Selasa, Oktober 15, 2024

Ada Apa dengan MUI?

Zuhairi Misrawi
Zuhairi Misrawi
Ketua Moderate Muslim Society, Alumnus Universitas al-Azhar, Kairo Mesir. Intelektual Muda Nahdlatul Ulama. Ketua Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia. Menulis sejumlah buku: Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (2008), Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Keindonesiaan dan Keumatan (2012), Mekkah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim (2010), Madinah: Kota Suci, Piagam Madihan, dan Teladan Muhammad (2011), Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (2013).
fatwa-mui-ahok
Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin (tengah) saat menyampaikan pernyataan sikap MUI terkait ucapan Gubernur Ahok di Kepulauan Seribu.

Ucapan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu menimbulkan polemik, bahkan melahirkan kemarahan yang bersifat massif di masyarakat. Pasalnya, ungkapan tersebut ditengarai melecehkan al-Qur’an, khususnya surat al-Maidah ayat 51.

Dampak dari peristiwa itu, ada yang sudah melaporkan Ahok ke pihak Kepolisian dengan tuduhan “penodaan agama”. Ada yang hendak menggelar aksi demonstrasi besar-besaran mengecam Ahok. Bahkan ada juga yang mengancam secara fisik, seperti yang muncul di laman-laman media sosial. Sungguh mengerikan!

Ahok sendiri sudah menegaskan bahwa dirinya tidak bermaksud melecehkan al-Qur’an. Ia menegaskan agar dalam Pemilihan Gubernur DKI yang akan datang berjalan fair, tidak ada politisasi ayat al-Qur’an, khususnya dengan menggunakan al-Maidah ayat 51. Bahkan, Ahok menegaskan jika dirinya tidak dipilih pun tidak masalah.

Polemik pun makin menggelinjang. Akhirnya, Ahok dengan tulus meminta maaf atas kekhilafannya. Ia meminta agar polemik dihentikan. Apakah permintaan maaf betul-betul mengakhiri polemik?

Jawabannya pasti tidak. Majelis Ulama Indonesia (MUI) justru mengeluarkan sikap yang bisa dibilang keras. Bahkan bisa memancing perdebatan yang tidak berakhir dan bisa mempunyai dampak serius. Kenapa demikian?

Pertama, MUI telah mengambil sikap bahwa pernyataan Ahok dianggap telah menghina al-Qur’an sekaligus menghina ulama. Sikap ini mempunyai konsekuensi yang tidak sederhana.

Bagi mereka yang selama ini mempunyai kesimpulan bahwa Ahok telah melecehkan al-Qur’an, maka sikap MUI dapat menjadi justifikasi atas tindakan-tindakan yang tidak diinginkan.

Betul, MUI telah meminta masyarakat agar menjaga kerukunan dan harmoni, serta tidak main hakim sendiri. Semuanya agar diserahkan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil sikap. Tapi pengalaman dari fatwa-fatwa terdahulu membuktikan bahwa keputusan “sesat” dan “menodai agama” kerap berbuntut dengan lahirnya kekerasan. Lihat kasus yang menimpa Ahmadiyah. Mereka hingga sekarang ini menjadi korban nyata dari fatwa MUI yang telah memutuskan Ahmadiyah sesat.

MUI boleh mengelak tidak ada hubungan antara kekerasan dengan fatwa sesat, tetapi di lapangan situasi berbeda. Ahmadiyah hingga saat ini mengalami diskriminasi. Ratusan warga Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat (NTB) kehilangan rumah sejak tahun 2006 hingga sekarang. Dan ribuan warga Ahmadiyah di Desa Manislor, Kuningan, Jawa Barat, tidak mendapatkan E-KTP, karena mereka dianggap sesat!

Begitu pula dengan warga Syiah yang kesulitan melakukan kegiatan. Yang mutakhir, mereka tidak bisa merayakan Asyura karena mereka dianggap sesat, berdasarkan buku saku yang dikeluarkan MUI tentang sesatnya Syiah.

Apalagi Wakil Sekretaris Jenderal MUI Tengku Zulkarnain mengutip surat al-Maidah ayat 33-34 sebagai sanksi yang tepat untuk Ahok jika mengacu pada hukum Islam: dibunuh, disalib, dipotong kedua tangan dan kedua kakinya, atau diusir dari negerinya!

Terus terang, saya mengelus dada, bagaimana dengan mudah ayat ini digunakan untuk kasus Ahok. Padahal ayat tersebut jelas-jelas secara harfiah menjelaskan tentang orang-orang yang menyerang Allah SWT dan Rasul, serta menebarkan kerusakan di muka bumi.

Imam al-Thabari (w. 310) dalam Tafsir Jami’ul Bayan fi Tafsir al-Quran menegaskan bahwa ayat tersebut turun pada orang-orang Ahlul Kitab atau orang-orang musyrik yang melanggar perjanjian dengan Nabi, melakukan perampokan, dan menebarkan kerusakan. Karena itu, hukumannya pun sangat berat.

Pertanyaannya, apakah Ahok melakukan hal seperti itu sehingga harus dibunuh, disalib, dipotong kedua tangan dan kakinya, atau diusir dari negara ini? Sekali lagi, Wasekjen MUI mesti berhati-hati menyampaikan pendapat ke publik, karena pandangannya diikuti oleh sebagian masyarakat.

ahok-di-kepulauan-seribu

Kejanggalan lainnya, MUI memutuskan hal di atas tanpa melakukan klarifikasi (tabayyun) kepada Ahok. Semestinya MUI bisa memanggil Ahok untuk menanyakan dan memberikan klarifikasi, apa yang dimaksud dalam ucapannya di Kepulauan Seribu itu. Tapi, lagi-lagi, MUI ibaratnya melakukan pengadilan in absentia terhadap Ahok.

Kedua, MUI menyimpulkan bahwa surat al-Maidah ayat 51 berisi perintah wajib kepada umat Islam untuk memilih pemimpin Muslim. Saya membaca sejumlah kitab tafsir dan tidak ada satu pun yang menafsirkan awliya dengan pemimpin. Mereka umumnya menafsirkan dengan pertemanan dan perlindungan. Dan memang ayat tersebut turun dalam konteks perang, bukan dalam konteks damai. Nah, bagaimana tiba-tiba ayat tersebut dimaknai dengan larangan memilih pemimpin non-Muslim?

Saya sendiri berpandangan, jika memilih pemimpin non-Muslim adalah haram dan wajib hukumnya memilih pemimpin Muslim, pasti tidak ada perbedaan di antara ulama tentang masalah ini. Namun, ada beberapa ulama yang membolehkan memilih pemimpin non-Muslim. Di antaranya Syaikh Ali Jum’ah, mantan Mufti Mesir dan ulama yang sangat diakui keilmuannya dan beberapa ulama lainnya.

Fahmi Huwaydi dalam Muwathinun la Dzimmiyyun menegaskan bahwa sejak Dinasti Ottaman konsep ahl al-dzimmah (warga Ahlul Kitab) sudah diganti dengan konsep kewargaan (al-muwathanahi). Itu artinya, semua warga negara setara, baik Muslim maupun non-Muslim. Tak boleh ada diskriminasi untuk menduduki jabatan tertentu.

Ibnu Taymiah yang dikenal berpandangan keras pun mempunyai pandangan yang sangat baik, bahwa pemimpin kafir tapi adil lebih baik daripada pemimpin Muslim tapi zalim.

Maka, fatwa wajib memilih pemimpin Muslim patut dipertanyakan. Argumen-argumen apa saja yang digunakan MUI dalam mengambil kesimpulan perihal wajibnya memilih pemimpin Muslim.

Sebenarnya kalau mau masalah ini selesai dengan baik, demi kepentingan bangsa dan kerukunan umat beragama, MUI dengan lapang dada menerima permintaan maaf Ahok dan masalah dianggap selesai, seperti disarankan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Dr. Said Aqil Siradj dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. A. Syafii Maarif.

Bahkan, kalau perlu MUI bisa membuat pernyataan bersama dengan Ahok agar tidak mengulangi perbuatannya karena menimbulkan polemik dan kontroversi. Tapi, sayang seribu sayang, MUI tidak memilih jalan itu. Lalu, pertanyaannya, ada apa dengan MUI?

Baca:

Surat Al-Ma’idah Itu Ayat-Ayat Polemik

Zuhairi Misrawi
Zuhairi Misrawi
Ketua Moderate Muslim Society, Alumnus Universitas al-Azhar, Kairo Mesir. Intelektual Muda Nahdlatul Ulama. Ketua Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia. Menulis sejumlah buku: Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (2008), Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Keindonesiaan dan Keumatan (2012), Mekkah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim (2010), Madinah: Kota Suci, Piagam Madihan, dan Teladan Muhammad (2011), Al-Azhar: Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (2013).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.