Sabtu, April 27, 2024

Alkitab, Kristen, dan Soal Agama Damai

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).

kekerasan-alkitab
Ilustrasi [Sumber: christofgrace.wordpress.com\
Dalam tulisan terdahulu “Kekerasan Kitab Suci dalam Perspektif Yahudi” (Geotimes, 27 Januari 2017), saya menulis bahwa “tidak ada satu kriteria yang bisa digunakan untuk menghakimi satu agama sebagai pemicu kekerasan atau cinta-kasih” karena penilaian tersebut “didasarkan pada elemen-elemen tertentu dalam Kitab Suci.” Hal ini juga berlaku bagi Kristen yang dikenal sebagai agama yang mengajarkan cinta-kasih. Menyebut Kristen sebagai agama cinta-damai hanya didasarkan pada ayat-ayat Alkitab secara selektif dan periode tertentu dari sejarah Kristen yang panjang.

 

Karena agama Kristen lahir dari rahim Yahudi, maka tak dapat dimungkiri bahwa Kitab Suci Yahudi (yang dalam Kristen dikenal dengan “Perjanjian Lama”) punya pengaruh dalam membentuk sudut pandang dan sikap kaum Kristiani terhadap penggunaan kekerasan. Sungguh bukan suatu pergulatan yang mudah untuk mengatasi apa yang disebut Hector Avalos sebagai “fighting words” (2005) dalam Alkitab.

Tentu saja, teks-teks Kitab Suci yang melegitimasi kekerasan tidak secara otomatis akan menggiring pada kekerasan kemanusiaan. Ada sejumlah faktor yang kompleks antara ayat-ayat kekerasan dan aksi kekerasan itu sendiri. Namun demikian, ayat-ayat kekerasan akan membuat tindak kekerasan sangat memungkinkan terjadi di tengah suasana konflik di mana pihak-pihak yang terlibat melihat perbedaan agama sebagai isu yang memisahkan mereka.

Kekerasan dalam Alkitab

Dalam beberapa abad terakhir, Yesus digambarkan dengan reputasi sebagai pendakwah perdamaian, cinta-kasih dan nir-kekerasan. Biasanya, gambaran ini dikontraskan dengan beragam kekerasan yang diasosiasikan dengan, terutama, agama Yahudi dan Islam. Ini memang perkembangan atau, lebih tepatnya, perubahan signifikan yang berbeda dari abad-abad sebelumnya di mana umat Kristiani kerap mencatut nama Yesus untuk menjustifikasi penggunaan kekerasan.

Apa yang dilakukan orang-orang Kristen berabad-abad lalu itu tidak menyalahi gambaran Yesus dalam kitab Injil. Mereka hanya menonjolkan ayat-ayat yang menggambarkan Yesus menggunakan tamsil kekerasan tentang apa yang dilakukan Tuhan.

Banyak orang tidak menyadari bahwa warisan tradisi “kekerasan Tuhan” dalam Perjanjian Lama juga kental dalam Perjanjian Baru. Gambaran tentang Tuhan yang punya sifat penyiksa berada di jantung Kitab Suci Kristen. Misalnya, klaim tentang Yesus sebagai juru selamat dan penyalibannya sebagai bentuk pengampunan, memunculkan pertanyaan: Menyelamatkan dan mengampuni umat manusia dari apa?

Jawaban standar atas pertanyaan itu ialah Yesus menyelamatkan umat manusia dari konsekuensi dosa. Dalam Injil Yohanes (3:16) disebutkan, “Karena Tuhan begitu mengasihi manusia di dunia ini, maka ia memberikan anaknya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadanya tidak binasa, melainkan mendapat hidup sejati dan kekal.” Dilanjutkan, Tuhan mengutus anaknya bukan untuk menghukum dunia, melainkan menyelamatkannya.

Jika Tuhan memberikan anaknya supaya manusia tidak dihukum, muncul pertanyaan: Dihukum oleh siapa? Tentu saja, jawabnya, oleh Tuhan. Jadi, aspek yang tidak terkatakan (unspoken) dalam keyakinan Kristen klasik ini ialah Yesus mati supaya menyelamatkan manusia dari kekerasan Tuhan.

Demikianlah gambaran Tuhan yang penyiksa dalam Perjanjian Lama tidak sepenuhnya sirna dari Perjanjian Baru. Banyak tamsil tentang “Kerajaan Tuhan” yang diajarkan Yesus menggambarkan bentuk-bentuk penghakiman di mana Tuhan akan mengganjar para pengikut Yesus dan menghukum orang-orang jahat dengan siksaan yang pedih (lihat, misalnya, Matius 11:20-24; 13:41-42; 25:41-46). Walaupun Yesus tidak mengajarkan supaya pengikutnya menggunakan kekerasan, bahasa yang digunakannya mengisyaratkan pemisahan yang ekstrim antara orang-orang baik (pengikutnya) dan orang-orang jahat (penolaknya).

pedang-alkitabKitab-kitab Injil juga menarasikan kekerasan yang diasosiasikan pada Yesus. Dalam Matius 10:34-36, misalnya, Yesus berkata bahwa dia datang bukan untuk membawa perdamaian, tapi pedang. Menurut Injil Lukas (22:35-38), beberapa jam sebelum ditangkap, Yesus memerintahkan para pengikutnya untuk membeli pedang.

Selain Injil, kita juga mendapatkan gambaran kekerasan Tuhan dalam kitab-kitab lain. Surat-surat Paulus berisi banyak bahasa kekerasan dan ancaman serta deskripsi kemarahan Tuhan. Misalnya, bagaimana dia mengancam akan melemparkan orang ke luar gereja. Memang, boleh jadi ancaman Paulus tidak sampai mengakibatkan kekerasan fisik. Tapi, bahasa yang digunakannya menjadi salah satu alasan bagi kaum Kristiani yang hidup berabad-abad kemudian untuk bertindak dan menggunakan kekerasan terhadap orang-orang yang menolak ajaran gereja, seperti pemenjaraan, penyiksaan dan eksekusi.

Berkaca pada Sejarah

Faktanya, sepanjang sejarah, banyak orang Kristen yang merujuk pada Alkitab, terutama Perjanjian Lama, untuk menjustifikasi perang dan aksi kekerasan. Barangkali Perang Salib merupakan episode yang paling memilukan. Bukan hanya soal jumlah korban yang dibunuh, tapi pembunuhan itu sendiri dilakukan dengan keyakinan demi “membahagiakan” Tuhan.

Tak berlebihan jika Joseph Lynch berargumen bahwa Perjanjian Lama punya peran kunci dalam melegitimasi Perang Salib. Dalam tulisan yang dimuat dalam Must Christianity Be Violoent? Reflections on History, Practice and Theology (disunting oleh Kenneth Chase, 2003), Lynch menulis “The crusades, especially the First Crusade, are not comprehensible without factoring in the Old Testament, which permeated not just the language but the self-view and behavior of the warriors.”

Kendati Lynch cukup hati-hati dengan mengatakan bahwa Perjanjian Lama tidak bisa dikatakan “penyebab” Perang Salib atau kekerasan, ia meyakini narasi-narasi Perjanjian Lama memberi semacam petunjuk bagi para pejuang Kristen.

Barangkali bentuk penyalahgunaan Alkitab yang paling buruk dilakukan oleh kaum kolonial untuk menguasai dan menjajah kadaulatan negara lain. Michael Prior telah menulis soal ini secara ekstensif dalam bukunya, The Bible and Colonialism: A Moral Critique (1997). Sebelum baca buku ini, saya tidak menyadari betapa pervasifnya penggunaan atau penyalahgunaan Alkitab untuk melegitimasi kolonialisme.

Bukan hanya dalam konteks Perang Salib dan politik zionisme, tapi juga kolonialisme Spanyol, Portugis dan bahkan praktik aparteid di Afrika Selatan. Contoh-contoh penggunaan Alkitab dalam kekerasan bisa didaftar panjang, dari soal perbudakan hingga kekerasan terhadap perempuan.

Perlu segera ditambahkan, penggunaan dan penyalahgunaan Alkitab itu sudah dikecam luas dan dianggap sebagai bentuk penyimpangan dari ajaran Yesus Kristus. Para ulama dan sarjana Kristen telah menawarkan berbagai strategi untuk membaca ayat-ayat kekerasan dalam Alkitab secara nir-kekerasan. Gereja Katolik, melalui Konsili Vatikan II, telah merevisi posisinya terkait hubungan Gereja dan negara sehingga tidak melegitimasi negara untuk menggunakan agama sebagai bagian dari instrumen kekerasan.

Model pembacaan Alkitab secara nir-kekerasan lebih memungkinkan dalam tradisi Kristen karena pengalaman Kristen awal yang, sampai batas tertentu, bersifat fasifis. Perjanjian Baru ditulis dan dikanonisasikan saat Kristen belum bersinggungan dengan kekuasaan. Itu menjelaskan minimnya (bukan berarti sama sekali tidak ada) ayat-ayat kekerasan dalam Perjanjian Baru. Selama tiga abad pertama, perang tidak pernah dijustifikasi sebagai bagian dari tradisi atau doktrin Kristen, baik dengan merujuk pada kesaksian Kitab Suci ataupun gereja awal.

Karena itu, bisa dipahami kenapa agama Kristen membutuhkan lebih dari 300 tahun untuk merumuskan konsep “perang adil atau sah” (just war). Yakni, ketika kaisar Romawi Konstantin memeluk Kristen dan menjadikannya agama kerajaan. Sejak itu, peperangan mendapat legitimasi agama. Para sarjana masih berdebat tentang bagaimana menjustifikasi just war itu. Tapi, bisa dipastikan, Kristen awal tidak mengenal doktrin tersebut dan, karenanya, banyak yang menyangsikan legitimasi just war dapat dilacak ke ajaran Yesus sendiri.

Itulah salah satu yang membedakan Kristen dari Islam. Kalau Kristen membutuhkan sekitar 300 tahun untuk membangun argumen perang yang dibenarkan, konsep dan praktik perang yang benar (jihad) muncul berbarengan dengan kemunculan Islam sendiri. Ini menjelaskan kenapa pembacaan ayat-ayat kekerasan dalam al-Qur’an secara nir-kekerasan lebih sulit, sebagaimana akan didiskusikan dalam seri tulisan “kekerasan Kitab Suci” berikutnya.

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.