Ade Armando adalah tipe intelektual organik. Sebagaimana yang dimaksudkan Gramsci, intelektual organik hadir dan ada di tengah masyarakat.
Bukan intelektual tradisional yang senang duduk di belakang meja. Yang sibuk dengan slogan dan gagasan. Yang menjadi bagian dari kekuasaan.
Ia pergi meliput demonstrasi di depan gedung DPR, dengan tujuan mulia, tidak ingin demokrasi dinodai keserakahan.
“Ini perjuangan,” katanya.
Penolakan wacana perpanjangan masa jabatan presiden sudah disuarakan sejak lama olehnya. Ade yang sering dituduh sebagai buzzer istana itu dengan tegas menyatakan pendapat sebaliknya. Presiden cukup dua periode.
Reformasi dibangun dengan berdarah-darah. Banyak korban nyawa. Salah satu hasilnya adalah membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode. Karena orang yang berkuasa terlalu lama akan berubah jadi diktator.
Dengan keyakinan itulah Ade berangkat sekira pukul 14:00 dari kantor.
Bersama dua kameramen dan dua penulis, ia tidak hanya ingin mewartakan proses demokrasi, tapi juga ingin menjadi bagian dari kelompok yang memperjuangkan demokrasi.
Setelah proses pengambilan video dirasa cukup, pada pukul 15:35, disepakati untuk menyudahi kegiatan mengambil video. Ade juga menyudahi wawancara dengan wartawan. Posisinya ada di depan pintu gerbang utama DPR. Di jalan Gatot Subroto itu.
Ade Armando mulai mundur dan menjauh dari massa demo pada pukul 15:38. Saat mundur itu ia sudah diawasi beberapa orang yang saling berbisik. Kejadian itu pada pukul 15:38.
Tiba-tiba saja dia didatangi oleh seorang ibu-ibu yang tidak dikenal pada 15:40 sambil memaki-maki. Di sekitar ibu-ibu itu sudah mulai banyak laki-laki berwajah marah.
Keadaan berubah menjadi tidak kondusif, kemudian ia mundur ke dinding pagar DPR pada pukul 15:41. Massa mulai bertambah banyak dan mendorong-dorong Ade Armando.
Kemudian Tim liputan bergeser ke sebelah kiri depan gedung DPR dan langsung dihampiri beberapa orang tidak dikenal, mereka tiba-tiba langsung menyerang, kejadian pada pukul 15:45.
Setelah diamankan dan ditarik ke dalam gedung DPR oleh pihak kepolisian, Ade Armando mendapatkan penanganan dokter polisi pada pukul 16:10.
Saya bertanya pada dokter polisi yang menanganinya tentang kondisinya. Dokter mengatakan, saat itu kondisi Ade sadar, bisa berkomunikasi dan menghubungi keluarganya.
Karena ada penyekatan massa yang rusuh di sekitar gedung DPR, Ade Armando baru bisa dievakuasi dengan ambulance dan sekitar pukul 18:00 sampai ke RS.
Yang mengeroyok Ade Armando bukan mahasiswa, tapi mereka yang sejak lama telah membencinya. Sebut saja gerombolan 212. Orang-orang pengecut yang beraninya melawan orang tua.
Beberapa profil sudah terlihat jelas wajahnya. Dengan teknologi dan kemampuan yang dimiliki polisi, hanya soal waktu mereka bakal segera diangkut.
Ada beberapa orang yang berkomentar nyinyir, kenapa Ade harus terjun ke lapangan? Dia kan bisa menyuruh orang lain?
Ini pertanyaan intelektual tradisional. Mereka yang kalau jadi penyair, gemar bersajak tentang anggur dan rembulan.
Ade Armando bukan tipe intelektual seperti itu. Ia datang ke sana dengan segenap persiapan dan sadar risiko. Ia intelektual organik. Hadir dan mengalir.
Mitigasi telah direncanakan sejak awal. Oleh sebab itu kendaraan yang membawanya berada tidak jauh. Ketika ada tanda-tanda bahaya, tim liputan bisa bergerak cepat menghindar.
Tapi rupanya ibu-ibu yang datang memaki-maki tadi bukan hanya pemicu pengeroyokan, tapi juga pengalih konsentrasi. Maka dalam tempo yang sangat singkat, posisi Ade sudah dikepung dari segala penjuru.
Beberapa orang yang berusaha melindunginya turut terkena amukan, salah satunya adalah Belmondo Scorpio. Ia adalah sosok yang terlihat dalam video sedang melindungi Ade Armando. Pemuda pemberani yang menjadi bagian dari Pergerakan Indonesia untuk Semua yang diketuai oleh Ade Armando.
Kejadian pengeroyokan itu menunjukkan bahwa Ade Armando adalah korban dari kelompok brutal 212. Mereka ingin membungkamnya. Karena selama ini ia dikenal kritis dan meresahkan mereka.
Ade juga jadi korban dari komentator medsos, kelompok intelektual tradisional yang menyalahkannya. Orang-orang yang sebenarnya tidak punya kontribusi apa-apa untuk Indonesia.
Padahal apa yang dilakukannya adalah inspirasi yang harus diikuti. Ia berjuang mewujudkan Indonesia yang adil untuk semua. Satu untuk semua. Ia hadir dan turun ke bawah. Melawan segala bentuk keserakahan dan kezaliman.
Seperti kata Rendra, “Manjing ing kahanan, nggayuh kersaning Hyang Widhi (masuk ke dalam konteks, meraih kehendak Tuhan).”