Studi agama dalam tata negara dan politik selalu menjadi isu penting, mengingat agama memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan masyarakat, budaya, dan politik di banyak negara di seluruh belahan dunia.
Tak mengherankan, agama dan negara memang terlihat seperti dua sahabat dekat yang susah dipisahkan sejak zaman dulu, terutama di Eropa abad pertengahan (Maceli, 2009). Pada saat itu, muncul konsep negara teokrasi mutlak oleh Agustinus di mana konsep negara bercampur aduk dengan ajaran Kristen. Gereja sebagai sebuah institutsi, berlaku layaknya bos besar yang selalu campur tangan di segala urusan, termasuk dalam kebijakan negara.
Akibatnya, masyarakat Eropa pada waktu itu menjadi memiliki ketergantungan dengan pemikiran gereja dan membuat mereka masuk ke masa kelam yang disebut sebagai “the dark age”. Hal ini kemudian menyebabkan banyak terjadinya pemberontakan terhadap gereja hingga memunculkan konsep negara baru yaitu negara sekuler di mana urusan antara agama dan negara harus dipisahkan.
Sementara, perspektif Islam yang lebih multiintepretatif (memiliki kontesktualisasi yang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran dalam setiap zamannya) menyatakan bahwa terdapat tiga konsep dasar dalam memandang agama dan negara menurut Munawir Sjadzali (1993) dalam bukunya yang berjudul Islam dan Tata Negara.
Pertama adalah paradigma integralistik yang menyiratkan bahwa agama dan negara tidak dapat dipisahkan, membentuk kesatuan totalitas di mana keduanya menyatu sebagai lembaga politik dan keagamaan. Kedua merupakan paradigma simbiosis-mutualistik di mana pandangannya menyatakan bahwa agama dan negara saling membutuhkan untuk menjaga keteraturan dan moral dalam masyarakat. Ketiga yaitu paradigma sekuler yang ingin memisahkan agama dan negara, di mana tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dan agama, serta memandang negara sebagai urusan dunia yang terpisah dari nilai-nilai agama.
Dalam konteks Indonesia, hubungan antara agama dan negara merupakan salah satu isu kompleks sejak awal kemerdekaan. Ini terutama berkaitan dengan perdebatan mengenai Islam yang banyak berjasa terhadap sejarah bangsa ini, sehingga sebagian besar umat Muslim Indonesia sangat ingin membuat Islam menjadi agama dan ideologi negara. Keinginan tersebut telah berulang kali dicoba, namun selalu gagal. Baik non-Muslim maupun sebagian besar Muslim tidak ingin Islam menjadi agama resmi negara dan menjadi ideologi dasar sistem negara (Effendy, 1995).
Namun demikian, hal tersebut tidak berarti perjuangan di antara umat Islam yang ingin Islam sebagai ideologi negara telah berhenti karena kegagalan. Upaya dalam arah tersebut terus dilakukan oleh para tokoh yang sejak awal menginginkan formalisasi Islam dalam sistem negara. Pada awal Orde Baru, beberapa orang berjuang untuk pemulihan partai-partai Islam yang dibubarkan selama pemerintahan Presiden pertama Indonesia, Sukarno. Mereka juga menginginkan implementasi Piagam Jakarta yang secara jelas menjamin keberadaan Islam di negara ini.
Hal ini dilakukan karena konon katanya, di masa Orde Baru ketika rezim Soeharto masih bertengger di istana megah, agama dan kelompok afiliasinya menjadi musuh besar negara. Hingga hari ini, banyak orang yang meyakini bahwa saat itu Soeharto merasa status quo-nya terancam dengan kehadiran kelompok yang berangkat dari ideologi agama tertentu karena pergerakannya yang dinilai militan dalam menentang pemerintahan Orde Baru.
Berdasarkan catatan sejarah, Soeharto melakukan fusi partai atau penggabungan beberapa partai politik menjadi satu wadah. Selain itu, ia juga mengeluarkan kebijakan asas tunggal di mana semua partai politik dan organisasi masyarakat harus berlandaskan ideologi Pancasila tanpa melibatkan unsur ideologi yang lain. Hal ini menimbulkan implikasi pada eksistensi partai politik di mana partai-partai berasaskan Islam pada jaman Soekarno tidak lagi dapat menunjukkan warna asli mereka.
Fenomena itu sebenarnya tidak hanya terjadi pada kelompok militan agamis saja, namun juga terjadi pada kelompok lain yang basis gerakannya adalah ideologi tertentu, seperti komunisme dan sosialisme. Hal tersebut terjadi lantaran mereka juga turut andil dalam menekan hegemoni penguasa. Berangkat dari hal tersebut, perlu kita akui bahwa Orde Baru memiliki peran sentral dalam menciptakan alienasi lewat label dan istilah yang sedemikian di antara tokoh politik pada masa itu. Dampak yang ditimbulkan cukup berarti. Misalnya, pemenjaraan tokoh-tokoh aktivis, pengawasan ketat terhadap organisasi keagamaan, dan intervensi pergerakan.
Padahal, WA Galstoon (1987) dalam pandangan liberalisme dan agamanya, menyatakan tentang keterkaitan agama dan demokrasi. Menurutnya, agama memiliki dampak positif pada keduanya. Agama dianggap sebagai nilai dan asosiasi, terbukti berpengaruh positif terhadap demokrasi di Amerika Serikat dengan menciptakan kegairahan dan motivasi yang abadi sebagai sistem nilai. Komaruddin Hidayat dalam Purbolaksono (2010), juga menawarkan konsep teo-demokrasi di mana konsep ini menyatakan bahwa agama dan demokrasi sejalan dan mendukung proses demokratis dalam politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Pasca reformasi, agenda untuk mengekspresikan kebebasan agama dikabarkan mendapat angin segar dari negara. Klaim ini bukan tanpa alasan, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden ke-5 Republik Indonesia, saat itu mengambil langkah berani untuk mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000.
Diketahui bahwa kelompok etnis Tionghoa pada masa pemerintahan Orde Baru merupakan salah satu kelompok yang juga tak lepas dari jerat diskriminasi negara. Tak sampai di situ, berita baik ini juga ditandai dengan keterlibatan agama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk perannya sebagai simbol sekaligus motor penggerak dalam konteks politik. Ini ditandai dengan lahirnya berbagai partai politik dengan macam dan ragam spektrum agama, terutama dalam hal ini adalah agama Islam, yang berbeda-beda.
Beberapa partai Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN), memilih pendekatan inklusif dalam menafsirkan agama dengan mengidentifikasi diri mereka sebagai partai terbuka.
Sementara, partai Islam lain memilih menyatakan diri mereka sebagai partai ‘eksklusif’ Islam, dengan menjadikan Islam, terutama al-Qur’an dan al-Hadits, sebagai landasan utama partai. Contoh dari partai-partai ‘eksklusif’ ini misalnya seperti Partai Keadilan (PK) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Meskipun begitu, penting untuk dicatat bahwa dalam konteks Pemerintahan Gus Dur pun, partai-partai Islam tidak juga sepenuhnya menampakkan warna Islamnya. Kebanyakan dari partai Islam di Indonesia mengakui bahwa mereka adalah Islam-nasionalis yang tetap berlandaskan Pancasila dengan tingkat intensitas ketaatan pada keislaman yang berbeda-beda.
Dari pembahasan di atas, timbul satu pertanyaan yang menarik: bagaimana sebenarnya posisi agama dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia? Pertanyaan ini membawa kita pada pertanyaan lain, seperti bagaimana hukum di Indonesia mengatur agama dan peranannya dalam masyarakat? Sudahkah negara memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak dan kebebasan beragama?
Kedudukan Agama dalam Hukum Positif Indonesia
Sebelum membahas lebih dalam, penting bagi kita untuk menyadari adanya beberapa kesalahpahaman seputar status agama di Indonesia. Konsep tentang “agama resmi” sebenarnya tidak secara tegas diatur dalam hukum positif Indonesia. Klaim tentang “agama resmi” pertama kali muncul dalam penjelasan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 mengenai penodaan agama.
Namun, penjelasan tersebut, sebagai bagian dari dokumen PNPS, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Bahkan dalam penjelasan tersebut, tidak secara langsung disebutkan tentang “agama resmi”, melainkan lebih kepada “agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia”, yang kemudian diinterpretasikan sebagai Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Lebih lanjut, penjelasan tersebut juga menegaskan bahwa keberadaan agama-agama lainnya seperti Yahudi, Zoroastrian, Shinto, dan Taoisme tidak dilarang, selama tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Meskipun demikian, jika kita perhatikan lagi menggunakan perspektif politik dan legislasi, status antara enam agama yang disebutkan pertama kali (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu) dengan empat agama yang disebutkan setelahnya (Yahudi, Zoroastrian, Shinto, dan Taoisme) memiliki kedudukan yang berbeda. Enam agama pertama diakui tanpa syarat, sementara empat agama lainnya diakui dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum.
Patut dicatat bahwa PNPS Nomor 1 Tahun 1965 dikeluarkan pada masa pemerintahan Soekarno tepatnya pada bulan Januari 1965, sebelum terjadi pergantian rezim pada bulan September 1965 yang mengarah pada perubahan signifikan dalam berbagai kebijakan, termasuk pembubaran PKI, dan pembatasan pada agama Konghucu.
Walaupun ada perubahan kebijakan pada era pemerintahan baru Soeharto, namun hal tersebut juga tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan, justru cenderung menurun. Hal ini lantara Konghucu yang disebut sebagai salah satu dari “agama resmi” dalam PNPS 1/1965, justru diganti pemaknaannya pada era rezim orde baru Soeharto. “Konghucu” versi pemerintah Orde Baru lebih merujuk pada kepercayaan Tionghoa daripada agama Konghucu sebagaimana dipahami di Tiongkok. Penggunaan istilah ini secara politis dimaksudkan untuk mengakomodasi kepercayaan Tionghoa tanpa mengakui agama Konghucu secara eksplisit.
Dengan demikian, larangan terhadap agama Konghucu tidak secara eksplisit diatur dalam satu dokumen tunggal seperti Inpres atau Kepres tertentu. Akibatnya, meskipun secara formal diakui sebagai salah satu dari “agama resmi” di Indonesia, praktik agama Konghucu tetap dianggap sensitif dan terbatas. Misalnya, akses terhadap pendidikan agama Konghucu dibatasi, dan praktiknya seringkali dihadapi dengan diskriminasi dan kendala administratif. Belum lagi tekanan politik dan sosial yang membuat masyarakat Tionghoa cenderung tidak mengidentifikasi diri dengan agama Konghucu secara terbuka.
Bagaimana Posisi Penghayat?
Pada tahun 1973, muncul sebuah gerakan politik mengenai pengakuan kepercayaan lokal yang sejajar dengan agama. Di dalam GBHN MPR 1973, kepercayaan lokal diposisikan setara dengan agama sebagai entitas yang berbeda namun memiliki nilai yang sama. Perubahan ini terjadi akibat masuknya banyak orang abangan ke dalam partai Golkar yang baru dibentuk oleh Soeharto.
Namun, dalam waktu lima tahun, tepatnya pada tahun 1978, GBHN mengalami perubahan yang signifikan, menggeser posisi kepercayaan lokal di bawah agama, sehingga harus tunduk pada payung agama. Sampai dengan hari ini, kepercayaan lokal tidak lagi mendapat perlakuan setara dengan agama, melainkan diposisikan di bawah pembudayaan, dan dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bukan Kementerian Agama. Menurut berita umum yang beredar, hal tersebut dilakukan dalam rangka mencegah munculnya kepercayaan lokal yang dapat menjadi agama baru yang bersaing dengan agama-agama yang sudah mapan.
Keputusan itu tentu menimbulkan banyak implikasi terutama yang berkaitan dengan hal-hal administrasi dan pencatatan. Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri No. 43/41 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, disebutkan dalam Pasal 1 bahwa pelayanan untuk masyarakat penghayat meliputi kebutuhan administrasi, pemakaman dan sasana sarasehan yang tugas tersebut kemudian dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah (Pasal 2).
Namun, berdasarkan keterangan dari Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), peraturan bersama menteri tidak memiliki kekuatan hukum yang jelas, sementara banyak Pemerintah Daerah (Pemda) yang kemudian tidak menunjukkan komitmennya terhadap eksistensi peraturan tersebut dengan menurunkannya ke dalam Peraturan Daerah (Perda) misalnya.
Hal itu misalnya terjadi pada tanah pemakaman atau kuburan di mana umumnya terbagi menjadi blok Muslim, blok Kristen, dan blok agama lain di banyak Tempat Pemakaman Umum (TPU). Dengan demikian, penghayat yang bukan merupakan bagian dari agama tersebut, tidak mendapatkan bagian mereka di dalamnya. Situasi ini masih berlangsung hingga sekarang.
Oleh karena itu, teman-teman MLKI merasa bahwa peraturan bersama menteri perlu ditingkatkan lagi hierarkinya menjadi Perda/Perpres agar kepentingan mereka dapat diakomodir dan mendapat kepastian hukum dalam pengaturan tersebut. Selama ini, banyak masyarakat penghayat yang masih mengalami masalah terkait pemakaman. Masyarakat penghayat seringkali terpaksa harus “diagamakan” terlebih dahulu ketika mereka meninggal, di-Islamkan misalnya, dan jenazahnya harus dishalatkan sebelum bisa dikuburkan.
Sulitnya Membangun Rumah Ibadat
Di Indonesia, pembangunan rumah ibadat diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9/8 Tahun 2006. Meskipun demikian, peraturan tersebut masih menghadapi sejumlah kecacatan logika dalam pasal-pasalnya, yang kadang-kadang menyulitkan proses pembangunan rumah ibadat.
Salah satu contoh yang mencolok adalah persyaratan yang diatur dalam peraturan ini, di mana untuk mendirikan sebuah rumah ibadat diperlukan 90 KTP dari pengguna rumah ibadat, 60 persetujuan dari warga sekitar, dan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Syarat tersebut kemudian banyak dipolitisasi untuk kepentingan tertentu sehingga seringkali merugikan kelompok agama minoritas.
Selain itu, kendala utama timbul ketika pemerintah daerah gagal melaksanakan kebijakan ini dengan baik. The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) dalam catatan riset kualitatif (November 2023 – Feburari 2024) menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi seringkali karena PBM 9/8 2006 sendiri tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup kuat. Hal ini kemudian menimbulkan kelalaian dan perasaan tidak wajib untuk mentaati atau menjalankan peraturan yang dianggap tidak mengikat tersebut.
Fenomena itu diperparah dengan peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang tidak optimal. FKUB yang seharusnya menjadi mediator dalam penyelesaian konflik juga seringkali tidak memiliki pemahaman yang cukup akan tugas dan fungsi mereka, serta kurangnya kemampuan dalam meresolusi konflik dengan baik. Hal ini menyebabkan pembangunan rumah ibadat seringkali terhambat oleh berbagai permasalahan administratif dan kebijakan yang belum efektif.
Meskipun evaluasi mendalam terhadap PBM 9/8 2006 serta peningkatan peran dan kemampuan FKUB telah dilakukan berulang kali, dinamika pembangunan rumah ibadat di Indonesia masih belum menunjukkan perubahan yang signifikan. Kondisi ini menandakan bahwa upaya tersebut tidak sepenuhnya berhasil mengatasi berbagai hambatan yang ada. Faktanya, perubahan yang substansial dalam proses pembangunan rumah ibadat juga membutuhkan dukungan dan kemauan politik yang kuat dari masing-masing pihak terkait, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, serta berbagai pemangku kepentingan terkait lainnya.
Hanya dengan adanya komitmen politik yang kuat dan kebijakan publik berbasis pemenuhan hak kebebasan beragama, serta diikuti langkah-langkah konkret untuk meningkatkan proses regulasi dan implementasi kebijakan, serta komitmen dan kolaborasi multi pihak, maka kemungkinan terwujudnya perubahan yang diinginkan dalam pembangunan rumah ibadat di Indonesia yang mencerminkan toleransi dan penghargaan terhadap HAM dan pluralism akan semakin besar.
Dari pembahasan di atas, terlihat jelas bahwa agama dan politik selalu saling terkait. Namun, klaim tentang “negara religius” menjadi kurang bermakna jika tidak diikuti dengan tindakan konkret dari pemerintah untuk melindungi hak-hak setiap orang dalam menjalankan keyakinan agamanya, tanpa memandang jenis agamanya. Ini menunjukkan betapa pentingnya tidak hanya menghormati keberagaman agama, tetapi juga memastikan bahwa setiap orang merasa aman dan dihormati dalam menjalankan keyakinannya.
Komitmen pemerintah dalam melindungi kebebasan beragama adalah landasan utama dalam membangun masyarakat bebas dan terbuka, yang toleran dan harmonis, di mana setiap individu dihargai dan diakui atas keyakinan dan praktik keagamaannya. Dengan demikian, klaim tentang Indonesia sebagai negara religius akan memiliki makna yang nyata, ketika tercermin dalam perlindungan yang konkret terhadap kebebasan beragama bagi semua warga negara.