Rabu, Oktober 16, 2024

Sebelum #2019GantiPresiden Sebaiknya Ganti Mutu Argumen

Arman Dhani
Arman Dhanihttp://www.kandhani.net
Penulis. Menggemari sepatu, buku, dan piringan hitam.

Bagi para pendukungnya, Joko Widodo nyaris sempurna, terlalu banyak pretasinya yang harus diketahui. Sementara bagi oposisi, caranya bernafas saja sudah cukup jadi alasan melakukan pencabutan mandat sebagai presiden.

Tentu saja tulisan ini bukan soal capaian prestasi dari presiden Indonesia Joko Widodo, barisan pendukungnya di media sosial sudah lebih dari tanggap dan waskita untuk menyebarkannya. Ini tentang mutu oposisi pemerintah yang kian hari kian buruk dan lebih mengecewakan daripada performa Chelsea di Liga Inggris.

Gaduh #2019GantiPresiden ini sebenarnya bisa jadi pendidikan politik yang baik, jika oposisi (itu pun kalau ada) bisa menghadirkan alasan yang bermutu. Kampanye itu sah-sah saja. Mengajukan seorang presiden untuk mundur juga boleh kok. Lha wong presiden punya Menteri dalam Negeri yang membuka data sipil boleh-boleh saja, meski itu pelanggaran privasi yang sangat serius.

Kalau mau, kita bisa menyusun banyak argumen mengapa pemerintahan hari ini harus diganti. Misalnya tentang kasus kekerasan di Papua, kasus sengketa tanah untuk pembangunan pabrik Semen Rembang atau New Yogyakarta International Airport (NYIA), sampai penuntasan kasus orang-orang terdekat presiden.

Kualitas Isu

Mutu debat diukur dari isu apa yang dibicarakan. Seseorang bisa memperdebatkan apakah Jokowi anak PKI atau sikap Jokowi terhadap mereka yang dituduh PKI. Oposisi seringkali berkutat pada isu personal yang sama sekali tak punya keterkaitan dengan kepentingan publik: cara Jokowi makan, cara Jokowi berpakaian, dan lain-lain.

Isu personal memang sangat mudah dan dekat dengan banyak orang. Perihal makan dengan tangan kanan atau kiri, mungkin bagi banyak orang lebih penting daripada isu pembangunan infrastruktur yang kerap menginjak hak-hak warga. Tapi mau sampai kapan masyarakat diajarkan membenci cara makan orang daripada mengkritisi caranya memimpin negara?

Oposisi mungkin ingin mengeksploitasi nilai-nilai konservatif dan norma agama sebagai tema utama kampanye. Hal ini tidak jauh berbeda dari apa yang dilakukan Partai Republik di Amerika. Kita tahu, dari skandal Cambrige Analitica yang memanfaatkan data Facebook, orang-orang Amerika mudah sekali dipengaruhi propaganda di media sosial. Spektrum politik dan pola pikir masyarakat yang malas melakukan verifikasi, terjebak dalam ruang gema, dan kebencian sectarian, membuat kondisi politik semakin memanas.

Di Indonesia, kondisi semacam ini telah terjadi sejak pilpres 2014. Bukan sekali-dua orang tua Joko Widodo dipertanyakan dan dituduh bukan Islam. Isu miring yang mirip dengan yang menimpa Obama ketika dituduh Islam dan sertifikat kelahirannya dipertanyakan. Jika kondisi ini dibiarkan, eksploitasi sentimen ras, agama, dan stigma hanya akan memperburuk keadaan. Oposisi yang ada hanya akan menjadi Republikan KW2 dengan mutu tidak lebih baik dari Yeezy palsu.

Oposisi harusnya juga belajar dewasa. Bahwa mengkritik pembangunan jalan raya di Papua bukan hal yang susah dilakukan. Perdebatan yang baik semestinya membahas bagaimana masyarakat di Papua bisa menikmati pembangunan alih-alih pengusaha besar yang diuntungkan. Atau seberapa penting pembangunan NYIA yang membuat petani di Kulonprogo menderita. Debat-debat ini harusnya mengutamakan isu kepentingan publik, bukan hal personal seperti agama dan akhirat.

Cara seorang pemimpin makan dan salat tidak punya dampak terhadap kehidupan orang lain dalam kehidupan bernegara. Kebijakan yang diambil pemimpin, di sisi lain, bisa langsung membuat satu komunitas atau desa terdampak. Memaksakan pembangunan sebuah Pabrik yang Analisis Mengenai Dampak Lingkungannya buruk, jelas akan mempengaruhi mutu hidup sebuah masyarakat. Memaksakan pembangunan sebuah bandara tanpa mempertimbangkan hajat hidup masyarakat yang tanahnya diambil, jelas punya dampak langsung daripada mengkritisi harga sepatu seorang presiden.

Tentu tema seperti siapa orang tua Jokowi, anggota keluarganya, aktivitas keagamaanya, dan juga kehidupan pribadinya sangat seksi dibicarakan. Tapi hal semacam ini tak punya sumbangan apa pun terhadap pendidikan politik. Tentu akhirat penting, tapi terus-menerus bicara soal agama tanpa memedulikan cara kita hidup bernegara hanya akan menciptakan neraka dalam kehidupan kita sehari-hari.

Arman Dhani
Arman Dhanihttp://www.kandhani.net
Penulis. Menggemari sepatu, buku, dan piringan hitam.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.