Jumat, April 19, 2024

83 Tahun GP Ansor dan Ijtihad Penguatan NKRI

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan pengarahan kepada anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU dalam Apel Kebangsaan dan Kemah Kemanusiaan memperingati 83 tahun GP Ansor di Perkemahan Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (18/4). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

24 April ini merupakan hari lahir Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Tahun ini harlah GP Ansor bertepatan dengan perayaan Isra’ Mi’raj yang mengungkapkan sejarah perjalanan semalam Nabi SAW dari Masjid al-Haram ke Sidratul Muntaha untuk menerima perintah salat bagi umatnya. Secara historis, memang tak ada hubungan antara keduanya. Akan tetapi, dua peristiwa ini sama-sama menggambarkan sebuah perjalanan panjang yang menegaskan keberartian posisi diri dalam konstelasi keberagamaan.

Bila Isra’ Mi’raj mengingatkan umat Islam tentang perjalanan spiritual Nabi, bagi GP Ansor, 24 April adalah sebuah embrio untuk menapaki perjalanan jihad membela tanah air dan memperkuat keindonesiaan yang diamanati para masyayikh Nahdlatul Ulama pada tahun 1934.

Kiprah GP Ansor sudah memasuki usia ke-83, yang keberadaannya sesungguhnya lebih tua daripada kemerdekaan Indonesia yang akan menginjak ke-72. Perjalanan Ansor ke-83 ini semakin mengepakkan sayap pembelaannya terhadap tanah air. Tidak hanya dalam kerangka jihadiyah secara fisik—seperti awal-awal tahun berdirinya yang dinafasi oleh semangat KH Abdul Wahab, syubbanul wathan—tetapi juga menyematkan gerakan ijtihadiyah untuk membingkai semangat pembelaaan tanah air dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara-bangsa berdasar Pancasila dan UUD 1945.

Salah satu bentuk gerakan ijtihadiyah yang dilakukan GP Ansor adalah ketika pada 12 Maret 2017 menggelar halaqah bahtsul matsail yang melibatkan kiai-kiai muda NU. Ada beberapa poin penting yang dihasilkan untuk merespons tren kehidupan keagamaan di Indonesia, yang menunjukkan gejala intoleransi dan fenomena kebangsaan yang kian centang perenang.

Secara umum, benang merah yang dicapai dalam halaqah tersebut adalah GP Ansor hendak mengingatkan kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa NKRI adalah bingkai utama berbangsa dan bernegara. Karena itu, sepatutnya yang dikedepankan dalam kehidupan kita adalah bagaimana merajut persatuan dan kesatuan. Kalaupun dalam berbagai aspek ada perbedaan, selazimnya tetap memegang teguh etika amar ma’ruf dan tata krama perbedaan pendapat dan mengedepankan spirit NKRI.

Dalam konteks ini, halaqah GP Ansor NU menjadi turning point untuk menyegarkan tradisi keberagamaan secara inklusif sekaligus menjadi terobosan untuk mendobrak kebekuan berpikir yang sejak awal reformasi kian diwarnai oleh fenomena puritanisme religius. Dan, hasil yang dicapai dalam halaqah tersebut mencerminkan keberadaan GP Ansor NU sebagai kelompok ijtihadis progresif.

Ijtihadis Progresif
Dalam buku Islamic Thought: An Introduction, Abdullah Saeed menguraikan pemikiran ihwal bagaimana merumuskan model gerakan ijtihadis progresif dalam mengkaji teks dan tradisi keagamaan. Menurut Saeed, ciri keilmuan kelompok ijtihadis progresif banyak menempatkan diri sebagai kritikus sosial yang selalu gelisah terhadap mewabahnya eksklusivisme dan aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Ijtihadis progresif selalu berupaya menegakkan nilai-nilai keadilan (‘adl) dan nilai-nilai kebajikan serta keindahan (ihsan) dalam menyajikan pandangan keagamaan yang moderat dan toleran di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk.

Atmosfir akademis yang dilakukan GP Ansor dengan mentradisikan kerja-kerja ilmiah melalui kegiatan halaqah guna merumuskan sebuah rekomendasi yang berguna bagi penguatan kehidupan beragama yang inklusif, kehidupan berbangsa yang solid, dan ketulusan dalam melestarikan semangat kemanusiaan. Kerja-kerja ilmiah ini kelak menjadi bukti bahwa GP Ansor turut ambil bagian sebagai ijtihadis progresif yang ingin menjaga martabat keindonesiaan agar tidak dicemari oleh sekelompok orang yang melakukan tindak makar dan kejahatan dengan mengatasnamakan agama.

Setidaknya, yang dilakukan GP Ansor—berupaya menjembatani khazanah kajian Islam klasik (turats) sebagai ciri berpikir pesantren plus pendekatan kontemporer dalam melahirkan pandangan keagamaan yang reflektif-kritis—memberikan kesan bahwa dalam beragama sesungguhnya terdapat keluwesan dan keluasan cakrawala dalam menyikapi segala persoalan.

Berlatar pengetahuan dan kajian fiqhiyah yang mengakar kuat di lingkungan pesantren, GP Ansor juga ingin menyoal pergerakan kelompok puritan religius yang membingkai pandangan keagamaannya secara literlek dan selalu terjebak pada kedangkalan berpikir dalam menyikapi ajaran agama.

Bahkan, melalui bahsul masail, GP Ansor bisa mendesain sebuah analisis sosial untuk menengarai pola pergerakan keberagamaan beraliran puritan yang sering diinstrumentalisasi sebagai bancakan kekuasaan oleh para elite di dalamnya. Sebab, sebagaimana kentara di ruang publik, banyak kaum puritan yang menuding pihak lain yang berseberangan pandangan dan akidahnya sebagai kaum kafir dan musyrik, namun di dalam pusarannya terkuak banyak kemunafikan. Bahkan, dalam banyak kasus, kemunafikan digunakan sebagai mode of production untuk mendulang keuntungan dan kepentingan.

Maka, keterlibatan GP Ansor mengawal semangat keberagamaan yang toleran dan semangat bernegara yang solid bisa dikatakan sebagai bagian dari manifestasi dari karakter ijtihadis progresif. Karakter semacam ini  tidak hanya bergelut dalam pengayaan wacana keagamaan, tetapi pada level praktis juga ingin berpartisipasi bagi tersemainya perdamaian dan keamanan di republik ini. Sebab, merawat keindonesiaan yang damai berarti melestarikan warisan para pejuang kemerdekaan. Apalagi di dalam sejarah kemerdekaan ada keterlibatan ulama yang turut berjibaku.

Muslim Partisipan
Dalam kaitan ini, GP Ansor yang selama ini terlibat di berbagai arena publik (sebagai kelompok partisipan yang turut mengawal penyelenggaran peribadatan lintas agama, maupun mewaspadai corak indoktrinasi sekelompok kaum beragama yang kerap menebar kebencian), sesungguhnya adalah sebuah penegasan bahwa seorang Muslim harus bisa merangkul siapa pun. GP Ansor harus bisa mengekspresikan corak keagamaan yang ramah dan sekaligus mengingatkan siapa pun yang hanya menampilkan corak keagamaan yang marah.

Hal ini pula yang ditegaskan Amir Husain tentang peran “Muslim dalam pluralisme dan dialog antar-iman” melalui buku Progressive Muslims: on Justice, Gender and Pluralism (ed. Omid Safi). Husain menjelaskan makna keterlibatan diri dalam serangkaian laku perdamaian yang menghubungkan posisi diri secara lintas batas sebagai bagian dari ekspresi pluralitas yang berupaya menanamkan sebuah pemahaman yang saling bertitik-temu.

Pendek kata, penegasan ini menjadi sandaran epistemologis bahwa apa yang dilakukan GP Ansor—yang selama ini banyak memerankan diri sebagai Muslim partisipan dalam mengayomi dan mengawal perdamaian—sesungguhnya ingin menegakkan prinsip kebinekaan yang melandasi kehidupan berbangsa kita.

Di saat sekelompok kaum beragama memaksakan kehendak untuk menyeragamkan pandangan dan keyakinannya, peran GP Ansor yang bisa mengimbangi gerak gerik mereka tentu sangat dibutuhkan. Sebab, secara sosiologis, dalam aksi despotisme yang diekspresikan sekelompok orang, dibutuhkan pengimbang dari kelompok lain agar aksi tersebut tidak menjadi unsur penindasan bagi pihak lain. Tentu, sebagai kelompok pengimbang, ia tidak diperkenankan melampaui batas kewajaran yang bertindak di luar hukum.

Namun, mencermati rekam jejak GP Ansor yang mengawali cara pengimbangan terhadap kelompok-kelompok puritan dengan diskusi, menyampaikan peringatan, dan sedikit diimbuhi penekanan yang bernuansa persuasif, apa yang dilakukan oleh GP Ansor masih menunjukkan diri sebagai Muslim partisipan.

Secara aksiologis, Muslim partisipan merupakan bentuk afirmasi dari ijtihadis progresif untuk mengejawantahkan pandangan dan pemikirannya yang inklusif-moderat. Dalam hal ini, halaqoh bahtsul masail yang sudah menghasilkan beberapa poin penting tentu harus digerakkan sebagai laku keadaban secara berkelanjutan. Dan GP Ansor harus memposisikan diri sebagai Muslim partisipan yang mengabdikan dirinya untuk tegaknya perdamaian dan keamanan republik Indonesia.

Di usia ke-83, GP Ansor harus bisa istiqomah memposisikan diri sebagai salah satu penggerak kepemudaan yang merawat Indonesia sebagai negara yang selalu dinafasi Pancasila dan UUD 45. Semoga GP Ansor semakin produktif melahirkan pemikiran dan pandangan keagamaan yang moderat dan inklusif agar bisa membentengi kehidupan berbangsa yang toleran serta memperkuat nalar NKRI.

Fathorrahman Ghufron
Fathorrahman Ghufron
Wakil Katib Syuriyah PWNU dan Pengurus LPPM Universitas NU (UNU) Yogyakarta. Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.