Indonesia terkenal dengan budaya sopan santun serta budaya ketimurannya. Indonesia juga merupakan Negara dengan mayoritas pemeluk agama islam terbesar ketiga didunia. Seharusnya dengan pemeluk agama sebegitu besarnya, masyarakat Indonesia menaati segala bentuk aturan agama yang berlaku. Indonesia sendiri terkenal dengan semboyan bhinneka tunggal ika yang artinya berbeda beda tetapi tetap satu jua, yang artinya perbedaan suku, ras, agama, bahasa, ataupun gender tidak menghalangi rakyat Indonesia untuk tetap bersatu. Namun bagaimana dengan pemerataan hak hak tiap warga Negara? Apakah sudah memenuhi standar yang berlaku? Apakah sesuai dengan amanat pembukaan UUD 45 alinea pertama?
Hal yang pertama harus diperhatikan adalah kesetaraan hak antara pria dan wanita di Indonesia. Walaupun termasuk satu rumpun ataupun sesama pribumi, kenyataan bahwa masih banyak penindasan terhadap perempuan serta berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuna menandai bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Indonesia yang termasuk Negara islam memegang teguh budaya patriarkal bahwa wanita harus tunduk kepada lelaki. Namun adakah ideologi bahwa wanita tidak harus tunduk kepada lelaki jika lelaki tersebut salah? Mungkin hamper tidak ada ajaran ataupun nasihat agar lelaki harus mengikuti kemauan wanita, tetapi ajaran wanita harus tunduk kepada lelaki bias ditemui dimana saja, terutama ditempat pengajian masalah agama islam.
Indonesia sebagai negara dengan adat ketimuran masih menorehkan angka yang menyedihkan tentang kasus kekerasan terhadap perempuan. Ditahun 2017 saja, ada sekitar 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun lalu yaitu sebanyak 259.150 kasus. Yang paling parah, 71 persen atau sekitar 9609 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di rumah tangga. Sungguh miris sekali mengingat keluarga adalah tameng terdepan dalam membekali anak anak perempuan mereka untuk dipersiapkan menjadi generasi unggul, nyatanya malah menjadi sarang dari kasus kekerasan.
Kekerasan terhadap perempuan juga didominasi oleh faktor ekonomi. Perempuan yang berasal dari kalangan kebawah tidak mempunyai akses yang cukup terhadap pendidikan dan kesempatan kerja, sehingga mereka menggantungkan hidup mereka lewat keluarga atau suami. Hal ini tentu membatasi ruang gerak para perempuan untuk menyuarakan pendapat, terlebih lagi dalam mengambil tindakan. Dalam pengambilan suatu keputusan, lelaki memiliki pengaruh lebih dibandingkan wanita, walaupun keputusan tersebut salah sekalipun.
Jika terjadi resistensi atau perlawanan dari pihak perempuan, akan memicu terjadinya KDRT yang mana anak anak akan terkena imbasnya. Hal senada juga terjadi dikalangan keluarga yang masih menganut konsep patriarkal dalam keluarga, dimana seorang anak perempuan tidak punya hak untuk menentukan jodohnya sendiri. Jodoh ditentukan oleh kepala keluarga, yang mana akan timbul masalah baru setelah mereka berumah tangga, karena kurangnya sosialisasi atau informasi mengenai pasangan dan keluarganya.
Kekerasan terhadap perempuan tidak mungkin terjadi jika ada pemahaman yang kuat antara kesetaraan antara hak lelaki dan wanita. Selama ini dimata kaum adam, wanita dipandang sebagai mahluk yang lebih rendah derajatnya dibandingkan lelaki, atau powerless. Ajaran agama yang memperparah tentang keharusan seorang istri agar selalu mematuhi apapun perkataan suami menjadi dorongan social bagi para lelaki untuk bertindak semau mereka terhadap kaum hawa, ataupun mengeksploitasi mereka. Jika tidak ada pengubahan pola pikir masyarakat bahwa wanita harus tunduk oleh lelaki, maka kekerasan terhadap perempuan masih akan terus berlanjut.
Salah satu alasan mengapa dominasi lelaki terhadap wanita masih terus berlanjut adalah karena negara Indonesia menganut sistem patriarki yang kuat, dimana dominasi lelaki dalam keluarga atau figur seorang ayah/suami mendominasi istri dan anak anak. Hal ini sudah berabad abad terjadi di negeri ini, bahkan sejak negeri ini belum berdiri konsep patriarki sudah membudaya di negeri kita. Baik dizaman modern maupun dizaman batu dimana nusantara masih dalam bentuk kerajaan kerajan, system patriarki telah diterapkan di nusantara, dimana bisa dilihat dari sistem turun temurun kerajaan seorang raja haruslah lelaki dan harta kekayaan kerajaan atau bangsawan/adipati jatuh ketangan anak lelaki, dan bukan perempuan. Konsep ini disebut patrilineal, dimana seorang anak lelaki mempunyai hak untuk mewarisi nama orang tuanya, harta, bahkan kedudukan orang tuanya. Lelaki seakan mempunyai hak istimewa yang tidak dimiliki oleh wanita (Gunawarti & Ajeng 2009).
Secara umum, memang konsep patriarki sah sah saja dilakukan di masyarakat. Namun, seharusnya ditentukan pula batas batas system patriarki yang berlaku, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dengan sistem tersebut, dalam hal ini adalah kaum perempuan. Sehingga ada batasan batasan tertentu yang harus dipatuhi oleh masyarakat, dan menciptakan pola pikir yang tidak semena mena terhadap lawan jenisnya. Jika manusia tidak diberi batasan atau rambu rambu larangan terhadap hak hak yang dimilikinya, manusia bisa menyalahgunakan hak tersebut, sehingga bias merampas kebebasan orang lain. Diperlukan kontrol sosial untuk membatasi antara hak dan kewajiban manusia, khususnya lelaki, sehingga tidak tercipta konsep patriarki yang menguntungkan lelaki saja, namun juga melindungi kebebasan wanita.
Sejujurnya pemerintah sudah berusaha untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan lewat RUU penghapusan kekerasan terhadap perempuan lewat komnas perempuan. Namun alotnya pembahasan lewat DPR seakan menjadi tembok penghalang terbesar akan terwujudnya keadilan bagi para perempuan. Bayangkan saja, RUU tersebut sejatinya diwacanakan mulai tahun 2015, namun sampai sekarang tak kunjung ada kejelasannya lewat tangan para anggota dewan.
Fakta yang lebih mengenaskan lagi pembahasan RUU penghapusan kekerasan terhadap perempuan tidak masuk dalam prolegnas 2015-2019. Hal itu diungkapkan lewat anggota dewan yang juga aktivis perlindungan hak hak perempuan, Rieke Dyah Pitaloka, pada hari jumat 13 Februari 2018 lewat pembahasan RUU. Menurutnya, RUU tersebut perlu segera disahkan karena kekerasan terhadap perempuan sudah mencapai 90 persen, terutama untuk para TKI perempuan. Hal ini menjadi darurat untuk segera disahkannya RUU tersebut, tandasnya
Komnas perlindungan perempuan (KPP) menilai bahwa DPR tidak mendukung adanya perlindungan terhadap hak hak perempuan, serta kebebasan kaum perempuan. DPR seharusnya bisa mengayomi masyarakat karena mereka dalah wakil yang dipilih orang rakyat dan digaji besar lewat uang rakyat, seharusnya mendukung program program yang melindungi kebebasan dan hak rakyat. Namun pada kenyataannya sampai detik ini DPR masih belum mempunyai wacana untuk memasukkan RUU tersebut kedalam prolegnas, apalagi mengesahkannya. Walaupun tindakan kekerasan bisa diadili oleh tindak pidana, kekerasan seksual tidak terdapat dalam KUHP, ataupun UU yang melindungi korban kekerasan seksual. Jika pengesahan RUU masih bejalan ditempat, bukan tidak mungkin kekerasan terhadap perempuan akan semakin bertambah, mengingat tidak adanya aturan hukum yang mengikat masyarakat tentang hal tersebut.