Jumat, April 26, 2024

Ikhwanul Muslimin dan Operasi Militer Turki di Suriah

Iqbal Kholidi
Iqbal Kholidi
Penulis adalah pemerhati terorisme dan politik Timur Tengah

int-1455792601Keluarga dan kerabat korban bom mobil berduka di depan kamar mayat di Ankara, Turki, Kamis (18/2). 28 orang tewas dan puluhan lainnya terluka. ANTARA FOTO/REUTERS/Umit Bektas

Ikhwanul Muslimin adalah gerakan Islamis yang telah menginspirasi sejumlah kelompok gerakan politik di dunia, khususnya di Timur Tengah. Ikhwanul Muslimin didirikan oleh Hasan Al Banna di Mesir pada tahun 1928. Setelah cukup lama sempat menjadi organisasi terlarang di Mesir, kelompok ini berhasil mengantarkan anggotanya (Mohammad Mursi) menjadi presiden Mesir pada tahun 2012. Namun setahun kemudian Mursi digulingkan oleh militer Mesir dan digantikan oleh Jenderal Al Sisi yang berkuasa hingga saat ini.

Di Turki, sudah menjadi rahasia umum kalau Partai Keadilan Pembangunan (AKP), partai yang menjadikan Erdogan sebagai presiden Turki, adalah salah satu partai yang mengusung cita-cita ideologi Ikhwanul Muslimin. Karenanya, sejak Mohammad Mursi dilengserkan, hubungan pemerintah Turki dan Mesir memburuk hingga detik ini.

Di Suriah, dalam sejarahnya Ikhwanul Muslimin pernah melakukan perlawanan terhadap pemerintah di tahun 1979-1980 periode Presiden Hafeez Al Assad, namun berhasil diredam. Sejak itu Ikhwanul Muslimin menjadi organisasi terlarang di Suriah. Para petinggi Ikhwanul Muslimin Suriah hidup dalam pengasingan di Turki.

Ketika revolusi bersenjata meletus di Suriah, Ikhwanul Muslimin adalah salah satu kelompok yang ikut ambil bagian melawan pemerintah. Sebagai organisasi yang lama dilarang, tidak diketahui pasti berapa kekuatan pengikut Ikhwanul Muslimin dalam perang Suriah saat ini. Kabarnya, anggota Ikhwanul Muslimin Suriah berjuang secara independen bertebaran di berbagai kelompok pemberontak Islamis seperti Ahrar Sham dan Faylaq Sham.

Babak baru perang Suriah dimulai seiring campur tangan Rusia. Tentara Suriah secara dramatis berhasil merebut dan membebaskan daerah yang sebelumnya dikuasai atau dikepung pemberontak. Rusia secara diam-diam memang mengerahkan pasukan darat di medan tempur Suriah, dengan dalih memerangi ISIS.

Situasi ini rupanya mendorong Arab Saudi yang selama ini mendukung oposisi Suriah mengerahkan pasukan daratnya, dalihnya pun sama memerangi ISIS. Bahkan Arab Saudi akan menggunakan pangkalan udara militer Incirlik di Adana, Turki, untuk memuluskan pengerahan pasukan darat di Suriah.

Seolah tak mau ketinggalan dengan Arab Saudi, pemerintah Turki beberapa kali mendorong serangan darat ke Suriah untuk mengakhiri krisis Suriah. Turki memperingatkan bahwa konflik bersenjata di Suriah telah mengakibatkan 1,1 juta orang mengungsi ke Eropa tahun lalu, dan akan bertambah parah jika konflik Suriah tidak berakhir.

Kengototan Turki mendorong operasi militer ke Suriah kemungkinan besar karena Turki memiliki dua misi sekaligus. Pertama, memberangus pasukan Kurdi Suriah yang selama ini dituding sebagai penyokong gerakan separatis Kurdi di Turki. Kedua, menjatuhkan rezim Suriah Bashar Al Assad sebagaimana tujuan Ikhwanul Muslimin Suriah. Bagi Turki, kedua misi tersebut sama-sama penting dan tak bisa diabaikan satu sama lain.

Rabu lalu (17/2) bom meledak di Ibu Kota Ankara yang menewaskan 28 orang dari sipil dan militer.  Sehari kemudian ledakan bom terjadi kembali yang menargetkan iring-iringan kendaraan militer Turki di kota Diyarbakir, basis etnis Kurdi. Ledakan bom kedua ini menewaskan 6 orang dan 1 tentara terluka serius.

Rentetan peristiwa ini dikhawatirkan bisa dijadikan pembenaran serangan Turki ke Suriah atas nama balasan terhadap teror. Apalagi Erdogan dengan tegas telah menuduh kelompok Kurdi Suriah di balik serangan bom-bom tersebut.

Secara de facto militer Turki di perbatasan telah menyerang posisi pasukan Kurdi Suriah yang menguasai kota perbatasan. Pasukan Kurdi Suriah berhasil menguasai kota tersebut setelah berhasil melumpuhkan ISIS. Wajar kini Turki lebih mengkhawatirkan menguatnya Kurdi di sepanjang perbatasan dibanding ISIS.

Jika Turki terus memaksakan diri memerangi militan Kurdi Suriah, itu sama saja Turki berhadapan dengan kepentingan Amerika Serikat. Seperti diketahui, Amerika baru-baru ini memanfaatkan geliat kekuatan Kurdi Suriah yang dinilai efektif mengusir ISIS di Suriah. Sementara itu, jika Turki terus-menerus mengusik rezim Suriah lebih jauh, bisa dipastikan akan berhadapan Rusia, sekutu kuat Suriah. Publik dunia tahu hubungan Rusia dan Turki saat ini masih tegang setelah insiden jatuhnya jet tempur Rusia ditembak Turki beberapa waktu lalu.

Perang di Suriah telah melibatkan banyak kekuatan negara asing. Mereka satu sama lain berbagi kepentingan: di satu isu mereka dalam satu kepentingan, tapi di isu yang lain justru berhadapan.

Sebelum membawa Turki terlibat lebih jauh dalam konflik Suriah, Erdogan harus harus belajar dari pengalaman Mohammad Mursi. Pendeknya, sisa-sisa rezim militer masih kuat di Turki. Jika Erdogan melakukan kesalahan, bisa saja rezim militer Turki memimpin kembali.

Iqbal Kholidi
Iqbal Kholidi
Penulis adalah pemerhati terorisme dan politik Timur Tengah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.