Jumat, Maret 29, 2024

Agama Seribu Satu Dongeng

Ren Muhammad
Ren Muhammad
Penulis, pendiri Khatulistiwa Muda, Direktur Eksekutif Candra Malik Institute.

Negeri ini kembali disesaki kekonyolan dalam beragama. Semacam minum air kencing onta, pendeta nyamar jadi ustaz, pelawak menghina al-Qur’an, da’i Wahabi yang mulai merayakan maulid, sampai keberhasilan poligami dengan mengkhatamkan al-Qur’an. Kekacauan sedemikian itu membuat wajah agama jadi karut-marut. Kehilangan keluhuran selaku nafas peradaban manusia.

Agama tinggal menjadi atribut. Topeng menggelikan yang dipakai badut jalanan. Hasilnya adalah, tak lagi ada perbedaan antara orang beragama dengan mereka yang menuhankan Google.

Nun empat ribu tahun silam, tuhan menurunkan wahyu kepada manusia pilihan-Nya yang kita kenal sebagai nabi dan rasul. Wahyu itu lantas maujud jadi agama. Tuntunan sekaligus pedoman, yang tercetak dalam lembaran shuhuf, tablet, atau kertas. Hari ini kita menyebutnya kitab suci. Lalu muncullah sekelompok pencatat kejadian agung itu dan menuliskan risalah mereka sebagai sejarah kemunculan agama.

Masing-masing dengan sudut pandang dan kepentingannya sendiri. Alhasil, wahyu dan agama mulai mengalami pemerosotan pemahaman. Benarkah demikian? Mari kita telaah.

Agama yang selama ini kadung kita anut, jebulnya sebatas warisan belaka dari orangtua. Sekadar dogma-doktrin belaka. Sistem ajaran yang tak boleh dibantah, diragukan, apalagi diperiksa. “Tak ada kebenaran di luar gereja,” begitu pesan sakti yang menimpa umat Kristen pada Abad Pertengahan. Umberto Eco berhasil membongkar kejumudan dari kalimat tersebut dan menunjukkan betapa yang disebut agama saat itu hanya isapan jempol keserakahan manusia yang mengatasnamakan tuhan. 

“Agama yang termapankan” dalam sejarah seringkali dijadikan alat propaganda kekuasaan. Fir’aun, Muawiyah, Constantine, adalah tiga tokoh utama yang menyebabkan sejarah agama ditulis oleh orang yang tidak saleh. Masa empat ribu tahun itu jelas teramat sulit dimengerti.

Sejarah diri dan keluarga kita saja sudah sedemikian rumitnya, apatah lagi berkenaan dengan apa yang sesungguhnya benar diwariskan agama dan mana yang tong kosong sejarah. Kita tak punya pilihan lagi selain memeriksa ulang apa yang selama ini kadung kita sebut agama yang suci.

Jika kita mau menilik lebih cermat, sesungguhnya wahyu yang diterima para nabi dan rasul mengabarkan bahwa dunia ini sangat aneh. Misterius. Sarat teka-teki dengan kita manusia di jantung teka-teki tersebut. Kita hadir begitu saja. Tanpa berencana. Lantas pergi tak kembali, selamanya. Melanjutkan perjalanan berikutnya dalam keentahan yang niscaya. Dunia dengan riasan wajah agama pernah mengalami kemegahan. Terutama ketika Islam tampil di garda depan peradaban manusia selama seribuan tahun. Tapi sekarang, apa yang terjadi pada kita?

Para jagoan jagat raya adalah mereka yang telah mengerti benar rahasia agama dalam kehidupan. Rasa keberagamaan dalam hidupnya. Agama bagi mereka bukan lagi melulu ancaman dan iming-iming melainkan jadi buluh perindu yang membebaskan mereka dari derita, dan dengan sangat percaya diri, turut menyelamatkan orang lain yang masih terperangkap dalam jebakan dunia spiritual–yang masih dilamun kebingungan teramat sangat–tentang betapa tuhan butuh disembah manusia, dan tuhan seolah-olah adalah manusia adikodrati.

Letak dongeng agama ada pada kepercayaan bahwa perilaku patuh manusia kepada tuhan berdampak pada hidup yang baik-baik saja. Adem ayem tentrem kerja raharja. Pun begitu sebaliknya. Padahal jika melihat kenyataan hidup, pikiran kita bisa runyam karenanya. Manusia patuh atau membangkang, tuhan tetap baik-baik saja. Dia tetap tak tepermanai. Takkan bisa dijangkau dan dimengerti. Satu-satunya yang bisa memafhumi tuhan dan segala tentang-Nya, ya tuhan saja. Kita hanya sedang menjalani suratan takdir–yang ajaib.

Sekadar pembanding. Para mafia bisa hidup nyaman dan tenang. Bebas ke mana saja. Melakukan yang mereka suka. Para kiai pun ada yang begitu. Pertanyaannya adalah, apakah mafia dan kiai adalah golongan yang sama? Kita tak perlu terlalu jauh menyeret soal itu sampai ke akhirat. Toh tak satu pun kita tahu bagaimana kondisi akhirat sesungguhnya. Terlepas dari akhirat memang ada, tugas kita sederhana saja: menemukan jawaban apakah mematuhi atau membangkangi perintah tuhan berbanding lurus dengan hidup yang kita jalani?

Salah satu petunjuk yang bisa kita pakai jika merunut Al-Qur’an adalah, “Dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Ahzab [33]: 2). Berdasar ayat ini saja, kita sudah bisa merenungi apakah tuhan memerlukan bantuan malaikat pencatat amal? Mengikuti petunjuk tak berbanding lurus dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Bagaimana cara melaksanakan dan menjauhi, sedang hidup kita sejak awal sudah direncanakan secara rinci oleh-Nya.

Dalam surah Hud [11]: 106-108 terdapat keterangan bahwa, orang celaka dan berbahagia, tempatnya di dalam neraka dan surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhan menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada terputus. Dua tempat itu jadi tema besar umat beragama. Khususnya agama Samawi. Surga-neraka kerap dialamatkan berada di kejauhan daya tangkap akal. Padahal Al-Qur’an menegaskan sebaliknya.

Al-Qur’an pun terkadang masih menyelipkan “jebakan Batman” bagi umat Islam. Dalam surah Hud 106-108 itu bisa kita temukan jebakannya. Bagaimana mungkin kita yang terbatas ini bisa mengalami kekekalan? Sebab, pada kenyataannya kita semua fana’ (sementara), rusak, dan binasa. Hanya barang ciptaan. Tuhan saja yang kekal abadi. Tak berawal. Tanpa akhir. Satu-satunya yang sanggup meliputi segala sesuatu dalam satu waktu. Dia tak berbilang. Tak berkedudukan. Bukan arah-tujuan. Dia mengatasi segala ciptaan-Nya. Melampaui semua konsep pikiran. Tiada berbatas tapi menjadi batas. Tampak sekaligus tidak.

Dongeng agama dalam bentuk lain jelas masih bertebaran dan dipercaya banyak orang sampai saat ini. Entah siapa yang membuatnya pertama kali, kita pasti kesulitan mencari tahu. Lucunya, jika dongeng semacam itu kita nafikan, mayoritas orang yang beragama secara doktriner-dogmatis akan berunjuk rasa. Seolah merekalah kuncennya agama. Penjaga gawang agama yang ditunjuk oleh tuhan. Persis yang dialami Husein Manshur Al-Hallaj yang dieksekusi mati di Baghdad pada 27 Maret 922 M, di hadapan ribuan pasang mata yang meradang. Ingat, itu terjadi seribuan tahun lalu.

Agama yang hanya diterima sebagai warisan semata menganut dan mempercayai agama. Kenapa menjadi Muslim dan bukan Nasrani atau Yahudi? Akal sebagai anugerah terbesar yang diberikan tuhan kepada kita sama sekali tak digunakan dengan baik.

Kita telanjur senang ditakuti, diimingi, disuapi. Padahal kita perlu bertanya pada diri sendiri secara kritis; jika agama hanya berujung pada pertikaian belaka antarmanusia dan sarana menyelamatkan diri pribadi, maka apa fungsinya agama ada di dunia?

Kolom terkait:

Politik dan Kedewasaan Beragama

Kaleidoskop 2017: Tahun Keprihatinan Beragama

Mempertanyakan Eksklusivisme-Inklusivisme-Pluralisme dalam Beragama

Kala Kekerasan Menjadi Agama

Tuhan Tidak Menghendaki Olok-olok

Ren Muhammad
Ren Muhammad
Penulis, pendiri Khatulistiwa Muda, Direktur Eksekutif Candra Malik Institute.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.