Rabu, Oktober 9, 2024

Bahkan untuk MenyembahNya, Hamba Perlu Pertolongan Tuhan

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.

MALAM itu, selepas Isya, saya menelusup di antara jama’ah. Seusai pengajian, saya bersegera mendekati Syaikhul Masyaikh KH Abuya Muhtadi Dimyathi al-Bantany di sudut depan. Suasana Pesantren Cidahu, Pandeglang, Banten, remang. Bersimpuh dan mencium telapak tangan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini tak dapat saya tahan getar jiwa. Pada beliau, saya mengajukan satu permohonan. “Kiai, mohon petunjuk. Doa atau wirid apa yang sebaiknya istiqamah saya jaga?” Sejenak menatapku, Mufti Asy-Syafi’iyyah ini lalu mengucap, “Al-Fatihah. Tetaplah menjaga (amalan) Al-Fatihah.” Saya mengangguk.

Lalu, saya memohon doa Abuya Muhtadi. Beliau menengadahkan tangan, membaca Al-Fatihah. Kala sampai pada ayat kelima, Mursyid Thariqat Asy-Syadziliyyah ini tak segera beralih. Ia melafalkannya beberapa kali. “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin,” ucap putra Abuya KH Dimyathi ini. Seraya menunduk, mengimani dan mengamini ikrar keberserahan pada Allah ini, saya membatin, “Hanya Engkau yang kami sembah dan hanya pada Engkau-lah kami memohon pertolongan.”

Setelah empat ayat, inilah ayat pertama pada Ummul Kitab yang merupakan kalimat langsung hamba pada Allah, Rahmaan dan Rahiim.

Inilah dialektika aku dan Engkau antara hamba dan Allah. Hamba yang menyebut nama tuhannya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang selalu memujiNya dengan segala pujian, yang mematuhi pengaturan Sang Maha Pengatur alam semesta, yang senantiasa berikhtiar di setiap gerak-gerik dan diamnya untuk menjadi perwujudan dari Kasih Sayang Allah, dan tunduk pada kebijaksanaan Raja Diraja Waktu yang merajai Hari Pembalasan, inilah yang menyatakan diri hanya menyembah Sang Engkau yang telah menitahkan hidup dan mati sang aku. Sungguh, inilah tawakkal ‘alallah.

“Hanya Engkau yang kami sembah,” ini mengandung makna: tiada selain Engkau yang kami sembah. Engkau-lah satu-satunya yang kami sembah. Kita, sang kami dalam ayat itu, tiada layak disebut, dipuji, ditakuti, apalagi disembah, sebab kita hamba dan selama-lamanya hamba. Betapapun seluruh hamba bersatu dan bersekutu, mustahil mencipta tuhan baru. Tak mempertuhankan selain Allah dan tak menempatkan diri untuk dipertuhankan, seyogianya menjelma prinsip kesadaran. Hidup yang dijalani dengan kehambaan diri dan penghambaan pada Allah inilah penghayatan sejati dalam mengenal diri.

Dalam perjumpaan dengan Allah Yang Maha Suci pada Isra’ Mi’raj, Muhammad SAW diperjalankan tidak dalam posisi sebagai Nabi dan Rasul. Bukan dalam kedudukan teladan terbaik dan pemimpin umat pula. Tapi, dalam maqamat hamba. Meski ditetapkan maksum, bersih dari segala dosa, Muhammad tidak jumawa. Alih-alih tinggi hati, anak Abdullah dan Siti Aminah ini justru kian tawadhu. Ia makin tunduk pada Allah. Begitulah Allah angkat setinggi-tingginya derajat hambaNya yang merendahkan diri pada Ilahi dan merendahkan hati pada sesama insan. Dia muliakan siapa pun yang mengaku hina.

Sesungguhnya, kesadaran menyembah Allah tidak mengenal waktu. Tidak hanya saat tiba waktu salat, namun sepanjang waktu, setiap waktu, dan sewaktu-waktu. Hamba menghamba– dan, oleh karena itulah, menyerahkan diri pada Tuannya. Pada kehendak dan ketetapanNya. Pun meyakini Kemahabaikan Allah dengan segala rencanaNya, menaati perintahNya dan tidak melanggar laranganNya. Jika sesungguhnya Allah sesuai persangkaan hambaNya, maka sebaik-baik hamba adalah ia yang berprasangka baik pada Allah. Sepenggal ayat iyyaka na’budu ternyata amat penting untuk “ngaji diri”.

Yang telah menyadari kehambaan diri, ia menyadari tiada sanggup menolong diri sendiri, apalagi menolong orang lain, jika tanpa pertolongan dari Allah. Sebaik-baik rencana yang disusun manusia, rencana Allah-lah yang berlaku. Sekuat-kuat upaya menolong diri sendiri dan orang lain, sesungguhnya pertolongan Allah yang menolong kita. Hasbunallah wa ni’mal wakiil, cukup Allah yang menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung, mewujud dalam “wa iyyaka nasta’iin, dan hanya pada Engkau-lah kami memohon pertolongan.” Ini tak hanya doa. Sekali lagi: ini ikrar berserah.

Ya Allah, kami ini hamba yang tak punya kekuatan menghamba padaMu, selain dengan pertolongan dan petunjukMu. Kehambaan ini karuniaMu. Penghambaan ini juga hadiah dariMu. Kami tidak punya kuasa bahkan terhadap diri kami sendiri. Jika Engkau minta kembali diri kami, tiada daya dan upaya kami untuk menahan diri dari KehendakMu. Jika Engkau minta kami menghamba, sesungguhnya itu bukan karena Engkau butuh disembah, namun karena kami yang butuh Sesembahan; dan hanya Engkau yang kami sembah. MenyembahMu, kehormatan bagi kami. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iin.

Segala sesuatu berasal dari Allah dan kembali kepadaNya. Dan Al-Fatihah ialah pembuka terbaik pelajaran mengenal diri sendiri. Membaca dan merenungkannya akan mengantar kita pada kesadaran tentang hakikat asal-muasal kejadian. Bahwa segala sesuatu bermula dari Rahmaan dan Rahiim Allah. Sebelum ada yang menyebutNya, Dialah Yang Maha Awal dan Maha Akhir. Sesudah ada yang menyebutnya, Dialah Yang Maha Awal dan Maha Akhir. Setiap hal, seluruh makhluk, baik yang bergerak maupun yang diam, senantiasa bertasbih memuji Allah. Kasih SayangNya melampaui segala amarah.

Hingga sebelum ajal tiba, Dia menerima permohonan ampun hambaNya. Allah, yang merajai Hari Pembalasan, memberi ampunan pada siapa pun yang bertobat. Dan tatkala seorang hamba menyembah dan memohon pertolongan padaNya, niscaya Allah meneguhkan hakikat Al-Fatihah ke dalam dirinya sehingga hamba itu terus-menerus digerakkanNya untuk berjalan di jalan yang lurus.

Doa ihdinas shiraathal mustaqiim terucap tidak hanya di lisan, melainkan menembus hingga ke dasar hati. Sadar betapa perjalanan hidup di dunia penuh liku dan jebakan, karena itulah sebaiknya kita berpegang padaNya.

“Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus”, yang di jalan itulah kami tempuh hidup hingga akhir hayat, laksana bahasa kerinduan sang pejalan yang merasa telah terlalu jauh dari kesejatian. Seharusnya kita menyadari telah berbuat salah dan dosa, berbelok sedemikian menyimpang, ingkar atas ikrar kesaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.

Ayat keenam Surat Al-Fatihah ini, seperti lima ayat sebelumnya, adalah ayat insan yang telah menyerah: tiada mampu untuk menemukan sendiri jalan pulang. Dunia banyak menipu dan kita banyak didustai pula, bahkan ikut berdusta dan zalim. Astaghfirullaahal ‘adziim (bersambung)

Baca juga:

Tuhan Tidak Menghendaki Olok-olok

Mengapa Kita Saling Membenci?

Jangan-jangan Kita Sendiri yang Intoleran?

Rumah Tuhan dan Hal-Hal yang Terkunci

Ketika Anak Bertanya Dalil Mencintai Ibu

Candra Malik
Candra Malik
Budayawan sufi yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, kebudayaan, dan spiritualitas.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.