Bertahun lalu, setelah Satanic Verses diluncurkan, Salman Rusdhie mendapatkan fatwa mati. Penulis keturunan India itu dipaksa bersembunyi karena karyanya dianggap menghina ajaran umat Islam. Hari ini Rusdhie masih hidup dan ia masih konsisten dengan ide-ide kebebasan berpendapat. Ketika Salman Rusdhie dianggap melakukan penistaan agama, Ayatullah Khomeini lantas mengeluarkan fatwa mati untuknya. Rusdhie dianggap sosok yang merepresentasikan kebebasan berekspresi. Tapi benarkah demikian?
Rusdhie juga salah satu sosok yang membela keberadaan Charlie Hebdo, majalah satir yang terang-terangan menghina banyak agama dan keyakinan. Rusdhie sebenarnya tengah menikmati iklim kebebasan berpendapat seraya melakukan serangan kebencian kepada Islam. Ia, bagi saya, seperti benalu, menyamarkan kritik dengan kebencian dan menikmati kebebasan berpendapat sebagai kebebasan memaki. Belakangan kita dihadapkan pada pilihan, apakah kebebasan berpendapat memiliki batasan?
Di Indonesia, tema hate speech atau ujaran kebencian menjdi perbincangan menarik. Kepolisian Republik Indonesia mengeluarkan surat edaran terkait ujaran kebencian. Hal ini seperti lampu kuning bagi masyarakat, terutama mereka yang menggunakan internet untuk lebih berhati-hati dalam berpendapat di ruang publik, khususnya di jejaring media sosial.
Dalam Surat Edaran Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) yang ditandatangani Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 itu, jejaring media sosial menjadi salah satu sarana yang dipantau terkait penyebaran ujaran kebencian ini. Tapi apakah sebenarnya ujaran kebencian itu? Dan bagaimana kita mengidentifikasinya?
Damar Juniarto, pegiat Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), menyebut bahwa ujaran kebencian merupakan ancaman untuk kebebasan berekspresi. Ia menyaru dalam bentuk kritik, namun pada dasarnya hendak menjatuhkan dan menyebarkan ancaman.
Menurut Damar, tingkatan ujaran kebencian bisa mulai dari pelecehan terhadap identitas rasial, menghasut untuk melakukan tindakan kriminal, sampai mengajak orang untuk menyakiti /membunuh orang lain. Pada tataran yang paling ringan, ujaran kebencian bisa merupakan perkataan, seruan yang didasari oleh rasa tidak suka dengan tendensi merendahkan dan ajakan untuk melakukan tindakan kekerasan.
Beberapa bulan terakhir banyak sekali postingan di media sosial yang menunjukan gejala ini. Beberapa netizen mengekspresikan kebenciannya dengan ujaran melakukan kekerasan karena sentimen ras. Kekerasan itu diutarakan dalam bentuk memperkosa dan menyembelih orang yang ia benci karena rasnya. Fenomena ini, menurut Damar, bukanlah bentuk kebebasan berekspresi melainkan upaya melegitimasi tindakan kekerasan melalui ujaran kebencian.
Dalam beberapa hal, ujaran kebencian berusaha dibenarkan dengan banyak hal. Misalnya kondisi politik yang tidak menentu, alasan ekonomi yang timpang atau tingkat pendidikan yang rendah. Beberapa ujaran kebencian kerap dilakukan oleh orang yang berpendidikan. Bukan tidak mungkin seorang profesor merendahkan seseorang berdasarkan identitas rasnya, lantas menyerukan ajakan untuk melakukan makar kepada pemerintah yang sah.
Untuk itu, penting adanya edukasi tentang literasi media digital. Lawrence Lessig dalam Budaya Bebas: Bagaimana Media Besar Memakai Teknologi dan Hukum untuk Membatasi Budaya dan Mengontrol Kreativitas menyebut literasi media sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Dengan kemampuan ini masyarakat sebagai konsumen media (termasuk anak-anak) menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses.
Literasi media digital juga perlu diperkenalkan kepada generasi muda agar dapat memahami aturan-aturan yang semestinya dilakukan ketika menggunakan jejaring media sosial dalam menyampaikan pendapat atau ketidaksukaan pada suatu hal. Publik juga perlu diedukasi untuk dapat membedakan antara kritik dan ujaran kebencian. Mempertanyakan kinerja pemerintah terhadap suatu masalah bukanlah ujaran kebencian. Tapi menyerukan untuk menyakiti dan membunuh pejabat pemerintah karena sentimen suku, agama, ras, etnis, dan golongan adalah bentuk ujaran kebencian.
Selain yang disebutkan tadi, kebencian dan tendensi merendahkan berdasarkan warna kulit, gender, kaum difabel, hingga orientasi seksual juga menjadi perhatian dalam surat edaran yang berkaitan dengan ujaran kebencian ini. Langkah pemerintah bisa jadi tepat untuk menangani persoalan ujaran kebencian ini yang makin hari makin meresahkan. Namun pemerintah juga perlu berhati-hati agar tidak membungkam kebebasan berpendapat warganya.
Pers dalam hal ini juga rentan menjadi kelompok yang akan terbungkam jika pemahaman tentang ujaran kebencian dimaknai secara gegabah. Namun Surat Edaran Kapolri ini juga bisa menjadi sangat efektif untuk mencegah atau setidaknya menghentikan sepak terjang media abal-abal yang kerap menyerukan kebencian. Bukan rahasia lagi beberapa media yang berlabel agama kerap melakukan seruan kebencian dan konstruksi negatif terhadap kelompok-kelompok minoritas di Indonesia.
Media ini kerap menggunakan isu agama untuk menyebarkan kebencian dan berita yang tidak benar. Beberapa media tadi kerap menyebarkan berita tanpa verifikasi atau berdasarkan sumber yang tidak kredibel. Penyebaran media semacam ini seperti bensin dan api. Beberapa pembaca menerima kebenaran berita-berita kebencian sebagai sesuatu yang terberi. Padahal, dalams suatu berita, kerja-kerja verifikasi independen merupakan hal mutlak untuk menjamin bahwa informasi yang disajikan media bersifat kredibel. Dan verifikasi itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang terlatih dan paham etika jurnalisme, yaitu wartawan profesional.
Beberapa orang di media sosial berpendapat, dengan adanya surat edaran ini akan ada pembatasan ruang berekspresi. Frank La Rue dari Special Rapporteur on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression, menyebutkan bahwa hukum semestinya melawan seruan kebencian dengan sangat hati-hati. Menurut La Rue, hukum memang diperlukan dalam memerangi seruan kebencian, namun juga harus memahami kebijakan kebebasan berpendapat dan dapat membedakan mana yang kritik dan mana yang ancaman.