Jumat, Oktober 4, 2024

Aksi Buruh dan Jumlah Pengangguran

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Buruh yang tergabung dalam Federasi Persatuan Perjuangan Buruh Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (FPPB KASBI) Bandung Raya berunjuk rasa di depan Gedung Sate Bandung, Jawa Barat, Selasa (24/11). Unjuk rasa dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap PP nomor 78 Tahun 2015. ANTARA FOTO
Buruh yang tergabung dalam Federasi Persatuan Perjuangan Buruh Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (FPPB KASBI) Bandung Raya berunjuk rasa di depan Gedung Sate Bandung, Jawa Barat, Selasa (24/11). Unjuk rasa dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap PP No. 78 Tahun 2015. ANTARA FOTO

Ketika kelompok buruh di berbagai tempat menggelar berbagai aksi unjuk rasa menuntut kenaikan upah minimum, di saat yang sama salah satu isu yang mencemaskan adalah perkembangan jumlah pengangguran yang cenderung meningkat. Seperti diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2015 mencapai 7,56 juta orang. Angka ini meningkat 320 ribu orang atau 0,24 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebanyak 7,24 juta orang.

Selain akibat lebih kecilnya lapangan kerja yang tercipta dibandingkan pertumbuhan angkatan kerja baru, jumlah pengangguran ini bertambah juga karena pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai daerah. Alih-alih mampu menaikkan upah minimum buruh, pada saat perlambatan ekonomi terus merebak dan daya beli masyarakat juga menurun, yang terjadi kemudian tidak sedikit pelaku usaha yang terancam gulung tikar. Di sektor industri maupun usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), ancaman gelombang PHK terjadi hampir di semua level.

Di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, misalnya, sebanyak 1.401 buruh terkena PHK sepanjang Januari-Juni 2015. Di Provinsi Jawa Timur, minimal 1.275 karyawan dari 158 perusahaan telah dirumahkan hingga Agustus tahun ini. Di Bantul, Yogyakarta, beberapa perusahaan skala menengah bangkrut, yang konsekuensinya menyebabkan ratusan karyawan kehilangan mata pencaharian. Gelombang PHK ini diprediksi akan terus terjadi di berbagai daerah sepanjang belum ditemukan solusi yang jitu atas terjadinya krisis perekonomian nasional.

Meski pemerintah sebetulnya telah meminta perusahaan menjadikan PHK sebagai pilihan terakhir, karena dewasa ini kondisi keuangan perusahaan banyak yang tidak sehat, omzet menurun drastis, dan biaya produksi yang dikeluarkan makin tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh, yang terjadi akhirnya adalah makin banyak perusahaan dan home industry yang gulung tikar.

Kehadiran para pencari kerja baru dan para pekerja yang telah terkena PHK otomatis makin menambah panjang daftar jumlah pengangguran di Indonesia. Ketika investasi lesu dan tidak banyak kesempatan kerja yang tercipta, penambahan pengangguran yang sifatnya massal ini tak pelak merupakan ancaman yang serius.

Laju pertumbuhan ekonomi yang melambat jelas bukan sinyal yang menggembirakan. Katakanlah Indonesia masih bisa mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi hingga 4,73 persen sebagaimana dilaporkan BPS, itu pun sebetulnya tetap tidak akan mampu menyerap pengangguran yang ada. Pada saat pertumbuhan ekonomi sekitar 7 persen, setiap 1 persen pertumbuhan dilaporkan bisa menyerapkan sekitar 400 ribu pencari kerja. Tetapi, ketika pertumbuhan ekonomi melambat, maka setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi yang berhasil dicapai diperkirakan hanya mampu menyerap sekitar 200-250 ribu pencari kerja.

Oleh sebab itu, bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi jika daya serap pasar kerja menurun, sementara di saat yang sama jumlah pengangguran di tanah air terus membengkak karena PHK massal.

Pemerintah Indonesia yang sekian dekade memilih strategi pembangunan yang lebih berorientasi pengembangan industri yang high tech, di satu sisi memang menawarkan efisiensi dan peningkatan daya saing di era perdagangan global. Tetapi, dari aspek ketenagakerjaan, pilihan strategi pembangunan seperti ini bukan berarti tanpa risiko.

Pertama, di berbagai wilayah, arus investasi dilaporkan memang masih ada yang masuk dan tengah dikembangkan kegiatan industri berskala menengah-besar yang cukup potensial menyerap para pencari kerja. Tetapi, karena karakteristik tenaga kerja lokal yang ada sebagian besar tidak berkeahlian dan berpendidikan rendah, maka yang terjadi biasanya adalah kesempatan kerja yang timbul cenderung hanya bisa diakses oleh pencari kerja dari luar daerah yang memang lebih berpendidikan dan berkeahlian.

Di kalangan pencari kerja yang berpendidikan tinggi dan punya kemampuan lebih, mereka memang relatif lebih mudah terserap pada pasaran kerja. Tetapi, bagi warga masyarakat yang berpendidikan rendah dan tak berkeahlian, tentu yang bisa diakses hanyalah bekerja sebagai pedagang kaki lima (PKL), petani, buruh, tukang, dan lain-lain, yang notabene adalah bagian dari sektor informal desa dan kota. Kebutuhan pasar kerja dan karakteristik pencari kerja yang missmatch ini tentu akan melahirkan persoalan tersendiri.

Kedua, selain menyebabkan diskriminasi dan memicu munculnya kecemburuan sosial, munculnya usaha-usaha berskala menengah-besar di berbagai daerah seringkali mendorong timbulnya kesenjangan sosial yang makin menyolok mata. Dalam berbagai kasus, tenaga kerja lokal acapkali hanya menjadi penonton dari kemajuan dan tidak ikut menikmati multiplier effect yang timbul akibat masuknya industrialisasi di wilayahnya. Sedangkan para pendatang, selain mengembangkan gaya hidup yang ekslusif, mereka umumnya menjadi aktor utama yang melahirkan proses suksesi kepemilikan aset produksi milik penduduk lokal.

Di berbagai daerah yang tengah dipicu proses industrialisasi, sudah bukan rahasia lagi bahwa sejumlah lahan subur di sekitar pabrik pelan-pelan mengalami proses konversi menjadi permukiman dan perkantoran. Warga lokal sendiri sering mudah tergoda oleh tawaran uang yang disodorkan para pendatang, karena tidak memahami ke arah mana perkembangan wilayah mereka akan bergulir. Padahal, ketika tempat tinggal mereka telah dibeli investor dan kemudian dibangun menjadi daerah permukiman mewah, mal atau pusat perkantoran baru, maka harga lahan di sana dengan cepat naik sekian kali lipat–yang semuanya dinikmati oleh investor, bukan oleh penduduk asli yang justeru tersingkir.

Di tengah kondisi perlambatan ekonomi, tak bisa dipungkiri banyak perusahaan dan pelaku ekonomi akan kolaps–yang ujung-ujungnya akan menyebabkan gelombang PHK yang makin meluas. Pada titik seperti ini niscaya tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah.
Berbagai paket deregulasi hingga jilid ke-7 yang dikeluarkan pemerintah, percepatan penyerapan anggaran pembangunan, dan lain sebagainya, diharapkan dapat menjadi obat yang mujarab untuk mencegah PHK massal. Tetapi, persoalannya kemudian, kapan dan seberapa jauh efek dari berbagai kebijakan itu dapat dirasakan masyarakat, khususnya mereka yang terkena PHK dan pengangguran?

Ketika penyerapan APBN dan APDB hingga November ini dilaporkan baru sekitar 60-70 persen di berbagai daerah, bahkan ada sebagian daerah yang masih kurang dari itu, bisa dipastikan pergerakan sektor riil tidak akan banyak berubah. Sementara itu, berharap investor tertarik untuk masuk di Indonesia dalam waktu dekat tentu bukan hal yang mudah. Lantas perubahan seperti apa yang bisa diharapkan dan dijanjikan pemerintah kepada masyarakat agar mereka tidak tergerus fluktuasi perkembangan perekonomian nasional?

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.