Minggu, November 24, 2024

Untuk Jokowi tentang Bela Negara

- Advertisement -
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu memberikan paparan terkait pembentukan kader bela negara di Jakarta, Senin (12/10). Kementerian Pertahanan akan membentuk 4.500 kader pembina bela negara di 45 kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang melibatkan peran seluruh kementerian/lembaga dan komponen bangsa lainnya dengan tujuan untuk mewujudkan Indonesia yang kuat. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/aww/15.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu memberikan paparan terkait pembentukan kader bela negara di Jakarta, Senin (12/10). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Pak Presiden Jokowi, saya sejujurnya suka dan oke saja dengan program baru yang diusung oleh pemerintahan Anda: Program Bela Negara. Cuma, ada beberapa kegelisahan yang perlu saya sampaikan.

Pertama, cobalah cari momen yang pas ketika membuat program. Bayangkan, rakyat Indonesia sekarang sedang jengkel-jengkelnya dengan asap, ayo ini dulu yang diatasi. Korporasi mana yang harus diseret dan diminta bertanggungjawab. Data-data itu sudah berserakan di pengetahuan publik. Anda tentu tak ingin meniru-niru DPR bukan, di mana rakyat sedang semangat-semangatnya memberantas korupsi, eh DPR malah ingin mengamputasi segala kemungkinan KPK untuk menciduk para koruptor busuk.

Andaikan memang negara ini sedang terancam, misal ada negara asing ingin menjajah ulang Indonesia, saya yakin 1.001% rakyat siap dan sigap membela kedaulatan NKRI, entah dengan perang semesta atau apa pun namanya. Apalagi program salah satu menteri Anda itu muncul dengan pernyataan-pernyataan yang menakut-nakuti, “Kalau tak suka bela negara di sini, tidak cinta tanah air, ya angkat kaki saja dari sini”. Rakyat Anda tak sejelek dan sepengecut itu, kok, Pak.

Pak Jokowi yang saya banggakan. Poin kedua yang ingin saya katakan adalah buatlah program dengan latar belakang yang tepat dan pas. Program bela negara ini dinyatakan karena “generasi muda kurang begitu mencintai dan memiliki rasa cinta Tanah Air”. Saya kira ini latar belakang yang salah. Bapak suka blusukan, dan masih sering blusukan, bukan?

Coba Bapak blusukan ke sekitar Jawa saja, tidak usah jauh-jauh dulu. Bapak pergi ke Rembang, Pati, Urutsewu, dan Lumajang. Di sana ribuan pemuda (dan para sesepuh) sedang mati-matian membela tanah air. Mereka mempertaruhkan, hidup-matinya, untuk mempertahankan tanah dan air, serta kekayaan alam yang mereka miliki saat ini. Tanah dan air mereka sekarang sedang direbut oleh korporasi-korporasi tambang/perkebunan, seperti zaman VOC dulu merampasi tanah-tanah rakyat.

Bapak Presiden pilihan saya dulu. Hal ketiga, buatlah program yang tujuannya membuat rakyat bersemangat, bergairah, dan mampu memberi spirit revolusi mental sebagaimana Bapak gadang-gadang dulu. Konon, tujuan program bela negara adalah “membentuk disiplin pribadi yang kemudian setelah itu akan membentuk disiplin kelompok, dan juga akan membentuk disiplin nasional”.

Bapak tampaknya perlu kembali blusukan ke kalangan petani, pasti Bapak akan kaget dengan daya disiplin para petani. Saat azan shubuh berkumandang, mereka ternyata bukan bergegas ke masjid saja, tapi setelah itu langsung melanjutkan perjalanan ke ladang dan kebunnya.

Atau, coba Bapak iseng main ke pasar tradisional pukul 2 pagi. Bapak akan kaget melihat para pedagang kecil sudah sibuk menyiapkan barang dagangannya di pagi buta itu. Sungguh kedisiplinan yang luar biasa. Kalau tujuan program ini soal kedisiplinan, tentu disiplin itu bukan sekadar fisik dan psikis. Coba Bapak–kalau sedang luang mungkin–ngobrol santai dengan teman-teman disabel,  ternyata banyak di antara mereka adalah orang yang memiliki kedisplinan supertinggi, meski dengan keterbatasan tertentu.

Poin saya, saya takut program ini gagal mencapai tujuannya, karena rakyat gagal memahami pengertian “kedisiplinan” yang hendak dicapai program bela negara. Malah rakyat tidak bergairah akibat mengenal “kedisiplinan” jenis lain, di luar kedisiplinan yang telah mereka terapkan sehari-hari.

Ketiga hal yang saya utarakan tadi bukan bermasud untuk menolak program yang Pak Jokowi tawarkan. Bukan. Siapa sih saya bisa menolak program pemerintah. Namun, saya warga negara Indonesia, yang sangat mencintai Indonesia, dan memiliki pandangan yang tampaknya perlu Bapak pertimbangkan. Saya usul, Bapak bikin “Program Bela Tanah Air” saja. Kalau programnya ini, saya akan dukung sepenuhnya. Saya juga tak akan malu untuk kampanye, “Mari dukung Program (pemerintah) Bela Tanah Air”. Namun, mengapa dan seperti apa Program Bela Tanah Air ini dilakukan, saya akan coba menguraikan.

- Advertisement -

Mengapa program “Bela Tanah Air”, bukan “Bela Negara”. Begini muasal alasannya. Saya adalah pelajar politik, belajar studi politik, dan memahami “negara” itu bukan sesuatu yang netral adanya. Klaim “kepentingan negara”, misalkan, bisa jadi akan terseret oleh subjek-subjek (actor) yang ada dalam negara untuk kepentingannya sendiri (atau kelompoknya).  Pada titik tertentu, “kepentingan negara” dipakai sebagai kedok atau alat politik yang sesungguhnya melayani kepentingan-kepentingan aktor-aktor atau kelompok tertentu yang ada dalam negara.

Cerita ini berserak begitu banyak nyaris di seluruh buku yang mengangkat tema politik Indonesia di kampus-kampus. Silakan cek jika tidak percaya. Nah, risiko menggunakan nama “Bela Negara” adalah membuka potensi klaim sepihak dari aktor-aktor dalam negara, dan malah membuat program ini menjauhi rakyatnya sendiri.

Dengan menggunakan terma “Bela Tanah Air”, saya punya keyakinan rakyat akan merasa memiliki program ini, bukan hanya aktor dari negara saja yang merasa memiliki. Apalagi namanya “Bela Tanah Air”, rakyat sekarang tanpa disuruh pun sudah mati-matian membela. Mereka marah kalau tanah dan airnya diserobot korporasi. Itu kondisi sekarang.

Bagaimana Program Bela Tanah Air ini dilaksanakan, ada caranya. Tapi sebelum itu, yang ingin saya garis bawahi lagi dari program “Bela Negara”, bahwa membela negara tidak selamanya harus dikomando oleh militer. Walau tegas dikatakan program bela negara bukan wajib militer, secara konseptual berada di bawah komando militer, itu sama artinya dengan wajib militer, hanya namanya yang berbeda. Publik paham soal itu.

Negara-negara maju sekarang sudah banyak meninggalkan wajib militer akibat perkembangan konsep keamanan yang semakin luas. Kerusakan alam, bencana industri, dilema korupsi yang parah, termasuk bentuk-bentuk ancaman yang merusak keamanan negara (dan sendi kehidupan rakyat).

Andai Bapak Presiden sepakat dengan gagasan saya, program ini harus di bawah organisasi kepemimpinan sipil. Dalam bayangan saya,  setiap kementerian dan lembaga negara (mungkin juga militer) boleh membuat program yang berkorelasi dengan “Bela Tanah Air”. Misalnya Kementerian Agraria mengadakan pelatihan dan kaderisasi untuk pemetaan dan penyelesaian konflik-konflik agraria. Lalu, Komnas HAM mengadakan program serupa untuk menelorkan human right defender (pembela HAM) di banyak tempat.

KPK membuat program untuk menelorkan kader-kader pemberantasan korupsi di tingkat lokal. Artinya, negara di bawah kementeriannya bisa membuat program bela tanah air, sesuai dengan tujuan kementerian/lembaga negara itu dibentuk.

Perlu diingat, negara ini tidak aman bukan lantaran perang/serangan pihak asing saja, tapi juga dari ketidaksigapan negara menjalankan fungsinya sendiri. Misalnya korupsi di tubuh negara. Ini penyakit dari zaman dahulu yang menjadi musabab negara tidak maju-maju, sebab uangnya selalu dirampok terus-terusan. Selain itu, keamanan negara itu nonsense jika rakyatnya tidak aman. Makanya, saya meminta Bapak Jokowi untuk segera menyelesaikan persoalan asap, sebab rakyat benar-benar sedang tidak aman, Pak! Mereka sedang diserang asap yang bakal menghancurkan paru-paru rakyat Bapak sendiri.

Tapi, semua tergantung Bapak mau mendengarkan usulan/gagasan saya ini atau tidak. Jika bapak besok 19 Oktober jadi datang membuka acara perdana program Bela Negara, maka 2 minggu setelahnya, saya harap bapak Presiden Jokowi juga berkenan datang pada 29 Oktober ke Rembang. Nanti ibu-ibu Rembang–yang dulu pernah datang ke Bapak (ingat bukan?)–akan memperingati 500 hari tinggal di tenda perjuangan membela tanah dan airnya dari kerakusan korporasi tambang.

Di mata saya, aksi ibu-ibu tersebut adalah bentuk konkret “bela tanah air” yang tanpa diminta, bahkan tak perlu diprogramkan. Bukankah yang demikian itu adalah kecintaan terhadap tanah air yang hakiki.

Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.