Pada akhir Agustus, orang-orang di dunia melihat foto Angelina Jolie. Ia tak sedang diberitakan bertema film tapi seruan dan aksi kemanusiaan. Foto disertai selembar surat beredar di media sosial. Lembaran dengan tulisan tangan bercerita nasib perempuan dan anak di Afghanistan. Angelina Jolie ingin orang-orang memikirkan Afghanistan.
Para pembaca buku berjudul Penjahit dari Khair Kana (2013) garapan Gayle Tzemach Lemmon juga menemukan seruan Angelina Jolie. Ia telah lama menginginkan perbaikan nasib anak dan perempuan di Afghanistan. Buku itu mendapat sambutan si bintang film tenar: “Penjahit dari Khair Khana memberikan suara kepada banyak pahlawan perempuan tanpa tanda jasa. Para perempuan muda ini melawan segala rintangan untuk menciptakan harapan dari komunitas. Mereka pantang menyerah. Dijamin buku ini akan menyentuh kita.” Buku dan surat penting mengisahkan Afghanistan saat senjata-senjata terus mengakibatkan luka dan kematian.
Afghanistan telah masalah pelik sejak lama. Orang-orang Indonesia turut memberi sikap dan perhatian, berubah sesuai rezim sedang berkuasa. Nasib Afghanistan pernah berurusan dengan Uni Soviet. Orang-orang pun mengenali Mujahidin. Pada masa berbeda, ada Taliban. Segala berita dan cerita dari Afghanistan jarang menggembirakan. Tahun demi tahun, aksi kemanusiaan untuk Afghanistan terus tergelar dengan segala dilema.
Pada 26-27 Oktober 1983, para seniman di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, menggelar acara “Mengingat Afghanistan”. Acara dihadiri ratusan orang sebagai bentuk perhatian untuk Afghanistan. Acara terselenggara saat Abdurrachman Wahid (Gus Dur) turut mengelola Dewan Kesenian Jakarta. Puisi-puisi bertema Afghanistan dibacakan oleh para seniman setelah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Sekian puisi termuat dalam buku berjudul Kembang Para Syuhada (1998) dengan editor Abdul Hadi WM. Kita simak pengantar Ikranagara berkaitan sejarah puisi di Afghanistan: “Rabi’ah Balkhi adalah satu-satunya penyair wanita Afghanistan dari abad X yang sempat mewariskan kepada bangsanya sejumlah puisi. Sebagian dari puisinya itu ditujukan kepada kekasihnya, seorang hamba sahaya di istana. Percintaan gelap ini ketahuan dan abangnya yang menjadi penguasa tertinggi di istananya marah sekali. Darah ningratnya merasa tercemar. Dia bukan hanya setuju langsung menjatuhkan hukuman mati untuk saudara wanitanya. Hukum dilaksanakan dengan tangannya sendiri.” Kita mendapatkan nasib perempuan terkalahkan oleh kekuasaan. Di Afghanistan, nasib untuk perempuan memang merana, dari masa ke masa.
Pada abad XX, nasib Afghanistan terbaca dalam puisi berjudul “Afghanistan” gubahan Quijano. Kita membaca melalui terjemahan Ikranagara: Aku pernah mendengarkan hal ikhwal/ Yang kalau kusimpulkan jadinya begini:/ Presiden Afghan mengatakan,/ maksudku presiden itu dari Afghan/ bahwa orang Rusia akan berada di Afghan/ bahwa orang Rusia akan berada di Afghan/ dengan senjata di tangan sampai/ semua negeri-negeri asing berhenti/ campur tangan di Afghan// Kudengar ucapannya/ Dengan telinga yang siap mendengar/ Telingaku cukup sehat/ Dan aku jadi bingung/ Oh, lebih dari bingung, aku terkejut/ Dengan hati sakit aku terpaksa bertanya:// Apakah ini cara/ untuk mengerti ilmu bumi/ atau tentang sesuatu yang lain. Dulu, Afghanistan berantakan oleh Uni Soviet. Dunia mengetahui nasib Afghanistan, membuat pembelaan. Situasi berubah terlalu cepat saat Afghanistan memiliki kubu-kubu ingin menang dan berkuasa. Kubu-kubu berdalih politik, agama, dan bisnis.
Sejarah Afghanistan, sejarah pertarungan besar memunculkan para kesatria, korban, dan martir. Kita mengingat melalui puisi berjudul “Di Tengah Debu yang Berhamburan” gubahan Abdul Karim, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Hadi WM: Terlalu lama mereka memperbudak kita/ Dan menghina kebanggaan kita/ Bangkitlah wahai kesatria muslim/ Arungi gelombang pasang!/ Biar mereka rasakan/ Ayunkan pedang terhunus dan tombak kita// Sambil kita berseru dengan lantang/ Pada pemimpin kita yang gagah perkasa/ Kejembelan kita adalah kediaman binatang/ Dan kita adalah singa-singanya/ Mari kita bela kehormatan singa. Heroisme terbaca tapi kita bakal mengingat babak-babak Afghanistan bergantian memiliki rezim sering menghasilkan nestapa-nestapa ketimbang gembira. Nasib buruk pun sering milik anak dan perempuan.
Kesaksian tentang perubahan-perubahan di Afghanistan biasa tercatat oleh orang-orang asing. Buku-buku ditulis untuk mengabarkan derita-derita ditanggungkan di Afghanistan. Pengharapan-pengharapan sering berguguran dan sirna. Situasi politik dan sengketa pemahaman agama menjadikan Afghanistan terpuruk dalam konflik-konflik. Afghanistan masih saja berita buruk bagi dunia.
Kita simak kesaksian Sultan Khan melalui buku berjudul Saudagar Buku dari Kabul (2005) garapan Asne Seierstad. Konflik-konflik tak berkesudahan mengakibatkan sial dan petaka bagi saudagar buku. Pemahaman sempit dan picik memicu penghancuran buku-buku. Asne Sierstad mencatat pengakuan Sultan Khan: “Mula-mula, Komunis membakar buku-bukuku, lalu Mujahidin menjarah dan merampasnya, dan akhirnya Taliban membakar lagi semuanya.” Pada 2021, Taliban masih memiliki anggapan picik mengenai buku sebagai representasi keintelektualan dan imajinasi. Permusuhan terhadap buku belum padam. Sultan Khan selalu mengenang bahwa buku-buku dianggap musuh bagi Taliban dipastikan menjadi korban lahapan api. Begitu.