Selasa, Oktober 8, 2024

Bara di Lahan Sawit (1)

Viriya Paramita
Viriya Paramita
Wartawan, pegiat teater, dan penggemar sepakbola. Tinggal di Jakarta.
Para petani lokal mengangkut hasil panen kelapa sawit kedalam truk untuk dibawa ke pabrik di Kawasan perkebunan Batang Serangan, Langkat, Sumatera Utara. ANTARA FOTO/ Septianda Perdana

Laporan Utama The GeoTimes Magazine, Vol. 1 No. 47 (23 Februari-1 Maret 2015)

Konflik negara dan pemodal besar versus warga di posisi teratas dalam konflik terkait megabisnis perkebunan sawit.

Bisnis perkebunan sawit memang tak ada matinya. Sawit menjadi salah satu primadona pemerintah dalam menggaet devisa yang berguna dalam menambah pundi-pundi kas negara. Namun, bahwa sawit sebagai tanaman monokultur juga mendatangkan kerusakan lingkungan berupa kehancuran hutan dan ekosistemnya, termasuk mendatangkan malapetaka bagi manusia yang terkena imbas karena hak-hak mereka ditabrak, juga sulit dibantah.

Sawit, sebagaimana dibuktikan dengan data, berada di posisi puncak pemicu konflik laten dan terbuka antara pemerintah dan pengusaha di satu sisi, berhadapan dengan masyarakat lokal dan masyarakat adat di sisi lain. Bukannya menyusut, konflik ini diperkirakan makin membesar di masa datang.

Dalam rantai produksi sawit, ternyata bukan hanya negara yang diuntungkan. Banyak pihak yang juga menangguk profit dalam alur proses mata rantai bisnis komoditas menggiurkan ini. Pengamanan perusahaan sawit jelas membutuhkan biaya tidak sedikit untuk mengisi kantong para penguasa keamanan yang berada di kantor ataupun di jalanan.

Ketika terjadi konflik antara masyarakat menyangkut perjuangan merebut hak dengan pemilik modal yang menguasai konsesi lahan puluhan ribu hingga ratusan ribu hektare, bisa ditebak aparat keamanan akan berpihak ke mana. Di jalanan, aparat berseragam dan preman juga bisa menangguk “uang jalan” untuk meloloskan sopir-sopir truk pengangkut sawit yang melewati wilayah kekuasaan mereka.

Di sepanjang jalan poros dari Arso Kota ke arah Kibay, Kabupaten Keerom, Papua, misalnya, sejauh mata memandang di kiri-kanan memang hanya tampak pepohonan rindang. Tetapi bila masuk jauh ke dalam sekitar 3-4 kilometer lahan sudah berubah peruntukan dan tak tampak lagi rindangnya pepohonan. Kawasan ini didominasi perkebunan sawit. Saat ini Kabupaten Keerom dikenal sebagai daerah dengan lahan perkebunan sawit terluas di Papua.

Dalam perjalanan menuju Kibay, bisa terlihat jelas dua perkebunan besar milik PT Rajawali Nusantara Indonesia dan PT Permata Putra Mandiri yang menguasai lahan luas di kawasan tersebut. Tentu saja ada tontonan yang menarik di sepanjang jalan itu.

“Biasanya truk-truk pengangkut kayu ataupun sawit lewat sini,” kata seorang guru relawan dari Pertamina Foundation. Ia jadi hafal praktik lazim itu karena tiap akhir pekan selalu turun gunung melewati jalanan yang sama ke arah Arso, menuju rumah kontrakan sesama aktivis pendidikan. “Ketika melalui pos-pos penjagaan tentara, sopir tinggal bayar 20, 50, atau 100 ribu untuk uang jalan. Besarannya berbeda, tergantung tingkat jabatan yang jaga. Semua dibayar satu-satu sampai pelabuhan. Aman.”

info grafik sawit-47-2015-3Di Provinsi Jambi, Sumatera, aparat berseragam loreng dikerahkan untuk menghadapi konflik tak berkesudahan menyangkut konsesi perkebunan sawit antara kelompok masyarakat Suku Anak Dalam marga Batin dan PT Asiatic Persada. Masalahnya menjadi agak kompleks karena masyarakat pendatang dari Jawa dan Sumatera Utara pun bergabung untuk mendapatkan jatah lahan Suku Anak Dalam yang berada dalam konsesi PT Asiatic Persada.

Barangkali, inilah konflik terkait perkebunan sawit yang beritanya mendunia hingga sekarang. Yang pasti, konflik ini telah memakan korban. Seorang warga pendatang tewas kena hajar dan jauh sebelumnya seorang petugas keamanan PT Asiatic Persada putus tangannya ditebas parang. Konflik serupa boleh dibilang merata di provinsi-provinsi lain di Indonesia yang dimasuki para pemodal besar bisnis sawit.

Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) merilis data persebaran konflik dalam laporan “Outlook Konflik Sumber Daya Alam dan Agraria”. Dari hasil studi pada 2006-2012, perkebunan kelapa sawit berada di peringkat pertama penyebab konflik sumber daya alam dan agraria.

Konflik terkait perkebunan sawit menyumbang 118 kasus dari total 232 kasus di seluruh Indonesia. Beragam konflik terkait sumber daya alam dan agraria menyebar dari Kalimantan hingga Nanggroe Aceh Darussalam, terjadi di 98 kota dan kabupaten di 22 provinsi, dengan luas area konflik mencapai lebih dari 2 juta hektare. Setidaknya, 91.968 orang dari 315 komunitas telah menjadi korban dalam konflik tersebut.

Studi HuMa menelisik akar konflik sumber daya alam dan agraria yang umumnya didominasi masalah ketimpangan penguasaan lahan dan kekayaan alam. Ketimpangan ini bisa terjadi akibat hak atas lahan dan kekayaan alam dikuasai secara sepihak oleh negara yang berkolaborasi dengan pemilik modal. Hasilnya, ada pihak yang menjadi pemilik konsesi lahan berikut kekayaannya. Sebaliknya, di pojok lain ada masyarakat lemah yang dikalahkan dan tak berdaya melawan. Ibarat api dalam sekam, bara konflik bisa berubah dari sekadar laten kemudian terbakar menjadi manifes (terbuka) setiap saat.

Konflik seperti ini nyata terlihat dalam perkebunan sawit. Di satu sisi, ada pemodal besar yang didukung negara menikmati hasil sawit yang berlimpah ruah. Di sisi lain, ada masyarakat lokal yang dieksploitasi sebagai buruh perkebunan dan lahan leluhur mereka berganti kepemilikan menjadi konsesi sawit.

Peran negara, dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah, tak bisa dikesampingkan. Sebab, izin usaha perkebunan dikeluarkan oleh pemerintah daerah melalui perundang-undangan. Pemilik modal yang mendapatkan izin bisa dengan leluasa mengubah kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi. Keleluasaan ini kemudian bisa digunakan untuk menerbitkan pelepasan kawasan hutan menjadi tanaman monokultur, yaitu perkebunan sawit. Sebagai ganti, hutan berikut ekosistemnya yang sangat kaya pun hilang dan berganti menjadi tanaman sawit. Lenyapnya hutan berarti lenyap pula kekayaan alam yang tak tergantikan dan nilainya sulit dibandingkan dengan hanya sekadar modal investasi.

Ada hal lain yang cukup mencemaskan dari berlanjutnya ekspansi perkebunan sawit milik para pemilik modal yang menguasai jutaan hektare lahan di seantero Indonesia. Bila pola pembiaran konflik berlanjut, maka potensi eskalasi konflik diperkirakan meningkat seiring dengan ekspansi perkebunan sawit baru.

Berdasarkan hasil riset Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dan Profundo, ada 25 grup perusahaan kelapa sawit yang menguasai lahan seluas 5,1 juta hektare di Indonesia. Luasnya konsesi ini setara dengan luas setengah Pulau Jawa. Sebanyak 3,1 juta hektare di antaranya telah disesaki dengan tanaman sawit. Kelompok-kelompok perusahaan besar itu dikendalikan oleh 29 taipan yang perusahaan induknya terdaftar di bursa efek, baik di Indonesia maupun luar negeri (lihat Bencana Asap dan Balada Negeri Sawit).

Seluruh perusahaan yang disebutkan dalam riset itu kini menguasai 62 persen lahan sawit di Kalimantan, 32 persen di Sumatera, 4 persen di Sulawesi, dan 2 persen di Papua. Salah satunya Grup Austindo Nusantara Jaya, induk perusahaan Permata Putra Mandiri. Namun, kelompok perusahaan yang disebut paling besar memiliki lahan sawit adalah Grup Sinar Mas, Grup Salim, Grup Jardine Matheson, Grup Wilmar, dan Grup Surya Dumai (bersambung ke Bara di Lahan Sawit 2).

Viriya Paramita
Viriya Paramita
Wartawan, pegiat teater, dan penggemar sepakbola. Tinggal di Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.