Rabu, Oktober 9, 2024

Sertifikasi Kayu Legal demi Hutan yang Lestari

Adisty Primatya
Adisty Primatya
Jurnalis GeoTimes dan peminat isu-isu keberlanjutan
Sejumlah pekerja menaikan kayu jati di Benculuk, Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (17/11). Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) menyebutkan, Penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) oleh kementrian Lingkangan hidup dan Kehutanan terkendala kurangnya sosialisasi pemerintah daerah. ANTARA FOTO
Sejumlah pekerja menaikkan kayu jati di Benculuk, Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (17/11). Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) menyebutkan, penerapan SVLK oleh Kementrian Lingkangan Hidup dan Kehutanan terkendala kurangnya sosialisasi pemerintah daerah. ANTARA FOTO

Siang dua pekan lalu itu matahari terasa sangat menyengat. Waktu menunjukkan pukul 11.30 WIB, namun para pengrajin kayu itu masih giat bekerja. Mereka dengan tekun mengukir batang kayu dan membentuknya menjadi pipih agar dapat direkatkan pada sebuah kain. Para pengrajin yang terampil itu bekerja di sebuah industri kecil menengah (IKM) yang memproduksi karya seni berbahan dasar kayu di kawasan Bantul, Yogyakarta.

Bisnis industri kayu saat ini memang kian menjanjikan. Pada 2014, Kementerian Kehutanan mencatat nilai ekspor produk kehutanan Indonesia mencapai hingga US$ 3,2 miliar pada semester pertama. Maka tak heran jika bisnis kayu tumbuh dengan pesat. Pasar ekspor sektor ini juga semakin meluas. Jika sebelumnya pasar ekspor didominasi oleh Asia, kini produk kehutanan Indonesia telah berkembang hingga Uni Eropa. Bahkan pada 2014, pasar Uni Eropa menjadi pasar ekspor kedua setelah Asia.

Dalam perluasan itu, sistem penjaminan legalitas usaha dan legalitas kayu menjadi salah satu penopangnya. Beberapa negara yang tergabung di Uni Eropa telah berkomitmen hanya akan menerima produk ekspor kayu yang telah mengantungi sertifikasi legal. Alhasil, para penggiat industri kehutanan akhirnya berlomba-lomba untuk mengantongi sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK).

SVLK yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan itu disambut positif oleh banyak pihak. Sistem sertifikasi legal itu dinilai menjadi langkah berani dan komitmen yang tegas dari Indonesia untuk menjamin industri kehutanan yang lestari. Berbagai keuntungan yang didapatkan dari penerapan SVLK menjadi alasan utamanya. Salah satunya adalah pengurangan risiko penebangan kayu ilegal.

Selama ini kekayaan hutan Indonesia kerap dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan menebang kayu secara ilegal. Data Badan Pemeriksa Keuangan pada 2012 menyebutkan negara mengalami kerugian hingga Rp 31 triliun setiap tahun akibat praktik illegal logging.

Rumekso Setiadi, salah satu pengelola industri kayu di daerah Bantul, Yogyakarta, mengamini keuntungan dari SVLK. Walau belum merasakan dampak peningkatan omzet dari SVLK, manajemen IKM miliknya yang sejak April 2015 telah mengantungi SVLK kini lebih tertata dan sistematis. “Dampaknya cukup positif pada manajemen kami. Produk kami kini juga lebih mudah mengikuti pameran produk di luar negeri,” ungkap Rumekso.

Namun dalam pelaksanaannya Rumekso tidak seorang diri. Biaya tinggi yang mencapai Rp 40 juta dan alur yang rumit merupakan alasannya. Tak hanya itu, mereka yang berminat melakukan sertifikasi juga harus siap berhadapan dengan sederet dokumen yang harus diurus. Alhasil, industri kecil menengah miliknya dibantu oleh salah satu lembaga pengembang sistem sertifikasi sukarela. Ia didampingi Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dengan mitra daerahnya, ARuPa Yogyakarta, untuk mengantongi sertifikasi kayu legal.

Hayu Wibawa, Koordinator Proyek LEI, mengatakan bahwa bantuan yang disalurkan kepada IKM dilakukan untuk penerapan konsep hutan yang lebih lestari. “Berbagai upaya turut dilakukan untuk mendorong pengelolaan hutan rakyat yang baik, agar selanjutnya dapat ikut mempromosikan manfaat ekonomi, sosial, dan ekologisnya,” kata Hayu.

Namun, dengan segala manfaatnya, SVLK justru diabaikan oleh pemerintah. Padahal Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan Ekspor Produk Kehutanan yang telah ditandatangani pada 19 Oktober 2015 menyatakan bahwa industri kecil dan menengah dapat mengekspor produknya hanya dengan menggunakan deklarasi ekspor. Walhasil, ketentuan tersebut menunda kedisiplinan penerapan SVLK oleh pelaku bisnis karena mereka kini diperbolehkan untuk mengekspor produknya hanya dengan dokumen deklarasi ekspor tanpa batas waktu.

Peraturan itu juga mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Koalisi Pemantau Independen Kehutanan. Koalisi ini menilai Kementerian Perdagangan tidak pro terhadap pelestarian hutan di Indonesia karena tidak konsisten mendukung pelaksanaan SVLK. Pemerintah juga dinilai hanya memandang SVLK sebagai instrumen ekspor saja, bukan untuk mendukung konsep hutan yang lestari.

Lantas, jika benar SVLK dapat membuka peluang agar konsep hutan lestari tercipta, mengapa pemerintahan Jokowi terkesan mengabaikannya?

Adisty Primatya
Adisty Primatya
Jurnalis GeoTimes dan peminat isu-isu keberlanjutan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.