Pukul 8 pagi di Panimbang, Pandeglang, Banten, 13 Oktober 2015. Potongan semangka berserakan di tanah. Warna dagingnya yang merah menyala menarik perhatian di tengah tanah gembur dan rerumputan. Orang-orang beragam usia duduk membentuk dua kelompok besar beralaskan terpal biru dan putih kusam. Mereka sibuk mengorek dan mengumpulkan biji semangka, bukan dagingnya. Biji-biji itulah yang menghidupi warga selama ini.
Mayoritas warga memang kini berprofesi sebagai petani benih semangka. Mereka bekerja sama dengan sebuah perusahaan pengembangan benih dalam proses produksinya. Dengan membeli satu paket benih tanaman induk seharga Rp 1 juta dari perusahaan itu, mereka dapat menanam satu blok berisi seribu populasi semangka.
Perinciannya: 25 persen tanaman jantan dan 75 persen tanaman betina. Kedua jenis itu akan dikawinkan untuk menghasilkan semangka dengan biji atau benih unggul. Dalam setahun bisa tiga kali panen. Sekali panen, para petani bisa mendapatkan 8 – 10 kilogram biji semangka. Padahal, perusahaan hanya menargetkan 5,5 kilogram. Nantinya benih unggul itu dijual ke petani semangka konsumsi. Dari sana barulah dihasilkan semangka untuk dijual di pasar dan dikonsumsi masyarakat luas.
Satu kilogram benih unggul dijual ke perusahaan dengan harga yang telah ditentukan sebelum proses tanam, yaitu Rp 1.730.000. Jadi, bila petani mampu mendapatkan 30 kilogram biji semangka (Rp 51,9 juta) dari tiga paket benih tanaman induk (Rp 3 juta) dalam satu masa panen, mereka mengantongi Rp 48,9 juta.
Alhasil, banyak petani yang meningkat taraf hidupnya setelah ikut memproduksi benih unggul semangka. Salah satunya Saikad, Ketua Kelompok Tani Tunas Mulya yang beranggotakan 180 orang. Para petani yang mengambil benih dari Saikad mesti menyisihkan 2 persen keuntungan untuknya. Setahun sekali ia pun mendapat bagian 2 persen keuntungan dari perusahaan. Total Saikad bisa mendapatkan Rp 60 juta dalam setahun. Belum lagi pemasukan dari dua blok kebun semangka miliknya.
Melihat hidup Saikad sebelumnya, kesuksesan ini sungguh tak terduga. Dulu, di sekitaran Pandeglang ia dikenal sebagai jawara. “Waktu itu saya pengangguran. Kerjaan saya cuma menantang orang, main cewek, dan menghabiskan duit orang tua,” ujarnya.
Semua berubah pada awal 2003. Kala itu Saikad berjumpa dengan Suroso, petugas lapangan PT East West Seed Indonesia. Dari sana, ia tergiur belajar menanam sayuran, entah semangka, peria, ataupun oyong. Setelah belajar tiga bulan, Saikad menguasai proses penanaman, polinasi (pengawinan bunga), pemeliharaan, hingga panen.
Melihat keuntungan yang diraih, ia mengajak warga sekitar. Prosesnya tak mudah. Banyak yang takut mengambil risiko dan justru berbalik mencemooh. Namun, Saikad tak gampang menyerah. Pria kelahiran 1969 ini rajin mengajak warga, terutama saat acara kumpul-kumpul seperti pengajian atau kala ada kegiatan di kantor desa dan pos pelayanan terpadu. “Dulu ada tetangga yang meledek saya terus, tapi akhirnya ikut menanam semangka dan sekarang lebih sukses dari saya. Dia sudah punya mobil,” katanya.
Kini, pendapatan Kelompok Tani Tunas Mulya rata-rata lebih dari Rp 1 miliar per tahun. Tenaga kerja yang terserap pun ribuan. Perhitungannya, dari total 180 anggota, masing-masing mempekerjakan 4 hingga 7 petani untuk menggarap kebunnya. Selain itu, bertani benih semangka menjadi favorit karena risikonya lebih kecil dibanding menanam padi. Bertani benih semangka tak butuh banyak air sehingga saat kemarau pun aktivitas tetap berlanjut.
Hal itu mendorong sejumlah petani sayur dari Banten dan Jawa Barat bersama Asosiasi Perusahaan Perbenihan Hortikultura Indonesia mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Hortikultura pada Maret 2014. UU itu mengatur perusahaan multinasional hanya boleh berinvestasi maksimal 30 persen di usaha hortikultura, termasuk sektor perbenihan di dalamnya. Para petani khawatir, perusahaan benih asing yang telah menghidupi mereka selama ini akan kabur dari Indonesia. Padahal, industri benih lokal diyakini belum mampu menghasilkan benih unggul dengan kualitas setara.
Namun petani di Pandeglang ini bersama perusahaan terkait toh bisa memanfaatkan lahan kering untuk mengembangkan varietas lokal yang hasilnya baik. Dengan benih itulah petani konsumsi bisa memproduksi tiga hingga empat kali lipat lebih banyak, dengan kualitas lebih baik, dibanding menggunakan benih lokal.Alhasil, para petani di lapangan seakan tak mau tahu. Selama ini mereka hidup sejahtera dari benih perusahaan tersebut. Anak-anak mereka bisa makan dan bersekolah. Petugas perusahaan juga mendampingi dan membina mereka secara intensif.
Bila ingin industri benih lokal berdiri tegak dan mandiri, selama ini ke mana saja pemerintah?