Teddy Rusdy—orang yang tepat di belakang Benny Moerdani, sosok yang disebut sejarawan militer David Jenkins salah satu orang paling berkuasa di Indonesia pada 1980-an—punya latar keluarga yang unik.
Saya sebenarnya lebih kenal istrinya, Sri Teddy Rusdy, yang akrab disapa Mbak Sri Tardjo, senior di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Dari Mbak Sri itu juga saya kemudian mengenalnya dan diajak dalam berbagai kegiatan yang lebih banyak berkait dengan aktivitas pendidikan dan kemasyarakatan yang digelutinya.
Tetapi, setelah bertahun-tahun tetiba, Pak Teddy Rusdy meminta saya menangani urusan legal yang tidak pernah selama kami bergaul dimintanya. Saya menyesal sekali sebab sebelum tuntas melaksanakan pembuatan akta wasiat di hadapan notaris, ia sudah keburu meninggal pada 31 Mei 2019. Hanya selang seminggu saja setelah ia bicara mengungkapkan wasiatnya di depan Mbak Sri, Andrew anak sulungnya, dan saya serta notaris.
Pada 24 Februari 20, tepat 1000 hari meninggalnya Pak Teddy Rusdy. Saya terkenang-kenang dan masih merasa menyesal serta berhutang. Saya menekan perasaan itu dengan membaca beberapa tulisan tentang dirinya. Saya pun terpaku pada kisah yang belum banyak diketahui. Rupanya ia seorang cucu Digulis, pangkat tertinggi orang di zaman pergerakan kebangsaan.
Haji Muhammad Zis, kakek Pak Teddy, adalah seorang Digulis atau tahanan kamp pembuangan kolonial Belanda di Boven Digoel, Papua. Di tempat pembuangan para pejuang politik dan kemerdekaan yang didirikan pemerintahan kolonial Belanda pada 1927 ini, Yai Zis, demikian Pak Teddy memanggil sang kakek yang dikenal sebagai Yai Kepuh—nama sebuah desa di Pandeglang, Banten—tinggal selama lebih dari sepuluh tahun.
Yai Zis adalah aktivis Sarekat Islam (SI) di Banten. Karena gerakannya dinilai anti-Belanda maka ia ditawan Belanda pada 1928 dan setahun kemudian dibuang ke Boven Digoel yang juga jadi tempat pembuangan tokoh pergerakan nasional Indonesia, seperti Marco Kartodikromo, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir.
Bersama lebih kurang 1.300 orang, Yai Zis dibuang ke Boven Digoel karena terlibat pemberontakan para kiai di Banten pada 1927–1928. Sebagian besar dari mereka yang dibuang ke Boven Digoel kala itu meninggal di tempat pembuangan karena terserang penyakit malaria dan TBC.
Ketika kakeknya dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda, Pak Teddy berusia sepuluh tahun dan masih duduk di kelas IV Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) Jaga Monyet, Petojo, Jakarta Pusat.
Ketika penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia dilakukan pada akhir tahun 1949, bersama Digulis lainnya yang selamat Yai Zis dibebaskan dan kembali pulang. Setelah 21 tahun terpisah dari keluarga, Yai Zis dapat kembali ke kampung halamannya di Banten dengan selamat.
Tetapi, di samping kebanggaan dan kebahagiaan, Yai Zis juga pulang dengan perasaan sedih karena setelah sekian lama tanpa ada kabar, istrinya telah menikah lagi dengan orang lain. Yai Zis lahir pada 1894. Ketika dibuang ke Boven Digoel pada 1929, ia berumur 35 tahun. Ia meninggalkan isteri dan empat orang anak.
Sewaktu Yai Zis ditangkap dan dibuang Belanda, istrinya berusia 33 tahun. Sejak saat penangkapan hingga bertahun-tahun berada dalam pembuangan, Yai Zis kehilangan komunikasi sama sekali dengan keluarga. Tak heran jika isterinya kemudian menikah lagi dan melahirkan dua orang putra.
Pada 1959, sepuluh tahun setelah Yai Zis pulang dari Boven Digoel, Pak Teddy lulus SMA I Budi Utomo, Jakarta. Saat itu Presiden Sukarno yang selama masa Demokrasi Liberal hanya menjadi simbol mengambil kendali kembali melalui Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Dalam sistem politik yang kemudian dikenal sebagai era Demokrasi Terpimpin, Presiden Sukarno, Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi, mencanangkan Tri Komando Rakyat (Trikora), seruan dan perintah untuk membebaskan Irian Barat.
Dalam suasana gegap gempita, panggilan perjuangan membebaskan Irian Barat, sebagai anak muda yang gelora darah dalam tubuhnya tengah membara, Pak Teddy terdorong untuk memasuki pendidikan militer. Ia mendaftarkan diri masuk TNI Angkatan Udara pada tahun 1960 dan langsung dilantik sebagai letnan tahun 1962. Kala itu TNI Angkatan Udara bersama Angkatan Laut dan Angkatan Darat yang sedang membangun kekuatan mempersenjatai diri dengan peralatan-peralatan utama sistem senjata yang modern.
Termasuk adalah menyiapkan para penerbang utama. India yang mewarisi sistem senjata dan sistem pendidikan Inggris, membuka pintu untuk melatih taruna navigator di Indian Air Force Flying College, Jodhpur, Rajasthan. Untuk itu, dipilih empat calon perwira yang akan dilatih di India. Salah satunya Pak Teddy.
Sepulang dari India, pada 1963, Pak Teddy sudah menjadi bagian dari operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat di daerah operasi Morotai. Ia menerbangkan pesawat Albatros (PB) dan Catalina (PBY) yang mampu terbang delapan jam. Pesawat ini sangat ideal untuk tugas-tugas infiltrasi menerobos pertahanan Belanda menurunkan pasukan intel dan membawa logistik.
Pak Teddy terbang di atas pulau tempat kakeknya, Yai Zis, dibuang sebagai pemberontak terhadap Belanda sejak 1929. Setelah kakeknya terlibat pemberontakan terhadap Belanda, selang 34 tahun kemudian, ia melanjutkan jejak itu. Sebagai cucu seorang Digulis, Pak Teddy ingin ikut membebaskan Irian Barat atau Papua menjadi bagian Indonesia sebagaimana diamanahkan kemerdekaan.
Tugas yang telah ditunaikan Pak Teddy dengan baik dan berbuah Bintang Shakti dari Sukarno. Tetapi, bagi pribadi ia sendiri, berjuang di daerah tempat kakeknya yang seorang kiai pernah dibuang itu mengingatkan bahwa ia telah memenuhi arti dari kata “santri” yang berasal dari bahasa Jawa, yakni cantrik yang bermakna “orang atau murid yang selalu mengikuti gurunya”, yaitu Yai Zis.