Kamis, April 18, 2024

10 Tahun Kepergian Pramoedya Ananta Toer

Arman Dhani
Arman Dhanihttp://www.kandhani.net
Penulis. Menggemari sepatu, buku, dan piringan hitam.

buku-pramBeberapa karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer. ALINEATV.COM

Penulis dunia yang dilupakan dan diasingkan pemerintah sendiri.

Pramoedya Ananta Toer adalah penulis Indonesia yang menjadi lambang dari generasi yang muram. Ia mewakili era ketika negeri ini masih dalam masa perjuangan, Orde Lama hingga Orde Baru. Ia menjadi penulis yang diasingkan dan dipenjarakan pada masa penjajahan Jepang, era Sukarno, dan juga rezim Soeharto.

Namun, Pram, begitu ia diingat para pembaca karya-karyanya, adalah orang yang menolak dilumpuhkan. Bahkan ketika bebas, Pram tak begitu saja menerima permintaan maaf. Lalu bagaimana ia mesti diingat?

Dalam “Catatan Pinggir” di majalah Tempo (April 2000) Goenawan Mohamad menulis “surat” tentang Pram, “Bung telah bersuara parau ketidakadilan”. Kata-kata itu serupa hantaman yang keras. Esais dan penyair asal Batang, Jawa Tengah, ini merasa gerah atas sikap Pram yang menolak permintaan maaf Presiden Abdurrahman Wahid saat itu.

Goenawan juga menuliskan Pram adalah pribadi pendendam, yang disebutnya sebagai “seorang yang merasa lebih ‘tinggi’ derajat ke-korban-annya akan mudah merasa berhak jadi maha hakim terakhir”.

Pram tak perlu lama menjawab surat Goenawan. Ia mengawali suratnya dengan sangat ketus, “Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan.” Ia menjawab surat Goenawan dengan padu padan kata yang pelan namun menusuk.

Siapa pun yang membaca surat itu akan bersepakat bahwa Pram sedang bertahan dari luka yang teramat perih. Ia sudah lelah untuk percaya. Termasuk kepada Gus Dur dan Goenawan yang disebutnya “bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim”.

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Februari 2015 menandai 90 tahun peringatan sosok Pram beserta karyanya yang gigantik. Ia telah menulis lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Stamina dan semangat dalam menulis didapatkannya dari kemarahan dan semangat terhadap nasionalisme Indonesia.

Dalam surat untuk Goenawan Mohamad, Pram bercerita panjang tentang pengorbanannya untuk bangsa ini. “Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok habis-habisan,” tulisnya. Dia disudutkan dan menjadi kalah. “Sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru menangkap saya.”

Pram kemudian menyadari bahwa dirinya memang harus sendiri dalam menghadapi segala penindasan Orde Baru.

Kepada adiknya, Koesalah Soebagyo Toer, dan André Vltchek, Pram mengaku merasa terasing dengan bangsa ini, karena melihat generasi mudanya hanya bisa mengonsumsi dan beternak. Juga merutuki bagaimana Liliek, panggilan Koesalah, membiarkan anak, cucu, dan keponakannya sebagai pribadi peminta-minta. “Saya merasa jijik dan malu,” katanya.

Kebencian dan dendam Pram bukan pada Republik ini, melainkan pada penguasa. Pram yang saat itu baru saja keluar dari Pulau Buru dengan gagah mengecam tindakan Presiden Soeharto terhadap Timor Timur, juga kepada bangsa Atjeh.  Dia selalu mengatakan Jawa berutang pada Atjeh.

Beberapa hari sebelum meninggal, ia bahkan masih sempat mengkliping pemberitaan mengenai Papua dan PT Freeport Indonesia. Totalitas. Sesuatu yang bahkan sukar dilakukan seorang combatan paling gigih sekalipun.

Sayang, tak banyak yang mau mencari tahu siapa Pram di balik kemarahan dan dendamnya. Di balik kemegahan “Tetralogi Pulau Buru”,  Pram adalah ayah dan suami yang luar biasa. Mari tengok surat-surat untuk anaknya di novel Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Juga beberapa fragmen penggambaran betapa ia mencintai Maemunah, istri keduanya, dengan cara yang sederhana. Tidak perlu kata “aku cinta kau” atau puisi, yang lagi-lagi dibacakan dengan air mata.

Tentu Pram bukan orang suci yang lepas dari kesalahan. Ia dengan galak menyerang Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka dengan menyediakan ruang penistaan ulama dan sastrawan tua itu atas novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Juga saat ia menyetujui bila orang-orang yang tak sepaham dengan Revolusi (Sukarno) disingkirkan. Namun karena memilih itulah Pram menjadi manusiawi. Menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas pilihannya.

Termasuk dukungannya terhadap Sukarno secara taklid buta. Pram menganggap Bung Karno, yang menista Syahrir dan mengeksekusi Kartosuwiryo, sebagai pemimpin “yang tak ada banding”. Dia menuturkan dengan banyak penekanan yang hiperbolis. Dalam dua buku berbeda, Saya Terbakar Amarah Sendirian dan Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, Pram menyebut Sukarno sebagai pemimpin sejati bangsa ini.

Ini yang membuat Pram menjadi pribadi yang paradoks. Di satu sisi, ia menentang dan membenci sesuatu yang disebutnya sebagai fasisme Jawa, yaitu taklid buta dan tunduk pada perintah atasan. Di sisi lain, ia memuja dan memuji Sukarno tanpa hendak melakukan kritik yang adil terhadapnya.

Juga pada musuh-musuhnya yang disebut sebagai kelompok Manifes Kebudayaan. Pram, seperti ditulis Ajip Rosidi dalam obituarinya, meneror penanda tangan Manifes Kebudayaan melalui Lentera. Ia berdalih bahwa pertentangan ide adalah hal yang wajar. Melawan kata dengan kata. Namun, sedikit banyak ini menjadi absurd saat ia ingin menuntut sastrawan Taufiq Ismail dan DS Moeljanto, seperti ditulis dalam buku susunan Liliek Toer, karena melakukan fitnah. Apa yang berbeda?

Bahkan di ujung hayatnya Pram masih menolak untuk tunduk. Pada Minggu, 30 April 2006, pukul 05.00, pria tua yang sebelumnya menolak dirawat di Rumah Sakit Saint Carolus ini sempat mengerang. “Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang,” katanya. Di ujung nafas yang paling akhir pun ia tak mau nasibnya ditentukan orang lain.

Seperti yang disampaikannya kepada André Vltchek, “Kalau ngomong soal Indonesia, saya kebakaran.”

Dalam beberapa kesempatan Pram menggambarkan masa lalu sebagai beban. Misalnya dalam novel semi-autobiografi, Bukan Pasar Malam, yang membuatnya malas pulang ke Blora. Anak yang telanjur nyaman di kota, merasa jengah, dan lelah karena harus kembali pada keluarga dan kampung halaman.

Sejalan dengan gambaran Tariq Ali dalam obituari Pram. “Toer was writing about the past, but much of what he wrote resonated with the present.”

* Pernah dimuat di majalah GeoTIMES edisi 46, Februari 2015

Arman Dhani
Arman Dhanihttp://www.kandhani.net
Penulis. Menggemari sepatu, buku, dan piringan hitam.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.