Setelah Ridwan Kamil—yang populer disapa Kang Emil—resmi mengumumkan dirinya tidak maju dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta, mencuat sosok lain yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia, terlebih warga Jakarta, yakni Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra.
Dalam sejumlah survei siapa yang dianggap layak menantang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta, nama Yusril secara umum berada di urutan kedua setelah Kang Emil. Maka, pada saat Wali Kota Bandung, Jawa Barat, ini tidak masuk bursa, wajar jika nama Yusril yang mencuat.
Bagi masyarakat, terutama yang sudah melek politik, sosok Yusril tidak asing karena rekam jejaknya yang panjang. Beberapa kali dia menduduki jabatan menteri, memimpin partai politik (periode pertama dan ketiga), dan sebagai ahli hukum tata negara sekaligus pengacara tangguh yang nyaris tak terkalahkan pada setiap kasus yang ditanganinya.
Popularitas Yusril mulai mencuat, terutama, setelah Presiden Soeharto lengser. Konon, Yusrillah tokoh utama di balik peristiwa bersejarah itu. Bahkan almarhum Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa Yusril itu “orang gila” yang berani mendikte Presiden.
Peristiwa itu terjadi di Istana Negara, 19 Mei 1998, pada saat 10 tokoh nasional dipanggil menghadap Presiden Soeharto, dan Yusril salah satunya. Pada saat tokoh-tokoh lain mengusulkan pentingnya reformasi politik, Yusril secara to the point mendesak agar Soeharto turun dari takhtanya.
Setelah kurang lebih dua bulan Soeharto lengser, pada 17 Juli 1998, bersama 38 tokoh Islam terkemuka dari Ibu Kota dan beberapa daerah, Yusril mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB) yang kemudian dia didaulat menjadi Ketua Umum. Sejak memimpin partai, Yusril kemudian digadang-gadang menjadi salah satu calon Presiden RI pada Pemilu 1999. Pencalonan ini kandas karena perolehan suara partainya tidak signifikan. Baginya ini tidak masalah, karena sebagai individu yang berkualitas dan berpikiran maju, Yusril tetap eksis di blantika perpolitikan nasional.
Maka, sangat wajar jika saat ini Ahok menganggap Yusril penantang paling berat. Sebagai intelektual, praktisi hukum, dan politikus, Yusril memang berada di jajaran papan atas. Kebesaran sosoknya jauh melampaui partainya yang tidak kunjung sukses dalam setiap pemilu.
Namun, karena berasal dari partai kecil yang bahkan tidak memiliki kursi di DPRD DKI Jakarta, inilah salah satu tantangan terberat Yusril untuk maju sebagai calon gubernur yang resmi. Saat ini, seperti juga tokoh-tokoh lain, posisi Yusril masih bakal calon. Artinya, bisa benar-benar menjadi calon, bisa juga tidak.
Untuk benar-benar menjadi calon gubernur, ada dua pilihan yang bisa ditempuh sesuai dengan undang-undang yang berlaku tentang pilkada. Pertama, melalui jalur perseorangan. Untuk menempuh jalur ini dibutuhkan dukungan sekitar 525.000 KTP pemilih di DKI Jakarta. Sesuai tahapan yang sudah ditetapkan KPU DKI Jakarta, Agustus 2016, syarat dukungan calon perseorangan harus diserahkan ke KPUD untuk selanjutnya diverifikasi keabsahannya.
Mengingat waktunya yang pendek, menempuh jalur ini peluang Yusril sangat kecil, atau bahkan bisa dikatakan sudah tidak mungkin bisa dilakukan, kecuali ada mobilisasi dukungan yang masif dan tak terbendung. Selain kerumitan masalah teknis, tentu dibutuhkan dana yang tidak sedikit, apalagi jika setiap KTP dihargai dengan sejumlah uang.
Maka, jalur yang paling mungkin ditempuh adalah yang kedua, yakni melalui partai politik. Cukup dengan 20 persen kursi DPRD DKI Jakarta saat ini, seorang bakal calon–lebih tepatnya pasangan calon—sudah bisa melenggang menjadi calon resmi. Karena jumlah kursi DPRD DKI adalah 106, untuk menjadi calon resmi minimal mengantongi 22 kursi.
Bagi Yusril, jalur kedua ini mungkin relatif lebih mudah ketimbang yang pertama. Meskipun partai yang dipimpinnya tak punya kursi, ia bisa saja, dengan komitmen-komitmen tertentu, dicalonkan oleh partai lain, terutama partai-partai yang dari jajaran kadernya sendiri tidak ada yang bisa diunggulkan.
Selain komitmen, syarat mutlak yang dibutuhkan adalah tingginya elektabilitas. Jika dalam survei elektabilitas Yusril di atas rata-rata dari calon-calon yang ada, partai-partai akan dengan sendirinya menawarkan, tanpa harus diminta.
Seperti yang terjadi pada Ahok saat ini. Sebagai petahana, elektabilitasnya masih cukup tinggi, yakni di pusaran angka 40-50 persen. Karena itu, partai-partai sudah mulai merayu untuk diajak membangun komitmen kerja sama dalam pencalonan pilkada. Bahkan sudah ada partai yang mau mendukungnya tanpa komitmen apa pun–setidaknya begitulah yang ditegaskan Partai Nasional Demokrat saat mendeklarasikan dukungan pada Ahok.
Untuk mencapai tingkat elektabilitas yang tinggi itulah tugas berat Yusril saat ini. Meskipun popularitasnya sudah sangat tinggi, elektabilitasnya masih membutuhkan kerja keras untuk bisa meningkat tajam, minimal sampai 20 persen agar potensi untuk mengalahkan Ahok terbuka lebar. Kalau tingkat elektabilitasnya masih di bawah 20 persen, atau bahkan masih di bawah 10 persen, tampaknya Yusril masih sulit untuk mendapatkan tiket partai politik.
Jika tiket pencalonan sudah bisa didapat, barulah dia memasuki pertarungan sesungguhnya, yakni memenangkan hati warga DKI agar bisa memilihnya dalam bilik suara di hari pencoblosan nanti. Bisakah Yusril mendapatkan tiket partai yang cukup dan memenangkan kompetisi politik di DKI Jakarta?
Dalam politik, tak ada yang tidak mungkin. Selagi masih punya kesempatan, lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali. Bang Yusril, ayo maju!