Selasa, April 23, 2024

Dari Kedung Ombo hingga Narmada

Hertasning Ichlas
Hertasning Ichlas
Koordinator Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia
Warga melintasi Sungai Cimanuk yang telah mengering akibat dibendung untuk penggenangan Waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, Senin (31/8). Pembendungan Sungai Cimanuk dikhawatirkan dapat menyebabkan krisis air bagi ribuan masyarakat yang menggantungkan hidup dari aliran sungai, baik untuk irigasi maupun kebutuhan hidup sehari-hari terutama di musim kemarau. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/kye/15
Pembendungan Sungai Cimanuk dikhawatirkan dapat menyebabkan krisis air bagi ribuan masyarakat yang menggantungkan hidup dari aliran sungai, baik untuk irigasi maupun kebutuhan hidup sehari-hari terutama di musim kemarau. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

 

Laporan Utama The GeoTimes Magazine, Vol. 1 No. 46 (16-22 Februari 2015)

Waduk raksasa dengan risiko bencana akbar.

Dalam narasi pembangunan, waduk raksasa Kedung Ombo di Jawa Tengah dan Narmada di India bukanlah kisah pembangunan yang jaya. Hingga kini keduanya menyimpan ingatan getir perlawanan rakyat melawan negara bermula di tahun 1980-an.

Tak ada syukur atau restu rakyat terhadap inisiasi pembangunan kedua waduk itu sejak awal. Penduduk di kedua wilayah itu sama-sama tidak memerlukan keberadaan waduk. Mereka merasa hidup sudah cukup diberkahi oleh air Sungai Suter dan Sungai Serang untuk Waduk Kedung Ombo dan Sungai Narmada untuk Waduk Narmada. Pembangunan waduk dianggap proyek mercusuar yang asing dan bukan untuk mereka.

Perlawanan terbesar di Kedung Ombo datang dari alasan paling asasi. Tanah dan leluhur adalah kehidupan. Mereka tak ingin sebuah komunitas turun-temurun hilang begitu saja dari situ.

Pertentangan sengit rakyat Kedung Ombo berhadapan dengan penguasa Order Baru dengan sokongan kapital Bank Dunia. Sokongan yang sama diberikan Bank Dunia pada proyek Kanal Narmada. Meskipun kemudian Bank Dunia mundur dari kedua proyek itu.

Di Kedung Ombo, Presiden Soeharto menenggelamkan 37 desa di tiga kecamatan, Grobogan, Boyolali, dan Sragen. Tanah yang subur dan lingkungan alam musnah dalam sekejap. Sekitar 6.000 keluarga kehilangan tanah dan habitat hidup akibat pembangunan waduk itu.

Lapis demi lapis kekerasan yang disponsori negara melalui aparatnya terjadi di Waduk Kedung Ombo seluas 6.575 hektare. Mereka yang menolak diculik, dianiaya, dan ditahan tanpa pengadilan. Nestapa mereka diperparah oleh korupsi ganti rugi dari janji awalnya Rp 3.000 per meter menjadi Rp 250 per meter. Hingga kini 6.000-an keluarga kehilangan hak ganti rugi.

Pendamping warga Kedung Ombo, Romo Mangun Wijaya, Romo Sandyawan, dan Kiai Hamam Ja’far, pengasuh Pondok Pesantren Pabelan, Magelang, melukiskan situasi itu sebagai tragedi pembangunan dengan kebangkrutan moral. Mereka yang melawan secara instan dicap komunis sehingga absah untuk dihabisi.

Belakangan, setelah Soeharto jatuh, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menulis laporan bahwa kasus Kedung Ombo adalah salah satu kekerasan hak asasi paling serius di Indonesia dan belum terselesaikan.

Di Narmada, protes sosial serupa terlihat dengan model gerakan sosial yang lebih masif. Reproduksi bentuk-bentuk kekerasan dan pembangunan kesadaran menolak proyek Kanal Narmada tampil mendunia.

Film Drowned Out mengisahkan kelompok suku di Narmada melakukan aksi diam dan memilih tenggelam untuk menentang pembangunan waduk. Film dokumenter A Narmada Diary mengisahkan kisah epik perlawanan rakyat menuntut keadilan lingkungan bagi warga India yang terkena dampak langsung.

Medha Patkar, pemimpin perlawanan rakyat di Narmada bertajuk “Save Narmada Movement”, mengatakan, sebuah bendungan besar dibangun menggusur tanah dan ratusan ribu manusia, merusak ekosistem dan hutan untuk janji-janji pembangunan yang melawan kepentingan rakyat.

Arundhati Roy, penulis dan aktivis sosial India, dan penolak Waduk Narmada yang gigih menulis lirih dalam buku The Greater Common Good. Dia bilang bendungan raksasa, seperti halnya bom nuklir, adalah senjata pemusnah massal. Mengontrol rakyat dan melecehkan kecerdasan alam. Menghapus ekosistem yang menyambungkan telur dengan ayam, susu dengan sapi, pangan dengan hutan, air dengan sungai, udara dengan bumi tempat sebuah komunitas berpijak.

Kedung Ombo dan Narmada contoh gamblang bahwa waduk raksasa justru bukan jalan keluar. Pembangunan yang kontekstual berbasis konservasi yang mengandalkan kekuatan alam dan bertumpu pada apa yang dibutuhkan di daerah tersebut justru merupakan solusi yang lebih berkelanjutan.

Pembangunan bendungan raksasa cenderung membinasakan keragaman hayati. Padahal, ketersediaan keragaman hayati justru merupakan ciri-ciri kemakmuran dan menawarkan lebih banyak jalan kesejahteraan. Desentralisasi pembangunan seperti pangan dan energi seusai konteks dan kekuataan lokal, justru lebih menawarkan jalan sejahtera yang berkelanjutan.

Pembangunan waduk memang selalu punya alasan-alasan bagus dan mulia. Namun, belajar dari Waduk Kedung Ombo dan Narmada, waduk jelas bukan solusi memecahkan masalah manusia. Dampak sosial, ekologi, kerusakan morfologi tanah, dan persoalan hak asasi manusia telah memberikan bencana berkepanjangan.

Hertasning Ichlas
Hertasning Ichlas
Koordinator Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.