Minggu, Oktober 6, 2024

Agama dan Korupsi: Dari Patung Yesus hingga Haji dan Umroh

Aura Asmaradana
Aura Asmaradana
Mahasiswi tingkat akhir di STF Driyakarya, Jakarta. Karyanya, "Solo Eksibisi" - Kumpulan Cerita Pendek (2015)
Warga antre untuk mengurus pengembalian dana atau “refund” terkait permasalahan umroh promo di Kantor First Travel, Jakarta Selatan, Rabu (26/7). Otoritas Jasa Keuangan menutup program umroh promo 2017 First Travel karena menawarkan harga yang tidak wajar. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Patung Yesus dan Umroh

Korupsi bisa dilakukan dalam situasi apa pun dan menjerat siapa pun. Tidak terkecuali jika harus tersangkut dengan urusan peribadatan. Awal Agustus lalu, Murni Alan Sinaga dan Sondang M Pane dijatuhi hukuman 15 bulan penjara dan denda Rp 50 juta karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pembuatan patung Yesus di perbukitan Siatasbarita, Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara.

Sebetulnya, pembangunan patung Yesus yang terkatung-katung sudah mulai dicurigai banyak pihak sejak medio Januari 2016. Proyek yang bernilai Rp 6,2 miliar—sebelum direvisi dari Rp 25 miliar—ketika itu tidak kunjung selesai, padahal diharapkan rampung pada tahun 2013. Berbagai spekulasi merebak, hingga bertahun-tahun kemudian para tersangka kemudian ditangkap.

Hukuman pun dijatuhkan. Tersangka terbukti melanggar Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Korupsi dalam proyek itu terbilang menyakitkan. Sudah lama Tarutung identik dengan wisata rohani. Visi utama pembangunan patung Yesus sebetulnya adalah melengkapi identitas wisata rohani di perbukitan Siatas Barita. Sejak tahun 1993, Salib Kasih berdiri lebih dulu di horizon yang sama dengan lokasi dibangunnya patung Yesus.

Salib Kasih Tarutung yang terkenal didirikan untuk mengenang jasa seorang missionaris Kriten Jerman, DR.Ingwer Ludwig Nommensen. Salib Kasih seperti juga patung Yesus yang gagal dibangun adalah sebuah simbol keagamaan yang dapat membentuk keseluruhan atau segelintir saja kelompok masyarakat. Pembentukan itu melibatkan internalisasi kebajikan-kebajikan spiritualitas.

Selain merugikan negara secara finansial, gagalnya pembangunan patung Yesus tentu membuat masyarakat patah arang. Apalagi, sebab gagalnya adalah korupsi. Korupsi sekecil apa pun selalu bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung budaya masyarakat dan agama mana pun. Mirisnya lagi, sepanjang sejarah peradaban manusia, agama merupakan hal yang dianggap dapat menghubungkan pemeluknya dengan etika luhur, moralitas, dan hukum-hukum yang jauh dari keburukan. Apalagi nyatanya korupsi terkait peribadatan tidak hanya terjadi sekali saja.

Bukan pula hanya patung Yesus yang terbengkalai akibat korupsi, tetapi juga para jemaah umrah yang gagal berangkat tahun ini. Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri baru saja menangkap Direktur Utama PT First Anugerah Karya Wisata, Andika Surachman dan Anniesa Desvitasari, istrinya. Mereka dijerat kasus penipuan dan penggelapan dana umroh para jemaah First Travel yang berjumlah 35 Ribu dengan kerugian sekitar Rp 500 Miliar.

Sebagai sebuah peribadatan, umroh dinilai penting karena merupakan salah satu ibadah umat Muslim yang mempengaruhi pendapatan nasional dengan jumlah fantastis—Rp 3.412 Triliun di tahun 2016. Secara spiritual, umroh merupakan ibadah “kecil” namun sakti, jika dibandingkan dengan haji. Pemeluk agama Islam yang berangkat umroh dapat memperoleh penghapusan dosa dan pahala.

Banyaknya orang yang mendamba datang ke rumah Tuhan—terutama dengan biaya hemat—membuat umroh perlahan tumbuh menjadi komoditas. Pelan tapi pasti, terbukalah peluang korupsi seperti yang dilakukan para direktur First Travel.

Persoalan patung dan umroh—juga kasus korupsi lain seperti suap tender proyek penggandaan Al-Quran—bukan sekadar perkara perampasan hak-hak publik. Kasus-kasus itu juga merupakan bentuk pengabaian terhadap budaya suatu masyarakat serta nilai-nilai yang dianutnya.

Dalam masyarakat kita, sistem peribadatan agama-agama—seperti dilontarkan sosiolog Emile Durkheim—mendorong terjadinya solidaritas kolektif. Itu alasan mengapa korupsi yang terkait dengan peribadatan selalu menjadi isu besar yang dikutuk ramai-ramai. Banyak individu memperoleh identitas lewat agama. Ketika sebuah simbol agama atau peribadatannya terlilit masalah korupsi, bukan hanya individu seorang yang sekejap merasa dikacaukan identitasnya, tapi pun beramai-ramai; dalam sebuah kelompok yang solid.

Korupsi adalah “Ibadah”

Usut punya usut, sesungguhnya hampir tak ada beda antara peribadatan keagamaan dengan korupsi. Untung-rugi yang ditimbulkan jelas berbeda. Namun laku korupsi yang semakin dianggap lumrah belakangan ini membuat korupsi tampak seperti sebuah agama.

Filsuf Nietzsche pernah mendedahkan suatu asumsi tentang penyakit utama manusia. Penyakit itu adalah kebutuhannya untuk memuja atau mengagungkan sebuah nilai. Nilai itu dijunjung setinggi-tingginya, dijadikan patokan dalam hidup. Maka, dalam khazanah Nietzsche, Tuhan adalah ide yang difiksasi oleh manusia sebagai pegangan dalam berhadapan dengan realitas yang chaos.

“Tuhan” bisa jadi ilmu pengetahuan, ideologi, bahkan filsafat. Ia dianggap sebagai sesuatu yang diciptakan oleh manusia dari kekosongan hanya untuk memenuhi kebutuhan akan pegangan. Jika Nietzsche menganggap bahwa Tuhan—melalui agama—adalah salah satu bentuk idee fix yang dijadikan landasan hidup, maka dengan mudah kita bisa menemukan tuhannya para koruptor. Alih-alih hidup demi Tuhan, koruptor hidup demi uang. Mereka berserah diri pada kapital yang dapat menjamin hidup yang sempurna.

Uang adalah dasar dari segala ide dan tindakan; uang membuat segala cara menjadi halal untuk memperjuangkannya; menjadikan manusia berkacamata kuda. Koruptor yang menyelewengkan hak manusia lain terkesan tak punya cara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Satu-satunya cara adalah mengikuti di mana uang berlabuh; mengejar dan mengambil tak peduli milik siapa.

Lewat pemujaan terhadap uang, muncul sebentuk harapan yang menawarkan kehidupan tak terbatas. Kehidupan yang mapan tanpa ada kesulitan berarti. Kebutuhan bisa terpenuhi dengan mudah, kepuasan-kepuasan tersier bisa diperoleh, bahkan jika menggelembung pundi-pundinya, manusia bisa beragama—yang institusionil—dengan lebih maksimal.

Dengan uang, seseorang bisa pergi ibadah berkali-kali, bahkan memberi makan ribuan anak yatim, atau membangun tempat ibadah. Tak lain karena pada dasarnya yang melengkapi manusia beragama adalah aspek kesalehan sosial.

Korupsi sesungguhnya adalah salah satu bentuk bunuh diri. Secara harafiah bunuh diri dapat dimaknai sebagai penyerahan diri untuk hidup dipenjara dalam sel. Hukuman maksimal bagi koruptor adalah hukuman seumur hidup. Dengan korupsi, koruptor tahu persis bagaimana kebebasan mereka hilang, serta di mana mereka hendak menjemput ajalnya.

Bunuh diri juga bisa berarti bahwa koruptor terlalu larut dalam harapan-harapan yang niscaya menenggelamkan mereka. Mereka bisa mati dalam harapan-harapan yang diberikan uang. Kita, anak milenial, menyebut kapital sebagai PHP alias Pemberi Harapan Palsu. Ketika kekayaan dianggap sebagai tuhan, berarti korupsi adalah ibadahnya; jalan menujunya. Sayangnya, keimanan pada uang yang maha kuasa seringkali tidak mengikutsertakan pertimbangan-pertimbangan logis.

Untungnya, di tengah pusaran informasi yang cepat, masyarakat Indonesia semakin sadar bahwa rasuah—terlebih yang mengatasnamakan ibadah agama-agama—adalah perbuatan keji terhadap keberlangsungan negara dan peradaban. Kini, setelah berita korupsi terkait peribadatan mulai terkuak satu demi satu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus didukung dan dikawal, sebagai satu dari sekian cara warga negara melawan korupsi.

KPK harus didukung karena ialah sang penyelam kunci. Ia dapat menyelamatkan koruptor dari ketenggelaman dalam harapan pada uang dan memerdekakan Indonesia.

Baca juga:

Ibadah Haji dan Jebakan Sindikasi

Haji yang Zalim (Mengenang KH Ali Mustafa Yaqub)

“Nasihat Emas” Seputar Korupsi untuk Patrialis Akbar

Aura Asmaradana
Aura Asmaradana
Mahasiswi tingkat akhir di STF Driyakarya, Jakarta. Karyanya, "Solo Eksibisi" - Kumpulan Cerita Pendek (2015)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.