Senin, April 29, 2024

Ada Luka di Balik Topeng Kemajuan Islam

Hodari Mahdan Abdalla
Hodari Mahdan Abdalla
Mahasiswa tingkat akhir UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, jurusan Studi Agama-Agama.
Warga yang tergabung dalam Aksi Bela Ulama 96 melakukan aksi damai di pelataran Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (9/6). Dalam aksinya mereka menolak penetapan tersangka pimpinan Front Pembela Islam Riziq Shihab dan pembubaran ormas HTI. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Islam di Indonesia belakangan ini mengalami kemajuan. Setidaknya, kalau saya melihatnya dari sisi sejauhmana Islam mampu menampilkan pesona daya tarik (enchantment) di “mata” umat. Keberhasilan Islam memperlihatkan pesona tentang dirinya sebagai agama terbukti dengan semakin menguatnya ketertarikan umat terhadap agama itu.

Sekilas pengamatan saya, ada empat fenomena yang menandai keberhasilan itu. Pertama, maraknya “praktik religius”, tulis R. Stark dan Glock (1968). Praktik religius merupakan praktik keagamaan yang di dalamnya terdapat ritual-ritual khusus yang bersifat spiritual.

Ibarat “air”, ia merupakan sesuatu yang sangat berharga pun laris manis di hadapan orang-orang yang sedang kehausan. Umat Muslim di Indonesia, akhir-akhir ini, boleh dikatakan sebagai umat yang sedang kehausan spiritualitas. Praktik religius dalam Islam menyediakan itu: menyediakan “air spiritual” bagi setiap orang yang batinnya sedang “dahaga.”

Dari itu, tak heran jika mereka berbondong-bondong untuk terlibat aktif dalam pelaksaan setiap praktik religius. Kita bisa menjumpai setiap fenomena itu dengan mudah: meningkatnya frekuensi pengajian ibu-ibu di hampir setiap stasiun tv, majlis taklim di perkotaan, adat ngeriung di kampung, dan gerakan subuh berjamaah yang belakangan juga mulai ramai dibicarakan—dari gerakan dunia maya (@PejuangSubuh di Twitter, misalnya) hingga salat subuh berjamaah bersama massa aksi 112.

Kedua, selain praktik religius yang juga menandai keberhasilan Islam dalam menampilkan pesonanya adalah gaya hidup “Islamisasi”. Sebagian masyarakat Muslim kita mulai percaya diri dengan identitas keislaman mereka dalam menampilkan gaya hidup.

Mereka menampilkan gaya hidup yang dianggap “Islami” (saya sengaja mengimbuhkan tanda kutip pada kata Islami karena terma itu merupakan nomenklatur yang masih diperdebatkan) di depan publik sebagai bentuk “perlawanan” atas gaya hidup Barat. Salah satu bentuknya adalah cara berpakaian: ada yang disebut “kaum sarungan” dan ada juga “kaum celana cingkrang.”

Atau di bidang musik, misal, ada Syeikher Mania sebagai bentuk anti-tesis dari mania-mania musik lain yang “bermazhab” ke Barat.

Ketiga, besarnya jumlah massa pada beberapa aksi demonstrasi yang mengatasnamakan Islam , seperti demo 411, 212, dan 112. Fakta itu menunjukkan kepada kita bahwa Islam di sini, bagi mereka, menjadi sesuatu yang perlu dibela.

Pembelaan yang mereka lakukan terhadap Islam merupakan konsekuensi dari doktrin keagamaan yang mereka pahami dan gairah kepemilikan (spirit of ownership) terhadap Islam. Mereka yang ikut terlibat dalam sejumlah aksi itu—seperti massa aksi dari Ciamis yang jalan kaki ke Jakarta—dapat dipastikan bahwa pemahamaan keagamaan mereka bersumber dari doktrin Islam yang konservatif.

Pemahaman kegamaan semacam itu—lantaran eksklusivisme yang terbentuk di dalamnya—acap menimbulkan gairah kepemilikan terhadap Islam. Islam, bagi mereka, seolah-olah milik mereka sendiri. Di luar golongan mereka, tak berhak mengaku Islam. Hal tersebut terbukti dengan adanya terma-terma ideologis seperti firqah najiyah (kelompok yang selamat), thaghut (orang yang sesat), kafir (bukan Muslim), dan lain-lain.

Dengan adanya demonstrasi itu, Islam berhasil menjadi trending topic di berbagai media. Lantaran menjadi trending topic, tak heran bilamana fenomena itu berhasil mempengaruhi cara keberagamaan masyarakat Muslim Indonesia kemudian hari dan bahkan terhadap iklim perpolitikan (hanya saja saya tak mau fokus dalam hal ini).

Berikutnya (yang keempat), setelah fenomena demonstrasi, yang turut menandai kemajuan enchantment of Islam adalah ramainya perdebatan wacana keislaman yang berkelanjutan. Wacana keislaman yang sedang ramai dibicirakan belakangan ini adalah: golongan Islam yang manakah yang bisa dikatakan sesat dan berbahaya?

Wacana itu melahirkan dua kubu yang satu sama lain berbeda dalam menjawabnya. Kubu pertama menyatakan bahwa yang sesat dan berbahaya adalah kelompok mana pun—yang mengatasnamakan apa saja—yang mengajarkan doktrin radikalisme dan ekstrimisme.

Bagi kubu kedua, setiap kelompok yang mereka anggap mengajarkan atau mengikuti paham liberalisme, komunisme, dan aliran-aliran keagamaan yang di luar ideologi (nihlah) mereka.

Perdebatan semacam itu merupakan kewajaran pada setiap agama, termasuk Islam. Karena, sepanjang sejarah, setiap agama (terutama world religions) memang tak pernah berhasil selamat dari konflik internal dalam dirinya. Menurut saya, konflik ini—selama tak masuk sebagai konflik kekerasan—tak bisa dikatakan sebagai malapetaka tetapi justru sebagai rahmat. Karena justru dengan adanya konflik, Islam berhasil menyita perhatian banyak orang, bukan hanya dari umat tetapi juga dari luar umat.

Demikian empat fenomena yang menandai keberhasilan Islam dalam menampilkan pesona daya tariknya. Keempat-empatnya, bagi saya, merupakan sekumpulan fenomena yang perlu diapresiasi. Karena, itu semua memang merupakan bagian dari cita-cita Islam. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk menyemarakkan praktik religius, menunjukkan gaya hidup tersendiri yang membedakan dari umat-umat yang lain, membela agamanya, dan menganggap perbedaan sebagai rahmat.

Namun, walaupun kemunculan keempat fenomena itu berhak diapresiasi, hal itu bukan berarti bahwa Islam yang berkembang saat ini selamat dari kritik. Saya melihat ada beberapa celah pada masing-masing fenomena itu yang perlu kita kritisi.

Pertama, maraknya praktik religius, menguatnya Islamisasi gaya hidup, dan munculnya demonstrasi atas nama Islam seharusnya sebanding lurus dengan kesejahteraan umat. Setidaknya prinsip itu akan teramini kalau kita menganggap bahwa Islam adalah agama yang peduli terhadap umatnya.

Saya baca laporan terakhir dari Oxfam Indonesia dan Internasional NGO Forum on Indonesia Development (INFID), ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat masih sangat jomplang. Menurut laporan tesebut, Indonesia tercatat sebagai negara yang ketimpangan ekonominya berada di posisi keenam terburuk di dunia. Bayangkan, kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta orang termiskin gabungan.

Ini masalah besar yang tanggung jawabnya tak melulu harus dibebankan kepada pemerintah. Bilamana terhitung lebih baik, kenapa tidak agama turut andil dalam mengentaskan masalah itu. Islam, sebagaimana kita tahu, merupakan agama yang tak melulu mengurus bab thaharah (bersuci) dan shaláh (salat). Tapi ia juga mengandung ajaran-ajaran yang mengarah pada terbentuknya keadilan sosial.

Saya turut menyayangkan, kenapa demonstrasi yang dihadiri jutaan orang itu hanya bergerak pada persoalan “membela agama.” Kenapa saat masyarakat Kendeng menyuarakan hak-haknya, mereka tak hadir. Apakah hal itu dikira kurang Islami? Kenapa di tengah-tengah praktik korupsi yang merajalela, mereka tak turun ke jalan—kalau kata Iwan Fals—“robohkan setan yang berdiri mengangkang,” dalam salah satu judul lagunya, Bongkar.

Baca: Jokowi dan Negara yang Hilang di Kendeng

Selain itu, celah yang kedua adalah ramainya perdebatan wacana keislaman seharusnya sejajar dengan ramainya berita mengenai capaian prestasi-prestasi anak bangsa, terutama generasi Muslim (karena, di sini sekarang sedang membicarakan Islam) di berbagai bidang disiplin keilmuan, seperti kimia, kedokteran, fisika, teknologi, sosiologi, antropologi dan lain-lain.

Kita lihat bagaimana perkembangan terbaru generasi umat kita, terutama di daerah perkotaan. Mereka sekarang sedang terjangkit virus gaya hidup yang disebut dengan “cabe-cabean,” sinonim dari istilah lain, “Anak Jalanan:” yang kemudian dijadikan sebagai judul sinetron pada salah satu stasiun tv tanah air. Mereka menjadi generasi yang pemalas, konsumtif, dan kerjaannya hanya “nongkrong.”

Menurut saya, problem keumatan ini bukan merupakan fenomena baru. Ini telah lama muncul di permukaan publik. Pertanyaan saya, lalu di mana peran agama, (Islam khususnya) selama ini? Dari itu, saya berpendapat bahwa capaian kemajuan Islam belakangan ini sebenarnya adalah topeng, yang di dalam topeng itu terdapat wajah berluka-luka.

Di balik maraknya praktik religius, menguatnya Islamisasi gaya hidup, dan munculnya demonstrasi atas nama Islam, ada ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat yang terlupakan. Di balik hebatnya perdebatan wacana keislaman yang kian hari makin asyik, ternyata ada generasi muda yang sedang berada di ambang kehancuran dan terlupakan.

Baca juga:

Ongkos-Ongkos “Aksi Bela Islam” 

Ada Apa dengan Aksi Bela Islam?

Negara antara “Syariatisasi Indonesia” dan “Indonesianisasi Syariah”

Hodari Mahdan Abdalla
Hodari Mahdan Abdalla
Mahasiswa tingkat akhir UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, jurusan Studi Agama-Agama.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.