Keinginan banyak pihak untuk membatasi dana kampanye dalam pemilihan kepala daerah saat ini makin menguat. Salah satu pemicunya adalah banyaknya dana kampanye yang kerap digunakan untuk melakukan praktik politik uang. Faktanya, politik uang dalam Pilkada Serentak 2015 lalu masih ditemukan dalam setiap kampanye.
Apalagi Undang-Undang Pilkada memang memberi ruang kepada calon kepala daerah untuk memberi hadiah atau cendera mata kepada pemilih yang sebenarnya dapat dikategorikan bentuk lain dari politik uang. Tidak jarang dalam hadiah dan cendera mata tersebut juga disisipkan kartu nama calon kepala daerah beserta uang transportasi kepada masyarakat yang menghadiri kampanyenya.
Maraknya politik uang dalam pilkada serentak yang lalu membuktikan bahwa demokrasi elektoral yang dilaksanakan belum mampu menghasilkan pemimpin daerah yang berintegritas. Padahal, dengan pilkada yang melibatkan masyarakat secara langsung diharapkan bisa melahirkan pemimpin yang berkualitas. Sayang, praktik politik uang telah menjadi pilihan praktis bagi sebagian calon kepala daerah untuk memenangkan pilkada.
Bagi mereka, mengumpulkan sejumlah uang yang lalu diserahkan kepada pemilih lebih riil mendulang suara ketimbang membiayai sejumlah kampanye dan bersusah payah meyakinkan pemilih. Perilaku seperti ini jelas telah mengabaikan akal sehat publik dalam berdemokrasi. Karenanya, tidak mengherankan jika besarnya biaya kampanye dalam pilkada ada korelasinya dengan semakin masifnya politik uang.
Sudah menjadi pengetahuan publik, apabila seseorang ingin menjadi kepala daerah harus menyediakan uang yang banyak. Sebab, dalam tahapan pilkada yang dilaksanakan selalu mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Mulai dari proses pencalonan, biaya kampanye hingga menyewa pengacara untuk melakukan gugatan terhadap perselisihan hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Mereka biasanya bisa menghabiskan puluhan miliar rupiah, bergantung pada karakteristik daerah pemilihannya. Walau begitu, realitas ini justru tidak menyurutkan orang berkeinginan mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
Bagi calon kepala daerah dengan dana yang melimpah, membeli suara pemilih adalah salah satu strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Dengan cara ini mereka berharap dapat memenangkan pilkada. Kecenderungan ini memang paradoks dengan cara berdemokrasi yang ideal.
Pada dasarnya masyarakatlah yang semestinya membantu calon kepala daerah membiayai kebutuhannya dalam pilkada. Sebab, jika calon kepala daerah yang didukung itu menang, maka ada tanggung jawab moral yang harus dilaksanakan kepada pendukungnya agar mereka sejahtera.
Namun, faktanya dalam pilkada serentak yang lalu justru calon kepala daerahlah yang kasak-kusuk “membeli” dukungan masyarakat dengan biaya yang disediakan sendiri. Akibatnya, calon kepala daerah harus menyiapkan sejumlah uang untuk meraih dukungan masyarakat.
Ini jelas gejala politik yang tidak sehat dalam berdemokrasi. Seolah-olah menyediakan uang yang banyak menjadi hal yang wajib, jika si calon ingin menang dalam pilkada. Banyak pihak yang mengaitkan kekuatan uang sebagai penentu kemenangan seseorang dalam demokrasi elektoral tersebut. Persepsi itu sudah telanjur diterima oleh publik, termasuk elite politik. Bahkan calon kepala daerah yang memiliki uang pas-pasan telah “menyerah kalah” sebelum bertanding.
Tidak sedikit calon kepala daerah juga enggan berkampanye menemui masyarakat. Sebab, setiap turun berkampanye, mereka selalu dimintai uang secara terang-terangan oleh masyarakat yang hadir.
Keadaan ini tentu mengancam demokrasi langsung yang dilaksanakan. Bahkan praktik ini semakin mudah ditemukan dalam setiap pilkada. Sementara itu, tidak ada upaya nyata yang dapat dilakukan pemerintah dan partai politik untuk mengurangi aktivitas politik seperti ini. Padahal, dalam kontestasi demokrasi melalui pilkada, yang diharapkan muncul adalah figur kepala daerah yang memiliki kemampuan untuk mendekatkan diri kepada masyarakat serta punya pemahaman terhadap realitas masyarakat yang akan dipimpinnya.
Di negara yang maju dalam berdemokrasi, kemampuan mendekatkan diri dan memahami realitas masyarakat menjadi hal yang mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin. Inilah sesungguhnya modal sosial yang utama dalam pilkada ketimbang hanya mengutamakan uang.
Praktik politik uang jelas membawa dampak. Pertama, politik uang menyebabkan rendahnya komitmen kepala daerah terpilih untuk memenuhi aspirasi masyarakat. Kepala daerah terpilih merasa tidak berutang apa-apa kepada masyarakat yang mendukungnya karena sudah memberi sejumlah uang kepada pemilihnya.
Kedua, meningkatnya kasus korupsi di daerah karena modal yang dikeluarkan sang calon harus kembali ketika menjabat sebagai kepala daerah. Apalagi jika dihitung dengan gaji kepala daerah yang diterima tiap bulan, jelas uang kampanye yang dikeluarkan jauh lebih besar.
Ketiga, masyarakat merasa tidak memiliki ikatan apa-apa dengan kepala daerah yang dipilihnya. Bagi masyarakat, uang yang mereka terima dari calon kepala daerah ketika kampanye sudah cukup untuk mengganti dukungan yang diberikan.
Keempat, kebijakan kepala daerah akan tersandera oleh para penyadang dana yang tidak lagi sekadar membiayai kampanye, tapi juga mengongkosi semua tahapan pilkada yang diikuti calon. Sudah menjadi pengetahuan publik adanya keterlibatan para pengusaha membiayai calon kepala daerah dalam pilkada. Apalagi jika daerah tersebut kaya dengan sumber daya alam, ini semakin mendorong minat pengusaha membantu kepala daerah yang punya peluang menang lebih besar.
Oleh karena itu, untuk menghentikan praktik politik uang ini, membatasi dana kampanye yang digunakan calon kepala daerah juga sangat diperlukan. Karena, mahalnya biaya untuk menjadi calon kepala daerah sebenarnya berhubungan erat dengan besarnya biaya yang digunakan dalam pilkada, termasuk pembiayaan kampanye.