Bagaimana Tuhan menyifati “Diri”-Nya dan mengajarkan kita tentang toleransi dalam Islam? Saat ini kita sedang dihadapkan pada fenomena Muslim yang menuhan: memonopoli kebenaran dan mengkafirkan selainnya.
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan itu dengan menukik ke landasan dasar Islam, yakni al-Qur’an sebagaimana ia “berbicara” pada kita, di mana justru kita dapati toleransi-Nya dan ajarannya tentang toleransi begitu luas, seperti rahmat-Nya yang tak berbatas meliputi segala sesuatu. Lantaran seringkali intoleransi yang fatal terjadi justru ketika kita kehilangan kesadaran akan imanensi kita sebagai manusia dan menilai kita sedang menjadi wakil-Nya serta menjalankan ajaran-Nya.
Fakta sejarah menyebutkan bahwa bahkan sahabat Nabi Muhammad pun–yang memiliki posisi mulia dalam Islam–pernah marah pada seorang yang dinilai melanggar, menghina (Nabi atau Islam), atau lantaran sebab-sebab lainnya, padahal ketika Nabi tahu atau dibawa pada Nabi, Nabi justru tak marah atau bahkan memarahi sahabatnya yang berlebihan atas pengingkar tersebut. Misal yang paling populer dan gamblang tentang perkara ini bisa didapat dalam riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari seorang sahabat yang sekaligus cucu angkat Nabi, Usamah bin Zaid bin Haritsah.
Ketika Nabi mengutus para sahabatnya, termasuk Usamah, untuk memerangi orang-orang kafir dari marga Huraqah, bagian dari suku Juhainah. Saat itu umat Islam menang. Usamah dan seorang sahabat Anshar mengejar seorang anggota Bani Huraqah yang melarikan diri. Ketika keduanya mengepungnya, tiba-tiba ia mengucapkan syahadat.
Sahabat Anshar itu seketika menahan dirinya. Adapun Usmaah menusuk orang tersebut dengan tombaknya hingga menewaskannya. Ketika tiba di Madinah dan berita itu sampai pada Nabi, Nabi bertanya, “Wahai Usamah, apakah engkau tetap membunuhnya setelah ia ber-syahadat?” Usamah menjawab, “Wahai Nabi, ia mengucapkannya sekadar untuk melindungi dirinya.”
Kemudian Nabi terus mengulang pertanyaan itu, sehingga Usamah berangan-angan andai saja ia belum masuk Islam sebelum hari itu, sehingga ia terbebas dari dosa besar yang mengundang marah Nabi tersebut.
Jika kita merujuk pada al-Qur’an, sebenarnya ia memuat penjelasan yang bisa menjadi referensi kuat, utama, dan mendasar tentang bagaimana bertoleransi secara lebih leluasa sebagaimana justru dikehendaki Tuhan atas kita.
Pertama, dalam QS. Yunus: 99 disebutkan secara eksplisit bahwa perbedaan keyakinan (iman) adalah sesuatu yang dibiarkan oleh Allah, padahal Dia bisa saja membuat semua manusia dalam satu iman. Ayat itu ditutup dengan menyitir umat Islam dengan pertanyaan: “Hendak kau paksa mereka supaya beriman?”.
Lalu ditegaskan kembali dalam QS. Al-Baqarah: 256 bahwa “tak ada paksaan dalam agama”. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebut bahwa ada yang menilai ayat ini di-naskh (dibatalkan) dengan ayat qital (perang). Namun, Tafsir at-Thabari, misalnya, menolak tegas pendapat tersebut dan menegaskan bahwa ayat ini turun pada masalah khusus, namun hukumnya berlaku umum.
Syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Al-Munir menafsir QS. Yunus: 99 bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui tentang Nabi Muhammad yang menginginkan Ahlul Kitab masuk Islam. Itulah rasa kasih hati Nabi. Namun, justru karena kasih itu, ia tak mau memaksa. Begitulah teladan Nabi. Padahal, seperti kita tahu, posisi ayat ini adalah ayat yang turun di Madinah. Artinya, ia turun dalam kondisi Nabi menang dan berkuasa. Namun, tetap saja Nabi tak mau memaksa atas nama kekuasaannya.
Oleh karena itu, Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Wasith lebih jauh menegaskan posisi ayat ini sebagai ayat pendukung kebebasan beragama dalam Islam. Paksaan hanya timbul dari kekerdilan iman dan pikiran. Maka, di samping melarangnya secara tegas, al-Qur’an mengajarkan logika dan tradisi diskusi terhadap siapa saja yang ragu atasnya. Sehingga, misalnya, QS. Al-Baqarah: 258 mengabadikan kisah Ibrahim berdebat tentang Tuhannya, atau QS. Al-Baqarah: 23 yang menantang siapa saja yang meragukan al-Qur’an untuk membuat satu ayat saja seperti ayat-Nya.
Al-Qur’an tak pernah kerdil pada ancaman-ancaman dogma atau apa pun juga, lantaran tentu kemantapan, kedewasaan, dan kebulatannya. Maka, QS. Al-Maidah: 105 menegaskan bahwa “orang yang tersesat tidak akan membahayakan kalian ketika kalian mendapat petunjuk”.
Kedua, al-Qur’an menegaskan dalam QS. An-Nahl: 125 bahwa pengetahuan tentang siapa yang benar-benar sesat adalah milik-Nya. Bahkan, Nabi pun hanya menyampaikan, sedangkan pengetahuan sejati hanya milik-Nya (QS. Al-Maidah: 99). Oleh karena itu, dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa Nabi hanya menyampaikan tudingan sesat dan kafir pada siapa yang dituding-Nya melalui wahyu pada Nabi. Begitu pula petunjuk hanya dari-Nya dan sesuai kehendak-Nya (QS.Al-Baqarah: 272). Artinya, selain Allah, bahkan Nabi sekalipun, tak diberi atau memiliki otoritas untuk mengkafirkan.
Ketiga, Allah menegaskan dalam al-Qur’an bahwa pengadilan dan pembalasan bagi keimanan yang salah milik-Nya dan karenanya harus diserahkan pada-Nya. Bahkan jejak ini bisa ditelusuri hingga agama Kristen, di mana dikatakan bahwa: “Pembalasan adalah milik-Ku.” Poin ini berkaitan dengan poin sebelumnya, yakni bahwa lantaran manusia tak tahu yang sejati, “yang tersembunyi” dalam bahasa al-Qur’an.
Kalaupun Nabi atau sebagian manusia mulia dibukakan hijab (penghalang)-nya sehingga mereka tahu akan rahasia-Nya tersebut, maka tetap saja ditegaskan-Nya bahwa hak menghukum ada pada-Nya. Bahkan, sebagaimana dipahami dalam QS. Al-Hujurat: 11, ketika Nabi memvonis seorang beriman atau kafir, ia hanya penyampai dari apa yang disampaikan dan hanya menjadi hak Allah semata.
Keempat, dalam QS. Al-An’am: 108, Allah menekankan signifikansi penghormatan pada iman orang lain. Bahkan walaupun seorang Muslim memiliki pengetahuan akan kesalahan iman orang lain. Sebab, sudah menjadi ketentuan-Nya bahwa setiap orang atas imannya sendiri menganggap benar dan mulia. Dengan begitu, sikap harmoni dalam toleransi akan tercapai. Adapun nistaan atas iman orang lain hanya akan mengundang orang lain menista iman kita tanpa pengetahuan.
Lalu, di manakah tapal batas toleransi? Dalam konteks keberagamaan, bisa jadi tak ada batas toleransi. Tak ada batas yang mensahkan kita untuk menjadi tak toleran, apalagi memerangi atas nama agama. Dalam perspektif al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 216), perang justru dibenci Tuhan dan secara fitrah juga kita benci. Oleh karena itu, Yusuf Qardhawi dalam Al-Islam wa al-‘Unf menyifati Islam sebagai agama cinta, agama rahmat (QS. Al-Anbiya’: 107) yang anti kekerasan dan intoleransi.
Sifat-Nya yang diulang-ulang dalam al-Qur’an adalah Maha Pengasih dan Penyayang (al-Rahman, al-Rahim), sedangkan Yang Maha Perkasa (al-Jabbar) dan Maha Besar (al-Mutakabbir) hanya disebut satu kali dalam QS Al-Hasyr.
Adapun tapal batas toleransi itu sendiri adalah perang dalam konteks pertahanan diri, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 190. Perang untuk siapa yang memerangi kita. Itu pun Islam tetap hadir dengan etika yang begitu toleran terkait perang, sehingga perang benar-benar tak berlebihan (ghuluw) dan bervisi konstruktif-damai. Perang harus dipastikan muncul dari rasa cinta, bukan benci.
Maka, kita dapati sejarah Sayyidina Ali pernah mengurungkan hantaman pedangnya pada musuh karena musuh meludahinya. Ia tak mau hantaman pedangnya karena benci dan egonya, bukan karena cinta dan Allah.
Baca juga:
Refleksi Nuzulul Qur’an: Sejarah, Teks, dan Konteks