Anak kecil kok dilawan, yang lebih tua memang harus mengalah dengan anak kecil. Alasannya sederhana, pengatahuan anak terhadap dinamika kehidupan belum utuh. Dunianya bermain dan sukanya merengek. Arek cilik menuntut dipahami meski imaginasi liar dan rasa ingin tahunya kadang kerap menjengkelkan orang dewasa. Namun, tidak dalam percaturan politik.
Dalam dunia politik, ibarat gladiator masa Romawi, semua yang terpilih harus tarung bebas. Tidak melihat fisik maupun usia. Partai-partai pendatang baru harus telah siap dan siaga. Meski dipandang sebelah mata oleh petarung berpengalaman. Karena dianggap kaku dan butuh penyesuain panjang, dan belum kenyang melahap asam garam dunia politik. Satu di antaranya terhitung partai belia itu Partai Solidaritas Indonesia, berdiri pada 16 November 6 tahun lalu.
Partai ini dianyatakan sah terjun ke gelanggang politik pada 07 Oktober 2016, dengan bersenjatakan trilogi perjuangan menebar kebajikan, merawat keragaman, dan meneguhkan solidaritas. Di lain sisi, wacana dan konsep ditawarkan juga cenderung melawan arus di kala semua partai melakoni gaya sentralistik, meritokrasi, tertutup, didominasi kaum tua, dan kurang ramah kaum hawa. Ia mengawali dengan mengakomodir kaum milenial dan anak muda berbakat, berintegritas dan berkarakter, egaliter, transparan, dan 30% lebih fungsionarisnya adalah perempuan.
Tampil dengan rasionalitas politiknya sendiri, membuatnya banyak dibincang. Meski sadar usianya baru seumur jagung namun nekad menerjang budaya lama. Walhasil, membuatnya moncer dan jadi pusat perhatian. Memang narasi yang berkonotasi keberpihakan pada jelata kerap ditampilkan partai politik manapun sebagai topeng. Akan tetapi untuk membuktikan keabsahan hal tersebut perlu waktu yang panjang, terutama bagi PSI.
Trauma publik terhadap partai baru memang selalu ada. Sebab khalayak agaknya paham polesan semacam itu. Bahasa cakapannya, “ah, cuma polesan, ujung-ujungnya korupsi juga”. Maraknya praktek korupsi yang melibatkan partai politik yang dulu kurang lebih berlagak sama, menajemen rekruitmen politik yang tertutup, pendekatan dengan konstituen yang sporadis, sirkulasi elite dan perkaderan partai yang macet.
Data Survey Saiful Mujani Research and Colsulting pada 2016 mengafirmasi realitas ini. Dari sembilan lembaga pelayanan publik yang dinilai kinerja dan tingkat kepercayaan masyarakat, Partai Politik dan Dewan Perwakilan Rakyat mendapat raport merah.
Detailnya, 55,2% responden memberi respon kinerja Parpol dan DPR buruk, demikian pula tingkat kepercayaan. Institusi politik dalam hal ini partai politik dan representasinya di perlemen masih jauh dari sebagai penyambung lidah rakyat. Gerakan dan visi misi partai pun hanya menjadi anomali, “lain di mulut, lain di hati”. Akhirnya, akumulasi persoalan melahirkan fobia juga budaya hipokrit di masyarakat. Persoalan-persoalan ini tentu akan berbahaya dalam proses politik dan masa demokrasi kita.
Jika, menengok inisiatornya, Grace Natalie berlatar jurnalis sementara Raja Juli Antoni, aktifis Muhammadiyah praktis menjadi kekuatan tersendiri. Artinya, politik blak-blakannya ala PSI manjur dan awet, selain tidak memiliki beban sejarah tentunya, seiring 100% pengurusnya anak muda.
Politik Opimisme
Selain politik ide yang dibangun PSI, agaknya tidak cemas menyaksikan terjun bebasnya public trust. Pengejawantahan visi dan misi partai haruslah diformat dalam bingkai optimisme meski sinisme masyarakat terhadap partai politik menggunung. Jargonnya yang sebagai partai milenial dianggap berhasil menjadi kekuatan. Sepak terjang di pusaran politik nasional dan tak canggung berkolaborasi secara kontsruktif bersama Partai terdahulu. Sistem multi partai yang ada bukan jadi hambatan.
Keputusan membela Jokowi pada paruh periode pertama dan mendukung pencalonan Presiden petahana tesebut pada 2019 adalah bentuk kedewasaan politik partai milenial itu. Meski bukan tanpa konsekwensi. Pelbagai tudingan miring dialamatkan pada Partai mawar putih ini. Mulai dari antek PKI, anti islam, partai ingusan tentunya juga cebong. Penamaan buruk itu tak menyurutkan komitmen politik PSI.
Tentu saja itu tidak dapat dimaknai sekadar taktik politis belaka, justru sejalan dengan Undang-Undang 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. Pada BAB 10 dan 11 menegaskan bahwa Partai politik juga memiliki fungsi menciptakan iklim politik yang kondusif, menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa, menumbuhkembangkan demokrasi yang berdasar pada Pancasila. Kita mafhum Pilpres 2019, kentara politik identitas yang merupakan duplikat dari Pilkada DKI Jakarta.
Pada Pemilu 2019, rekapitulasi resmi Komisi Pemilihan Umum PSI meraup 1,86 % suara. Walau belum lolos parlementary treshold 4%, angka itu cukup untuk mengungguli dua partai pendahulu besutan Yuzril Ihza Mahedra dan Wiranto. Terhitung sebuah awal yang cukup memuaskan bagi pemain baru.
Saat ini, semua jargon yang digaungkan PSI, dinanti konsistensinya oleh masyarakat Indonesia. Sejauh mana kontinuitas asa publik diperjuangkan, sampai kapan PSI bisa bertahan agar tak tergelincir, atau memilih membeo dan lebih parah lagi alurnya hanya klise. Bisa diduga lebih cepat dari yang dibayangkan dan ini alur yang membosankan.
Di ulang tahun yang ke 6 ini, ujaran Sis Grace Natalie bisa ditimbang-timbang, “Mohon maaf, bukannya sombong. Di PSI, jabatan dan darah biru gak laku. Semua caleg, melewati proses yang sama dan akan diperlakukan sama”.