Jumat, April 26, 2024

Hantu Bernama PKI

Muhamad Muchlis
Muhamad Muchlis
Mahasiswa S2 di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada.
Diorama penyiksaan Pahlawan Revolusi oleh anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) di Kompleks Monumen Pancasila Sakti, Jakarta, Selasa (29/9). Untuk mengenang peristiwa Gerakan 30 September 1965 oleh PKI (G30S/PKI) setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc/15.
Diorama penyiksaan Pahlawan Revolusi oleh anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) di Kompleks Monumen Pancasila Sakti, Jakarta, Selasa (29/9). Untuk mengenang peristiwa Gerakan 30 September 1965 oleh PKI (G30S/PKI) setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

Sebuah mural bergambar palu arit dengan dasar warna merah menempel di salah satu sudut tembok kampus Universitas Jember. Tak berselang lama, dua mahasiswa yang bertanggung jawab atas gambar lambang Partai Komunis Indonesia (PKI) itu ditangkap dan diserahkan ke polisi. Mereka ditangkap bukan lantaran mengotori dinding kampus. Lambang palu arit yang mereka gambar dianggap pihak kampus sangat bermuatan politis karena berhubungan dengan “komunis”.

Tak jelas motif di balik pembuatan gambar oleh kedua mahasiswa fakultas sastra tersebut. Sebuah harian online memberitakan gambar palu arit tersebut sebagai bentuk ekspresif mereka menolak langkah Presiden Jokowi yang berencana meminta maaf kepada korban pembunuhan masal 1965-1966 (Tribunnews.com/14/8/2015). Jika memang demikian, aksi kedua mahasiswa itu telah mencerminkan bahwa penolakan terhadap PKI masih berlangsung hingga sekarang!

Aksi penolakan terhadap komunisme, khususnya PKI, bukan saja fenomena yang identik di era Orde Baru, melainkan fenomena kekinian dalam konteks kehidupan sosial-politik di Indonesia. Rasa takut, yang diselubungi perasaan benci terhadap PKI dan atau yang berhubungan dengannya, telah membentuk persepsi masyarakat Indonesia bahwa PKI adalah musuh bersama. Meski 16 tahun berlalu pasca turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan, warisan ketakutan terhadap PKI masih melekat.

Selama lebih dari 32 tahun kata PKI diasosiasikan dengan “pemberontak”, “pengkhianat”, dan “ateis”. Karena ia sebagai pemberontak dan pengkhianat, maka PKI adalah musuh negara. Karena komunis sangat lekat dengan “ateis”, maka PKI tak sejalan dengan Pancasila yang berketuhanan.

Dengan cara berfikir ini, seseorang yang dianggap sebagai “pemberontak”, “pengkhianat”, dan “ateis”, meskipun bukan simpatisan sebuah partai komunis, akan dengan mudah dikatakan sebagai PKI. Bahkan, beberapa kasus menunjukkan bahwa orang yang sama sekali tidak tahu menahu dan tidak pernah sekalipun terlibat dengan komunisme akan dengan mudah disebut sebagai PKI hanya lantaran ia dibenci. Lalu, mengapa komunisme masih menjadi hantu yang terus-menerus hidup di tengah masyarakat kita?

Komunistophobi Sebagai Warisan Orde Baru

Ketakutan terhadap komunis dapat ditelusuri dari cara rezim Soeharto menulis narasi sejarah peristiwa 1965. Peristiwa tersebut ditandai dengan penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal di Jakarta yang dilakukan oleh Pasukan Cakrabirawa pada dinihari, 1 Oktober 1965.  Pasukan bersenjata yang menamai diri mereka Gerakan 30 September (G30S) itu kemudian mengumumkan pengambilalihan kekuasaan dan rencana penyusunan pemerintahan revolusioner.

Tak lama setelah aksi G30S digagalkan tentara, Angkatan Darat mengumumkan bahwa gerakan kudeta didalangi oleh PKI. Sementara Angkatan Darat menyebarluaskan kabar itu, mereka membungkam publikasi dari pihak komunis atau golongan kiri. Angkatan Darat melancarkan propaganda dengan tujuan mengarahkan opini masyarakat agar menentang PKI. Mereka mengarang cerita mengenai pembunuhan jenderal dengan cara keji yang dilakukan PKI seperti menyayat muka para jenderal dengan silet dan memotong penis mereka. Propaganda ini tidak saja membuat rakyat membenci PKI tapi juga memperkuat dukungan terhadap militer.

Sejarawan Katharine E. Mc Greagor dalam bukunya Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia mencatat versi pertama penerbitan buku sejarah mengenai peristiwa 1965 yang dibuat oleh Pusat Sejarah ABRI. Menurut Katharine, penerbitan buku pertama yang berjudul “40 Hari Kegagalan G-30-S 1 Oktober-10 November” itu sebagian besar berisi propaganda Angkatan Darat yang bertujuan untuk membuktikan bahwa usaha kudeta adalah “persekongkolan komunis”.

Dalam pengantar buku tersebut, disebutkan bahwa kudeta komunis memiliki latar belakangnya sejak peristiwa Madiun. Tak sampai di situ, PKI digambarkan sebagai pemberontak yang telah mengkhianati kemerdekaan Republik Indonesia karena telah “menusuk dari belakang”.

Setelah Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, propaganda anti-PKI diperluas dengan pembuatan film berjudul “Penghianatan 30S/PKI”. Film produksi Perusahaan Produksi Film Negara (PPFN) yang berdurasi hampir empat setengah jam tersebut mengisahkan latar belakang kudeta PKI hingga penumpasannya oleh tentara. Ketika film ini dirilis, para siswa sekolah secara reguler diharuskan untuk menonton ke bioskop. Namun, setelah kesuksesannya di bioskop, film tersebut kemudian diputar secara reguler setiap tanggal 30 September di saluran televisi nasional TVRI hingga masa berakhirnya pemerintahan Soeharto.

Propaganda melalui pembuatan narasi sejarah turut membentuk ingatan kolektif masyarakat terhadap aksi kudeta PKI. Melalui buku sejarah, buku ajar sekolah, media film, museum, dan monumen, ingatan kekejaman PKI dilembagakan. PKI bukan hanya diposisikan sebagai pemberontak tetapi juga “musuh bersama” yang patut diwaspadai.

Membongkar Tabir Sejarah dan Rekonsiliasi

Terlepas dari narasi sejarah yang diciptakan rezim Soeharto, salah satu peristiwa pasca G30S yang tak pernah disebutkan dalam  narasi sejarah nasional Indonesia adalah pembunuhan dan penangkapan besar-besaran orang-orang yang dianggap terlibat dengan PKI. Pembunuhan massal sepanjang periode 1965-1966, seperti disebutkan oleh sejarawan Australia, Robert Crib, dalam tulisannya The Indonesian Killing of 1965-1966: Studies From Java and Bali, telah menewaskan 500 ribu hingga 1 juta simpasisan PKI. Beberapa penelitian sejarah telah mengungkap bahwa tentara dan sejumlah ormas sipil bertanggung jawab atas pembantaian itu.

Jumlah korban yang dibunuh itu lebih banyak dari jumlah korban yang ditangkap tanpa pengadilan dengan penahanan selama beberapa tahun hingga 20 tahun. Sebuah sumber mencatat bahwa ada 1.375.320 orang dengan tuduhan memiliki hubungan dengan PKI ditangkap dan dipenjarakan tidak kurang dari 10 tahun.

Sumber yang sama juga menyebutkan 34.587 orang ditahan (lebih dari 10 ribu diantaranya di asingkan ke Pulau Buru) selama lebih dari 10 tahun. Mereka yang dihukum lebih dari 10 tahun dengan tuduhan terlibat dengan G30S. Sementara itu, sisanya ada 426 orang yang divonis mati dan penahanan seumur hidup dengan tuduhan ikut berperan dalam G30S.

Ironisnya, hingga sekarang pembunuhan dan penangkapan pasca peristiwa 1965 tetap menjadi misteri. Jangankan mengusut siapa yang terlibat di dalamnya, negara justru menutup-nutupi tragedi kekejian berdarah yang paling mengerikan sepanjang sejarah Indonesia pasca kemerdekaan.

Tragedi ini bukan hanya menyebabkan kesedihan dan trauma yang mendalam bagi para korban. Mereka harus menerima kenyataan kehilangan angota keluarga hanya lantaran situasi politik yang mungkin tidak pernah dimengerti sebelumnya. Perlu dicatat bahwa banyak para korban pembunuhan dan penangkapan yang tidak tahu menahu tentang G30S. Sebagian besar dari mereka hanya “di-PKI-kan” oleh tentangga mereka sendiri yang menaruh rasa benci karena hal-hal di luar politik.

Penderitaan yang lebih menyakitkan adalah ketika para tahanan mendapat stigma sebagai “Eks-Tapol”. Selepas keluar dari penjara mereka masih harus menerima pengasingan dari lingkungan baru mereka. Cap “PKI” yang melekat tak pernah bisa dihapuskan. Eks-Tapol menjadi bagian dari”PKI” yang diasosiasikan sebagai musuh negara.

Dengan berakhirnya Orde Baru dan meningkatnya iklim demokrasi di Indonesia, negara seharusnya membuka mata atas peristiwa kelam masa lalunya. Sudah saatnya negara bertanggung jawab atas perlakuan terhadap korban peristiwa 1965, dengan cara permintaan maaf atau pemberian kompensasi. Bahkan, negara harus berani mengusut siapa aktor yang paling bertanggung jawab dalam pembunuhan dan penangkapan massal itu.

Kolom Terkait:

Bagaimana Saya Memandang Komunisme

Muhamad Muchlis
Muhamad Muchlis
Mahasiswa S2 di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.