Saya datang ke bioskop menonton Ada Apa dengan Cinta 2 (AADC 2) dengan rasa ingin tahu apa yang bisa dihadirkan oleh Riri Riza sang sutradara untuk “menangkap” zaman ini ke dalam AADC 2 sesuai dengan tokoh-tokohnya.
Setelah 14 tahun sutradara sebelumnya, Rudi Soedjarwo, berhasil meninggalkan “gimmick” dan “kenangan-nostalgia” di kalangan anak muda yang sedang rindu berat dan “lapar” akan film Indonesia yang keren. Buat saya, AADC 1, dengan segala keterbatasannya, diuntungkan dengan momentum itu.
Rudi Soedjarwo bukan tanpa cela. Tapi dia, suka atau tidak, telah meninggalkan sedikitnya lima hal dalam ingatan saya, dan tentu saja ingatan banyak penonton lain yang sangat nostalgik tentang film AADC 1. Lima hal ini pula hilang, mungkin tepatnya “gak dapet”, di film AADC 2.
Pertama, puisi. Film AADC 1 itu berhasil keluar dari stereotipikal anak muda umumnya yang dipotret hanya menjadi pemuja tubuh, pemuja materi, dan pemuja cinta picisan kepada sesuatu yang segar bernama puisi dan pemenuhan diri.
Di film itu bukan hanya Rangga yang diingat berpuisi tapi juga Cinta dengan lirik lagunya yang puitis dan musikal. Meskipun lebay, silakan kita tanya kepada banyak penontonnya, banyak dari mereka yang merasa puisi itu “nancep” di banyak memori mereka sebagai pengingat dan bahan lawakan di kemudian hari.
Kedua, musik. Pada AADC 1, entah dipersiapkan atau memang saat itu para penggarap musik dan liriknya sedang produktif dan bergairah, musik dan liriknya lebih kaya dan lebih sesuai zaman. Termasuk kecerdasan menghadirkan PAS Band di dalam film itu. SMA banget dan dapet.
Ketiga, skrip. Dialog dan kalimat soundbyte yang terbilang cukup kekal diingat penonton dalam film AADC 1. Kalau setiap fase usia punya tantangannya, di AADC 1 mereka bisa membuat dialog-dialog yang sama kuat seperti puisinya. Susah dilupa karena kelebayan atau daya gugahnya.
Misalnya: “Hidup gue jadi gak bener semenjak kenal elo!”
“Jadi ini salah siapa? Salah gue? Salah temen-temen gue?!”
Ha ha ha, izinkan saya tertawa. Dialog itu masih sering dipakai dalam pergaulan untuk jadi bahan pencair suasana dan pengingat kembali tentang era dari sebuah generasi. Saya tidak tahu, menurut saya itu tanda bahwa film itu cukup sukses mempengaruhi penonton. Seperti dialog khas Rhoma dan Ani dalam film Satria Bergitar yang masih memaku ingatan generasi penontonnya hingga kini.
Keempat, penokohan dan konteks. Di era setelah Orde Baru, kita jadi bisa mengerti mengapa babenya Rangga seperti itu dan ibunya yang tega meninggalkan Rangga dan babenya. Kita pula jadi bisa mengerti mengapa Rangga menjadi mudah sinis, tenggelam di dalam puisi dan kesendirian. Teman karibnya justru bapak tua penjaga sekolah di SMA.
Di lain sisi, ada Cinta, yang manis, manja, periang, dan suka bergaul tapi punya sikap. Kedua tokoh itu, Nicholas Saputra dan Dian Sastro, dipilih dengan cerdas oleh Rudi, karena memang sedang happening dan jadi idola kaum muda. Selain itu, kisah SMA memang selalu menjadi kisah yang paling universal untuk mengaduk kembali emosi penonton sekaligus memancing nostalgia.
Kelima, jenaka. Dalam film AADC 1 unsur kelucuan dan kejenakaan cukup memeriahkan setiap penjuru cerita dari film itu. Penjaga cerita di AADC 1 mampu mengawal keterjagaan cerita agar tidak jatuh dalam eksplorasi yang membosankan, yakni mengaduk-aduk kata dan emosi secara berlebihan ala film Indonesia.
Nah, usai menonton AADC 2, saya sulit untuk tulus mengatakan bahwa film ini bagus, betapapun saya menggolongkan diri saya sendiri sebagai orang yang murah hati dalam menilai. Karena toh saya hanya penonton biasa.
Dari sudut pandang bagaimana saya telah melihatnya, mohon maaf, saya harus mengatakan, ini seperti sekadar film yang terburu-buru dalam konsep dan dilanjutkan karena peluang-peluang komersial di depan mata. Banyak penokohan yang berkebalikan dari memori orang tentang sosok-sosok di film itu sebelumnya. Melawan koherensi dan memori orang tentang AADC 1. Riset dan perencanaan cerita begitu lemah.
Alur yang tergesa-gesa dan kurang koheren membuat kita gagal atau tersendat-sendat untuk tergiring dan hanyut. Tapi yang paling membuat hati amblas adalah permainan tempo yang garing dan datar. Permainan emosi dari tinggi ke landai, landai ke tinggi sangat tidak diperhatikan. Terutama adegan pertemuan Rangga dan Cinta dan pertemuan Rangga dan ibunya. Padahal kedua adegan itu bisa dibuat lebih kuat dan dramatis tanpa harus jadi opera sabun.
Ada banyak emosi, kata-kata, kemurungan, dan kegalauan yang mubazir yang telah memperlakukan kita seperti penonton amatir yang tak punya standar dan cita rasa.
Maaf, ini tentu adalah tafsir saya, versi saya, yang datang dari kebebasan untuk melihat film itu antara nostalgia dan daya kritis yang derajatnya biasa-biasa banget. Kalau ada tulisan yang memuji film itu, tentu saya akan senang membacanya, karena mungkin saya hanya belum melihatnya di film itu.