Ubud Writers Festival kembali menjadi perhatian. Bukan, bukan karena pada akhirnya festival itu punya manfaat buat kazanah sastra dan dunia baca Indonesia, tapi karena penyelenggara acara itu membatalkan satu sesi acaranya karena alasan keamanan. Sesi yang dimaksud adalah kegiatan buku yang berkaitan dengan peristiwa 65. Tiga program itu secara spesifik adalah diskusi panel terkait rekonsiliasi dan pemulihan, pemutaran film The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer dan pameran serta peluncuran buku The Act of Living.
Beberapa kelompok mengatakan bahwa pembatalan ini merupakan satu bentuk represi. Pendiri Festival Sastra dan Budaya Ubud, Bali (Ubud Writers & Readers Festival), Janet DeNeefe, mengatakan pihaknya telah berusaha keras berminggu-minggu untuk bernegosiasi agar sesi ini dapat terlaksana. “Tapi, sungguh mengecewakan dan menyedihkan. Setelah segala usaha kami lakukan, izin festival akan dicabut jika sesi 1965 tidak dihapus,” kata Janet.
Festival pretensius ini banjir dukungan dari banyak orang yang menganggap bahwa diskusi tentang 65 semestinya dibiarkan. Karena peristiwa 65 sudah lama terjadi dan Orde Baru sudah selesai, namun mengapa sensor dan pelarangan masih terjadi? Tentu polisi punya alasan tersendiri mengapa mereka melarang acara di Ubud Writers Festival. Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Saerah Bali Komisaris Besar Hery Wiyanto, acara itu berdasarkan laporan intelijen tak diperkenankan untuk diputar.
Ini bukan pelarangan pertama terkait peristiwa 65 atau yang membahas tentang komunisme. Di Indonesia, berkali kali acara tentang diskusi yang berkaitan dengan peristiwa 65 atau yang berbau marxisme dilarang. Tapi tidak semuanya mundur dan ketakutan izinnya dicabut. Beda ladang beda ilalang, ada yang menyelenggarakan diskusi buku untuk pencerahan, ada yang bikin acara gak jelas ketemu penulis dengan tiket berbayar mahal.
Barangkali budayawan Mochtar Lubis benar, salah satu ciri orang Indonesia adalah percaya pada takhayul. Pada ideologi yang sudah mati seperti komunisme saja kita takut dan masih dibayang-bayangi hantu komunis. Sampai- sampai segala yang berbau komunis dilarang. Pembredelan majalah mahasiswa Lentera di Salatiga, pencekalan eksil Tom Iljas di Padang, pelarangan diskusi di Ubud, merupakan bukti bahwa kita sebenarnya masih percaya pada hantu-hantu komunis yang sebenarnya sudah mati dan tak lagi punya tempat di dunia modern.
Mungkin panitia Ubud Writers bisa belajar dari Bilven Rivaldo Gultom dan Ultimus. Pada 14 Desember 2006, mereka mengadakan diskusi bersama Marhaen Soepratman tentang pemikiran kiri. Acara itu bubar tentu saja. Bilven sempat mengalami ancaman, tapi ia berani pasang badan untuk diskusi itu, meski dilarang. Ya, mungkin Bilven ini cuma gegabah saja, alias belagu. Kalau sudah tahu diskusi pemikiran bisa dikapitalkan barangkali dia akan pikir pikir untuk melanjutkan acara diskusi.
Pelarangan diskusi tentang 1965 di Ubud sebenarnya konyol. Jika memang ia dilarang oleh intelijen dan atau sebut saja berpotensi makar karena membahas ideologi terlarang, kenapa pada Frankfurt Book Fair 2015 buku tentang 1965 menjadi bintang utama? Panel-panel diskusi yang membahas karya sastra yang berkaitan dengan peristiwa 65 penuh dengan pengunjung, beberapa malah menganggap tema ini seksi, sama seksinya dengan karya sastra yang membahas holocaust.
Ini menjadi menarik karena, seperti kita ketahui, keberangkatan rombongan penulis dan penerbit ke Frankfurt Book Fair sebagian dibiayai oleh Kementerian Pendidikan. Tentu saja ia mewakili negara dan secara resmi mewakili pemerintahan saat ini. Jika di dalam negeri sendiri isu 65 masih dianggap sensitif dan dilarang, kenapa justru ketika ke luar ia menjadi tema yang paling diminati?
Oh, tentu Anda dan saya bisa tidak sepakat. Slogan Indonesia di Frankfurt Book Fair 2015 adalah “17,000 Islands of Imagination” dan kebetulan saja tema 65 banyak dibahas.
Dengan menelan dana yang tidak sedikit, sekitar 146 miliar, delegasi pemerintah berangkat ke Franfkurt untuk menjual hak cipta karya penulis Indonesia. Di Frankfurt, berbagai sudut kota dimeriahkan dengan diskusi yang dihadiri para panelis dari Indonesia. Suasana kota di Jerman ini semarak dengan pernak pernik bernuansa Indonesia, setidaknya itu yang saya tangkap dari berbagai foto yang tersebar di media sosial. Tentu juga kehadiran penulis yang karyanya membahas peristiwa 65 seperti Mbak Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak.
Tentu ada saja yang merasa bahwa peristiwa ini tak perlu dibahas dan sebaiknya dilupakan. Coba lihat betapa bersemangatnya dokter hewan Taufiq (dengan q bukan dengan k) Ismail, pengarang buku fiksi “Katastrofi Mendunia: Marxisma Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba”, yang berkobar-kobar menjelaskan ancaman Komunisme Gaya Baru. “Ideologi ini sudah bubar dan berantakan. Diketawakan orang,” katanya. Nah, kalau sudah bubar kenapa masih takut dan melarang orang membahasnya, Pak Taufiq?
Atau mungkin begini, tema 65 dilarang dibahas di kalangan warga negara Indonesia. Karena ia berbahaya membuka luka lama, tapi kalau dibahas di luar, terutama dalam forum-forum buku internasional seperti FBF, tema 65 menjadi seksi. Ini seolah menunjukan bahwa bangsa kita sudah besar, membincangkan luka masa lalu dengan semangat rekonsiliasi.
Atau memang tragedi 65 bagi bangsa ini lebih cocok dijual sebagai fiksi ketimbang fakta sejarah.