Munculnya pemimpin baru selalu memunculkan harapan baru. Begitu juga saat pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla diumumkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pemenang Pilpres 2014 lalu, ada harapan menjulang, terutama di kalangan yang antusias menjadi pemilihnya.
Pada Agustus 2014, sebelum Jokowi-JK mengumumkan kabinetnya, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menangkap denyut ekspektasi publik hingga 71,73%. Sayangnya, tingginya harapan itu gagal dipertahankan karena satu tahun kemudian, pada September 2015, ekspektasinya menurun hingga tersisa 60%. Meski dalam skala normal masih bagus karena di atas 50%, angka itu tetap menjadi catatan penting, lantaran apa pun alasannya, penurunan itu tidak seharusnya terjadi.
Penyebab utama menurunnya ekspektasi itu, antara lain, karena Jokowi-JK dinilai gagal memilih kabinet yang benar-benar profesional yang terbebas dari pengaruh partai politik. Kabinet Kerja yang dibentuk Jokowi-JK menjadi lahan bagi-bagi kekuasaan, bahkan ada partai pendukung yang over-represented dalam Kabinet Kerja, dengan menteri-menteri yang tidak cukup berkualitas pula.
Kabinet yang didominasi aktivis partai menjadi titik awal munculnya kekecewaan publik terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Bukan karena mendikotomi antara menteri profesional dengan menteri aktivis partai, tapi pasangan ini dianggap melanggar janji yang dalam kampanye politiknya antara lain akan membangun koalisi tanpa syarat. Banyaknya jumlah menteri juga ikut menambah kekecewaan publik, karena sebelumnya Jokowi menjanjikan kabinet yang ramping.
Hingga akhir tahun 2015, alih-alih meningkat, ekspektasi terhadap Jokowi-JK justeru semakin merosot. Perombakan kabinet terbatas yang dilakukan pada Agustus 2015, dilanjutkan dengan serangkaian peluncuran kebijakan ekonomi, juga belum mampu mengangkat optimisme publik.
Menurut hasil survei “Kedai Kopi” pada 14-17 September 2015, 54,7% publik merasa tidak puas. Survei yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM-SI) terhadap 3498 mahasiswa pada Oktober 2015 mencatat, hanya 17% saja yang merasa puas dengan kinerja pemerintah, 42% menyatakan tidak puas, dan 41% menyatakan ragu-ragu.
Pada saat kepuasan sudah berada di bawah angka 50%, artinya pemerintah telah memasuki zona defisit ekspektasi. Diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengatasinya. Perlu dideteksi secara cermat pada sektor apa saja kekecewaan publik mencuat untuk ditemukan jalan keluarnya yang tepat.
Rendahnya kinerja pemerintah bisa dilihat, misalnya, dari rendahnya penyerapan anggaran. Hingga 30 September, penyerapan anggaran baru mencapai 56,2%, atau Rp 989,8 triliun dari total APBN-P yang mencapai Rp 1.761,6 triliun. Rendahnya penyerapan anggaran ini, antara lain, berimplikasi pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2015, penduduk miskin mencapai 11,22%, meningkat dari 10,90% pada September 2014.
Sebenarnya pemerintah cukup punya alasan untuk berkelit dari kekecewaan publik, misalnya karena belum adanya dukungan politik yang maksimal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), masih banyaknya warisan masalah yang ditinggalkan pemerintah sebelumnya, atau karena peningkatan kinerja ekonomi Amerika Serikat yang berdampak pada penurunan nilai tukar mata uang terhadap dolas AS, termasuk rupiah. Tapi, alasan-alasan ini bisa jadi bumerang pada saat dikemukakan di hadapan publik. Karena yang publik inginkan bukan berkilah tapi langkah-langkah nyata untuk meningkatkan kinerja.
Di antara langkah-langkah yang mendesak untuk dilakukan segera adalah perombakan kabinet tahap kedua. Satu langkah ditempuh bisa menanggulangi dua masalah sekaligus, memperbesar dukungan DPR dan meningkatkan kinerja pemerintah. Pada saat kinerja meningkat, otomatis kepercayaan publik pun akan kembali meningkat.
Pertanyaanya, perombakan kabinet yang seperti apa? Pertama, yang bisa memperluas dukungan DPR tanpa harus menambah jumlah menteri dari partai politik, bila perlu malah memangkasnya. Dan kedua, yang mampu meningkatkan kinerja secara terukur.
Partai-partai yang menempatkan menteri terlalu banyak harus dikurangi untuk memberikan ruang bagi hadirnya menteri baru yang berasal dari partai pendukung baru, atau yang berasal dari kalangan profesional. Menempatkan menteri baru dari partai politik di kursi menteri yang sekarang diduduki kalangan profesional harus dihindari, karena tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik saat ini tengah berada di titik nadir.
Menteri yang terbukti berkinerja buruk (dari partai maupun bukan) diganti dengan tokoh yang memiliki kinerja dan integritas yang baik di mata publik. Perpaduan kinerja dan integritas penting diketengahkan mengingat pada saat ini banyak pejabat publik yang menjadi sorotan karena dianggap tuna susila. Kinerja dan integritas akan menjadi jaminan kepercayaan dan legitimasi moral yang sangat dibutuhkan untuk mengembalikan harapan.
Rendahnya kepercayaan publik terhadap DPR, juga terhadap lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru, akan sedikit terobati pada saat pemerintah mampu menghadirkan harapan baru.