Apakah hukuman mati memberikan keadilan atau cara hukum pura-pura menjadi Tuhan?
Beberapa waktu yang lalu dunia menyaksikan dengan muram enam nyawa manusia berakhir oleh hukuman mati di Indonesia. Peristiwa itu menjadi simbol bahwa pemerintah telah bekerja. Meskipun suguhan itu bisa sungguh mengerikan jika di dunia paling nyata, publik tahu, banyak penjahat kemanusiaan tak tersentuh hukum.
Terhitung 130 terpidana mati kini menunggu dengan cemas lebih 10 tahun lamanya. Vonis mati di Indonesia diam-diam telah menghukum tiga kali: penjara, penantian panjang, dan metode eksekusi mati itu sendiri yang menyakitkan dengan sistem tembak dada.
Hukuman mati telah dihapus di separo negara dunia. Alasannya karena tak ada satu pun penelitian yang bisa mengaitkan hukuman mati dengan efek jera atau penurunan angka kriminalitas. Dari 140 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, hanya 30 negara yang masih menganut hukuman mati.
Pelajaran apa dari hukuman mati, ketika efek jera justru lebih banyak menjelaskan sangsi? Para penganjur hak asasi manusia berteriak hidup manusia tak bisa dirampas oleh siapa pun, termasuk negara. Menurut mereka, keadilan tidak terpenuhi saat perampas hidup dan pelaku kejahatan terbinasakan.
Dalam buku Ancaman Hukuman Mati terhadap Pembunuhan Berencana, Profesor JE Sahetapy mengisahkan prosesi hukuman mati di Bali. Ia mengutip sebuah dokumen sejarah berbahasa Belanda yang menggambarkan adegan demi adegan hukuman mati tersebut. Empat laki-laki didakwa atas pembunuhan berencana (walad pati). Setelah dianggap bersalah, mereka kemudian dieksekusi dengan dikawal jaksa, punggawa, dan pedanda.
Sesampai di bawah pohon beringin, terpidana pertama berdiri. Kedua tangannya dibentangkan paksa oleh dua pengawal. Di depannya, seorang algojo sudah bersiap dengan sebilah keris terhunus. Sang algojo lantas menusuk dada terpidana dengan keris itu. Sialnya, tusukan si algojo kurang cermat, tak mengenai jantung terpidana. Ia harus mengulangi beberapa kali tusukan ke bagian dada.
Sang terpidana jatuh, tapi ajal belum menjemput. Beberapa pengawal yang hadir langsung melompat ke atas tubuh terpidana. Tujuannya, mempercepat keluarnya darah dari tubuh agar sang terpidana lekas mati. Semua prosesi menyeramkan itu digelar di depan tiga terpidana lain yang menunggu giliran. Kematian yang mengerikan itu mesti mereka saksikan sebelum akhirnya mereka juga meregang nyawa.
Pada 18 Januari lalu, pemerintah Indonesia mengeksekusi enam orang yang terlibat dalam kejahatan narkoba. Tiga hari sebelumnya Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, dari enam orang itu hanya satu orang Indonesia, selebihnya warga negara asing.
Pelaksanaan eksekusi mati terhadap lima warga negara asing itu dilaksanakan di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, dan seorang lagi di Boyolali. Keenam terpidana mati itu terdiri atas empat laki-laki dan dua perempuan.
Mereka adalah Namaona Denis, 48 tahun, asal Malawi; Marco Archer Cardoso Mareira, 53 tahun, asal Brasil; Daniel Enemua, 38 tahun, warga negara Nigeria; Ang Kim Soei, 62 tahun, tak jelas kewarganegaraannya; Tran Thi Bich Hanh, 37 tahun, warga negara Vietnam; dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia. Rani dieksekusi di Boyolali , sementara yang lain di Nusakambangan
Para terpidana kasus narkoba itu sudah menjalani sidang dan divonis mati setelah menimbang berbagai bukti di pengadilan. Yang menarik, status Rani Andriani adalah seorang kurir narkoba. Sementara bos atau bandar besarnya, Meirika Franola alias Ola selamat dari hukuman mati. Ola yang notabene bos, menjadi pengedar dan pengendali bisnis narkoba, itu mendapatkan grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan hukuman matinya diganti menjadi hukuman seumur hidup.
Banyak argumen yang dipakai untuk membenarkan hukuman mati. Badan Narkotika Nasional menyebutkan 50 orang meninggal setiap hari karena narkoba. Keluarga yang kehilangan, rusak, dan tercerai berai, semestinya mendapatkan keadilan. Maka, ketika pemerintah saat ini melaksanakan eksekusi mati, beberapa melakukan pembenaran berdasarkan angka yang diberikan BNN. Hal ini juga dibenarkan Presiden Jokowi.
Jaksa Agung Prasetyo juga akan segera menindak warga negara Australia anggota sindikat narkoba Bali Nine, sebutan untuk sembilan warga negara Australia yang menyelundupkan heroin 8,2 kilogram dari negara mereka. Mereka ditangkap pada 17 April 2005 di Bali.
Mereka adalah Andrew Chan, Myuran Sukumaran, Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence, Tach Duc Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush, dan Martin Stephens.
Selain Bali Nine, pada Selasa pekan lalu Pengadilan Bali juga memvonis hukuman mati terhadap Lindsay Sandiford, 56 tahun. Nenek asal Inggris ini dinyatakan terbukti “secara sah dan meyakinkan“ bersalah menyelundupkan narkotika. Pada kesempatan berbeda, Jaksa Agung Prasetyo mengatakan Indonesia memiliki “stok” 58 terpidana mati yang akan dieksekusi.
Presiden Jokowi menyatakan tidak ada kompromi terhadap kejahatan narkoba. Pelaku kejahatan yang merusak generasi muda itu pantas dicabut hak hidupnya oleh negara. Bahkan, Kepala BNN Komisaris Jenderal Polisi Anang Iskandar meyakini peredaran narkoba akan berkurang bila eksekusi mati dilakukan secara intensif.
Menurut Anang, negara juga mengalami kerugian besar terkait penanganan kasus narkoba. BNN menyebut kerugian ekonomi negara akibat penyalahgunaan narkoba mencapai Rp 48,2 triliun per tahun.
Dalam artikel “Ekuivalensi Hukuman Mati”, Anom Astika menyebut argumen itu tidak berdasar. Periset di Indonesian Institute of Social History ini mempertanyakan apakah semua data yang diberikan BNN dan negara tersebut sahih. Ini penting karena menjadi dasar bagi sebuah kebijakan dan pengambilan keputusan negara untuk mencabut hak hidup seseorang.
Anom juga mengkritisi tanggung jawab pemerintah terhadap pemicu kemunculan narkoba yang disebabkan kemiskinan.
Hukuman mati melahirkan polemik yang cukup hebat. Banyak praktisi hukum yang mempermasalahkan keberadaan hukuman ini. Praktisi hukum Todung Mulya Lubis, misalnya, menganggap hukuman mati tidak konstitusional. Undang-undang Dasar menjamin setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selain itu, Pasal 28 I mengamanatkan tentang “hak hidup dan hak untuk tidak disiksa”.
Aktivis hak asasi manusia Usman Hamid juga menentang hukuman mati. Menurut Usman, hukuman mati mengambil hak hidup yang melekat pada setiap manusia. Ini sesuai dengan Undang-undang Dasar yang membahas hak asasi manusia (Pasal 28 I). Yaitu, “Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
Menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), pada 2012 sebanyak 128 terpidana divonis mati. Ditambah vonis di Denpasar, angka itu menjadi 129 orang, dan 50 di antaranya warga asing. Sebagian besar asal Nigeria, tiga warga Australia, dua warga Belanda, dua warga Inggris, dan satu warga Amerika Serikat.
Dalam wawacara dengan Deutsche Welle, Usman Hamid memaparkan alasan menentang hukuman mati. Menurut dia, banyak dalil para pendukung hukuman mati yang tidak terbukti. Di antaranya argumen dasar bahwa hukuman mati dapat mengurangi angka kejahatan dan menekan penyebaran kriminalitas.
Faktanya, beberapa negara yang tidak menerapkan hukuman mati di Eropa angka kejahatan relatif rendah. Sementara negara-negara yang masih mengadopsi hukuman mati angka kriminalitasnya masih tinggi. Artinya, tak ada korelasi langsung antara hukuman mati dan angka kejahatan.
Usman juga mengkritisi mafia hukum di Indonesia. Ia mengatakan, pengadilan Indonesia mustahil menghasilkan keputusan yang bersih dari kesalahan. Banyak sekali pengadilan yang korup dan menghasilkan vonis yang tidak sehat. Ia menyebutkan contoh pejabat-pejabat korup yang divonis ringan atau bahkan divonis bebas. Melalui kenyataan itu bukan tidak mungkin vonis pengadilan Indonesia memiliki cacat keadilan.
Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi dasar bahwa vonis bisa dipengaruhi. Usman berkelakar, di Indonesia, orang yang kemalingan ayam justru kehilangan sapi jika berurusan dengan hukum. Mereka yang tidak mampu menyewa pengacara yang bagus dan mahal sering kali kalah karena tak punya uang. Akibatnya, vonis yang didapat bisa sangat tak adil dibandingkan vonis mereka yang memiliki uang.
Usman berpendapat vonis mati selalu diterapkan terhadap orang yang tak punya pengaruh sosial ekonomi yang tinggi.
Mendiang Profesor Mr Roeslan Saleh, guru besar hukum pidana Indonesia, dalam artikel “Masalah Pidana Mati”, menulis, “… ada perbedaannya pidana mati ini dengan pidana lain. Kalau hakim khilaf dan pidana mati telah dilaksanakan, maka pada orang itu tidak akan mungkin diberikan kembali jiwanya. Pada pidana penjara –kalau terhukum masih hidup– masih dapat diberikan kemerdekaannya kembali.”
Hukum Hak Asasi Manusia Internasional sangat membatasi hukuman mati hanya terhadap “kejahatan yang sangat luar biasa”, seperti genosida. Komite Hak Asasi Manusia PBB menilai pemberian hukuman mati pada kasus narkoba tidak tepat.
Bahkan dalam hukum Islam, hukuman mati bukan sesuatu yang mutlak dilaksanakan, tetapi diterapkan dengan prinsip kehati-hatian, terutama keharusan pengadilan untuk menimbang persetujuan dan negosiasi antara keluarga korban dan pelaku.
Permohonan ampun, pembayaran denda, pertobatan menjadi pertimbangan bagi keluarga korban memberikan semacam impunitas kepada pelaku. Hukuman mati dalam Islam bukan didasari pemenuhan balas dendam tapi lebih sebagai pendidikan terhadap keadilan dan pelaku.
Belum bersihnya secara umum kualitas peradilan dan lembaga penegak hukum di Indonesia menjadi salah satu masalah yang paling merisaukan dalam menilai kualitas vonis pengadilan atas hukuman mati. Padahal, bahkan di sistem peradilan dan lembaga penegak hukum yang relatif bersih sekalipun, tak ada satu sistem peradilan yang dianggap cukup aman dari kesalahan.
Kelemahan hukuman mati terutama karena tidak dapat dikoreksi apabila vonis tersebut salah. Hal ini semakin diperburuk oleh sistem hukum yang secara umum masih korup dan amburadul.
Indonesia Legal Roundtable mengeluarkan Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012. Indeks persepsi ini meniru Rule of Law Index yang diterbitkan di tingkat dunia. Menurut Direktur Eksekutif ILR, Todung Mulya Lubis, secara keseluruhan Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia tidak menggembirakan. Dari skala 1-10, Indonesia hanya mendapat skor 4,53. Ternyata masyarakat masih memandang potret negara hukum Indonesia masih rendah.
Indeks tersebut menggunakan lima ukuran, yaitu: pemerintah berdasarkan hukum; independensi kekuasaan kehakiman; penghormatan, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia; akses terhadap keadilan; dan peraturan yang terbuka dan jelas.
Hukuman mati di Indonesia kini masih ada dalam draf revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, tetapi bukan menjadi pidana pokok, melainkan pidana alternatif. Argumen penyusun kitab itu, hukuman mati tidak bisa dihilangkan sama sekali di Indonesia. Tetapi akan ada pengetatan syarat, seperti pidananya sudah berjalan meyakinkan, yang divonis betul-betul bersalah dan kejahatannya sudah masuk kategori “beyond reasonable doubt” atau tanpa keraguan sedikit pun.
Para aktivis hak asasi manusia di Indonesia umumnya meminta negara menghentikan sementara (moratorium) eksekusi hukuman mati terhadap para terpidana mati, karena tak menimbulkan efek jera. Mereka berpendapat hukuman mati cenderung dipolitisasi rezim yang berkuasa untuk terlihat bekerja.
Mereka mengusulkan sebaiknya hukuman mati diganti dengan hukuman dengan waktu panjang. Sistem pemidanaan di Indonesia hanya mengenal hukuman pemidanaan terlama 20 tahun penjara. Padahal, di negara lain hukuman bisa ratusan tahun. Dengan dihukum lama, menjamin hak hidup terpidana tetap dihormati.
Enam belas terpidana mati telah dieksekusi sepanjang pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Angka itu menjadikan pemerintahan SBY mencetak rekor terbanyak mengeksekusi terpidana mati. Dilanjutkan tak kalah cepat oleh pemerintahan Jokowi yang sejauh ini telah mengeksekusi enam terpidana mati dan kemungkinan besar sepuluh terpidana mati lain.
Presiden Jokowi harus tahu, hukuman mati menuntut sistem hukum yang bersih melampaui setitik pun keraguan. Apakah hukum di Indonesia punya yang dibutuhkan?
Peradilan sesat bukan sekali terjadi di Indonesia, sedangkan nyawa manusia tak bisa tergantikan. Tak sedikit dari mereka yang menerima konsep hukuman mati pun, lantas setuju penerapannya di Indonesia, karena menyimpan kegamangan terhadap reputasi sistem peradilan di Indonesia.
Apa pelajaran dari eksekusi dengan tembak mati dan tiang gantung? Apakah itu semacam keadilan ataukah pesan bahwa hidup manusia tidak lagi selalu dianggap mulia ketika membunuhnya menjadi lebih berguna.