama dihindari. Menjadi “Islami” menjadi prioritas utama dan didefinisikan secara sederhana. Bagi mereka, agama itu mudah dan jangan diperumit. Ruang penalaran juga dipersempit. Jika ada yang mencoba memahami agama dengan berbagai kompleksitasnya akan segera dituduh “menuhankan” akal.
Maka, kemalasan intelektual menjelma menjadi tanda-tanda orang saleh. Jangan mengakalkan agama karena akan berujung pada kesesatan. Reinterpretasi ayat-ayat al-Qur’an dilarang. Hadits dan biografi Nabi Muhammad tak boleh dikritisi. Gagasan-gagasan baru ditolak dengan sekadar menyebut ayat al-Qur’an dan hadits, yang mereka pahami telah menjawab semua.
Dampak lanjutannya ialah hilangnya dinamika dan keragaman internal Islam. Yang juga hilang dari kaum Muslim saat ini ialah kesadaran sejarah bahwa melek literasi dan kesalehan pernah jalin berkelindan dan mengantarkan peradaban Islam mencapai puncak kejayaan. Hal itu ditandai dengan warisan kekayaan literatur yang menakjubkan. Lihat, betapa bertumpuk-tumpuk karya para ulama terdahulu. Jika Islam seperti yang mereka bayangkan, ulama-ulama terdahulu tak perlu mengerahkan sedemikian banyak energi untuk menjelaskannya.
Sudah saatnya perguruan tinggi kita memberikan pengajaran tentang agama. Anak didik perlu diperkenalkan dengan keragaman pandangan. Mereka jangan dipaksakan menerima satu pandangan tertentu. Mereka juga perlu dibekali dengan pengetahuan tentang agama-agama lain. Jika hanya tahu satu agama, sesungguhnya kita tidak tahu apa-apa.
Mengajarkan tentang agama merupakan suatu upaya akademis, bukan kebaktian keagamaan. Karena itu, belajar tentang agama dapat juga disebut studi akademis agama atau kajian agama. Para sarjana telah menghasilkan banyak buku yang mendiskusikan tentang berbagai teori dan pendekatan studi akademis agama.
Pendekatan Belajar tentang Agama
Belajar tentang agama bukan sekadar mengenal dokrin dan kredo agama, melainkan juga bagaimana agama dipahami dan diamalkan oleh pemeluknya serta dikaji dan diteliti oleh para ahlinya. Segera muncul banyak pertanyaan menarik. Apa arti agama bagi para pemeluknya? Apakah agama pemeluknya sama dengan agama menurut para pengkajinya?
Pertanyaan lebih dasar tapi sulit: Apa itu agama? Kata “agama” (religion) itu kita dengar atau katakan tiap hari. Kita merasa tahu apa artinya, tapi sulit menjelaskannya. Sampai sekarang, tak ada definisi “agama” yang disepakati. Jonathan Z. Smith, dari Universitas Chicago, meneliti berbagai definisi “religion” dan menemukan lebih dari 50 definisi yang berbeda. Tak ada kesepakatan di kalangan para ahli.
Akhirnya, Smith menyimpulkan: “Religion is not a native term; it is a term created by scholars for their intellectual purposes and theirs to define.” Benarkah agama itu ciptaan para ulama?
Belajar tentang agama mengenalkan kita pada keragaman ekspresi dan keyakinan sekaligus perannya dalam kehidupan sosial, kultural maupun politik dahulu dan sekarang. Maka, kita tak cukup menggunakan satu pendekatan. Kajian-kajian agama biasanya didekati dengan perspektif lintas disiplin: historis, sosiologis, literari, antropologis, dan juga teologis.
Pendekatan historis bukan hanya membantu kita memahami bagaimana suatu agama muncul, tapi juga bagaimana suatu konsep dan doktrin berkembang dari masa ke masa. Dengan disiplin sosiologi, misalnya, kita dapat memahami iklim-iklim yang darinya suatu agama muncul dan berkembang serta faktor-faktor yang mempengaruhi agama menjadi yang kita saksikan sekarang.
Bila kajian kita terkait dengan teks, seperti Kitab Suci, pendekatan literari akan membantu memahami formasi teks tertentu menjadi textus receptus. Mereka yang belajar (tanpa “tentang”) agama cenderung menolak kanonisasi Kitab Suci yang melewati proses editorial layaknya karya-karya manusiawi lain. Dimensi manusiawi agama akan lebih tampak dari sudut pandang antropologis. Teologi memberi makna transendental.
Pendekatan multidisipliner “belajar tentang agama” sejalan dengan watak pendidikan kita yang kian multikultural. Pendidikan multikultural bisa dimaknai sebagai suatu proses yang memungkinkan anak-anak didik mengembangkan pemahaman kritis tentang kultur mereka dan orang lain sehingga menjadi sadar dan peduli terhadap “yang lain”. Aspek utama multikulturalisme sebagai sebuah ideologi ialah penerimaan dan penghargaan terhadap keragaman kultural, penghormatan terhadap hak-hak dan martabat manusia yang universal, dan tanggung jawab terhadap masyarakat dunia.
Sebegitu kompleks hubungan agama dan multikulturalisme sehingga paradigma “belajar agama” akan gagal memahaminya. Saatnya kita mulai belajar tentang agama di tengah kehidupan yang kian multikultural.