Tahun 2015 akan segera berakhir. Kurang dari 10 hari lagi memori 2015 akan segera ditutup, dan buku putih Tahun Baru 2016 bersiap untuk dibentangkan. Sebagai bangsa yang besar, tentu banyak refleksi yang mesti menjadi catatan penting bagi Indonesia. Sesuai hakikat yang tidak bisa dibantah, waktu akan terus berjalan ke depan, dan tidak akan pernah mau menunggu barang satu detik pun, apalagi kembali ke masa lalu.
Oleh sebab itu, bentangan fenomena dan sejarah sepanjang 2015 sangatlah penting untuk dijadikan pembelajaran agar Indonesia bisa berbenah diri dalam menyongsong tahun 2016.
Tahun 2015 dimulai dengan ujian komitmen Presiden Jokowi terhadap semangat pemberantasan korupsi sesuai janjinya pada kampanye Pemilihan Presiden 2014 yang lalu. Penangkapan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 23 Januari 2015, yang sarat dengan aroma kriminalisasi dan upaya pelemahan KPK, mempertontonkan dengan terbuka bahwa serangan balik koruptor terhadap upaya pemberantasan korupsi itu benar adanya.
Drama upaya pelemahan KPK tidak hanya berhenti sampai di sana. Penetapan Abrahama Samad, komisoner KPK lainnya sebagai tersangka, dan upaya menghukum Novel Baswedan dengan kasus yang sudah lama selesai dan diragukan kebenarannya, adalah upaya lanjut untuk menghancurkan KPK. Upaya pelemahan tidak hanya berhenti sampai pada menghancurkan orang-orang di KPK, tapi juga menyasar pelemahan KPK secara institusi dengan cara merevisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Ide untuk tindakan penyadapan mesti didahului izin ketua pengadilan, menghapuskan wewenang penuntutan dari KPK, dan meminta adanya mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di KPK adalah beberapa di antaranya.
Revisi ini tentu menuai banyak penolakan dari berbagai kalangan yang menginginkan penguatan terhadap KPK agar geliat pemberantasan korupsi tetap menguat. Di sinilah kemudian “kehadiran” Presiden Jokowi sangat ditunggu. Segala bentuk upaya pelemahan terhadap KPK bisa berhenti jika Presiden memerintahkan kepada seluruh jajarannya yang masih terus-menerus melakukan manuver pelemahan KPK (baca: Kepolisian).
Hal yang sama juga diharapkan terhadap proses revisi UU KPK. Proses revisi tidak akan pernah terjadi jika Presiden menolak pembahasan di tengah adanya materi yang berkelindan pelemahan terhadap KPK. Dengan terpilihnya komisioner KPK yang baru, tantangan bisa jadi semakin berat. Dalam beberapa kali kesempatan, pandangan subjektifitas pada komisioner KPK terpilih terkesan sejalan dengan beberapa materi revisi UU KPK yang cenderung akan menjadikan KPK sebagai pusat pencegahan dan informasi korupsi.
Selain tentang KPK, tahun 2015 juga diwarnai dengan hirup pikuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) gelombang pertama. Proses revisi UU Pilkada yang dilaksanakan pada Februari 2015 dituntaskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) “hanya” dalam waktu dua pekan saja. Akhirnya jadilah regulasi pilkada yang banyak persoalan dan berdampak pada teknis pelaksanaan pilkada itu sendiri.
Salah satu hal yang paling berpengaruh adalah dikembalikannya pembiayaan pilkada ke anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Ini jelas membuat daerah kelabakan menyiapkan uang untuk pelaksanaan pilkada. Apalagi perintah melaksankaan itu datang secara mendadak pada Februari 2015, setalah seluruh daerah selesai menyusun anggaran.
Setelah berjalan dengan terseok-seok, akhirnya 269 daerah memiliki anggaran untuk pelaksanaan Pilkada Serentak 2015. Meskipun, mesti diakui, ketersedian anggaran juga tidak diiringi kelancaran proses pencairan dari pemerintah daerah kepada KPU kabupaten/kota dan provinsi yang melaksanakan pilkada.
Selain soal anggaran, pelaksanaan pilkada 2015 terganjal dengan proses sengketa pencalonan. Bahkan persoalan ini sampai pada detik-detik akhir hari pemungutan suara pada 9 Desember 2015, yang akhirnya berujung pada penundaan pelaksanaan pemungutan suara di 5 daerah. Dari rencana awal 269 daerah yang melaksanakan pilkada serentak, hanya 264 daerah yang jadi. Ada Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun, Kota Manado, dan Kabupaten Fak-Fak yang pelaksanaan pemungutan suaranya mesti ditunda karena proses sengketa pencalonan.
Proses sengketa pencalonan yang berlarut ini terjadi karena terlalu banyaknya lembaga yang terlibat dalam proses tersebut. Mulai dari pengawas pemilu, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan sampai ke Mahkamah Agung. Akhirnya, disparitas keputusan sengketa pencalonan menjadi sangat tinggi. Pengawas pemilu yang diberikan mandate secara “tiba-tiba” bukanlah lembaga yang didesain dan disiapkan untuk menyelesaikan sengketa pencalonan.
Oleh sebab itu, 2016 akan menjadi tahun yang sangat menentukan. Kita akan dipertontonkan dan akan segera mendapatkan kepastian perihal masa depan KPK, khususnya pemberantasan korupsi. Apakah KPK akan tetap di jalur harapan semua masyarakat Indonesia untuk terus berjaya dalam pemberantasan korupsi atau justru akan menjadi lembaga yang terjepit dalam proses pemberantasan korupsi. Termasuk juga kinerja KPK di bawah lima pimpinan baru yang banyak diragukan oleh banyak kalangan.
Selain itu, desain pilkada serentak ke depan juga akan ditentukan pada 2016. DPR sudah merancang akan merevisi UU Pilkada dan memperbaiki beberapa lubang regulasi yang menjadi persoalan dalam pelaksanaan pilkada. Semoga saja beberapa hal krusial seperti sanksi politik uang, pembiayaan pelaksanaan pilkada dikembalikan ke APBN, serta memperbaiki mekanisme penyelesaian sengketa pencalonan kepala daerah bisa segera diselesaikan .