Jumat, Maret 29, 2024

Ustaz Abdul Somad, Masjid, dan PPKM Darurat

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Meskipun korban berjatuhan akibat Covid-19 pada tiga minggu terakhir ini, seperti diduga, ada saja yang masih berkomentar kontroversial berkenaan ditutupnya untuk sementara rumah ibadah dan masjid sebagai bentuk pelaksanaan PPKM Darurat.

Abdul Somad dikabarkan oleh media marah besar atas kebijakan ini. Dia marah karena masjid ke masjid hanya 5-10 menit selesai, sementara ke mall yang berlama tidak ditutup. Korban Covid-19 meningkat kenapa masjid yang disalahkan?

Saya kira, Abdul Somad tidak kali ini saja berkomentar soal Covid-19 dan hal terkaitkannya yang salah bahkan tidak didasarkan pada kenyataan yang sebenarnya maupun didasarkan pada argumen-argumen keagamaan. Masih ingatkan, ketika awal-awal Covid-19 menghantam Wuhan, Cina. Dengan sigap dia katakan itu pasukan Allah yang dikirim ke Uyghur. Kini dia berkomentar lagi soal PPKM Darurat yang menjadikan masjid ditutup.

Pertama, penutupan masjid dalam masa darurat ini bukan penutupan yang permanen. Jadi, masjid tidak ditutup secara permanen. Kita tahu bahwa masjid adalah tempat ibadah umat Islam, tempat salat jama’ah lima waktu, tempat berjum’atan dlsb. Namun, dalam keadaan yang seperti kita lihat, masjid untuk sementara ditutup agar tidak menjadi tempat pertemuan banyak orang.

Jadi, masjid ditutup bukan karena masjid itu sendiri, namun karena masjid adalah tempat banyak orang bertemu yang berpotensi besar menjadi tempat penularan Covid-19. Ini bukan soal berapa lama waktu yang digunakan oleh orang untuk beribadah ke masjid, apakah 5 menit, 10 menit, 15 menit sampai 30 menit, namun ini soal jika ada orang yang datang di satu tempat, bahkan meskipun mungkin waktunya tidak bersamaan, tetap akan menjadi tempat yang potensial menyebarkan Covid-19.

Jika ada salah satu yang membawa virus baik di dalam tubuhnya maupun di pakainnya, droplet yang belum mengering, itu bisa menjadi potensi penularan. Jadi, sekali lagi, soal lama dan tidak lama waktu di masjid, bukan menjadi alasan untuk membolehkan orang berkumpul di masjid. Apalagi, konon virus delta, varian baru Covid-19 ini bisa menyebar dalam hitungan detik, tidak sampai menit. Apa yang saya katakan ini argument biasa saja, argumen awam, yang mungkin Abdul Somad juga sudah tahu.

Kedua, pada sisi keagamaan, sudah banyak contoh masjid ditutup selama pandemi. Ketika Saudi Arbia sedang mengalami puncak penularan Covid-19, otoritas Saudi juga melakukan penutupan Masjid al-Haram. Bahkan ketika Masjid Haram dibuka kembali oleh Kerajaan Saudi karena dirasa Covid-19 sudah bisa dikendalikan, merekapun masih masih tidak membolehkan para jama’ah yang masih terbatas untuk menyentuh Ka’bah. Hal ini terjadi pada musim haji tahun lalu.

Di negeri yang menjadi gudang para ulama yang menjadi panutan di Indonesia, seperti Mesir, masjid, gereja dan rumah ibadah yang lain, pernah ditutup selama 5 bulan –bulan April sampai Agustus 2020. Bayangkan kalau kita, pemerintah Indonesia, meminta masjid kita ditutup selama 5 bulan, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang seperti Abdus Somad?

Jika kita kembali pada otoritas keagamaan di Indonesia sendiri, merujuk ke MUI, NU, dan Muhammadiyah, seluruh mereka meminta anggota mereka untuk tidak melakukan aktivitas di masjid yang menjadi zona berbahaya bagi penularan Covid-19. Dari segi fiqhiyyah, shalat berjamaah bisa dilakukan di rumah, shalat Jum’at pun bisa digantikan dengan shalat dzuhur di rumah.

Ingat, kalangan yang mengambil keputusan agar tidak boleh melakukan perjumpaan dan perkumpulan di masjid itu bukan hanya Indonesia, namun otoritas-otoritas keagamaan di negara lain, termasuk negara-negara Muslim yang dipandang Islami selama ini. Mereka ini antara lain Ittihad al-Alami li Ulama’i al-Muslimin (Persatuan Dunia Cendekiawan Muslim), Dewan Senior Ulama al-Azhar, Dewan Senior Ulama Saudi Arabia, Majlis al-Ifta Uni Emirat, Dar al-ifta Yordania, Diyanet Turki, Dewan Ilmiyyah di Marokko, Kementerian Waqaf Kuwait dan Qatar, Kerajaan Oman, lalu para ulama Syiria dan lain sebagainya.

Jika kita masih kurang argumen, Syaikh Utsaimin yang menjadi panutan para ulama salafi di Saudi Arabia jelas mengatakan dalam ta’liq beliau pada kitab Sahih Bukhari:

“Menutup masjid dan ka’bah dan hal yang serupa karena adanya kebutuhan maka itu tidak menjadi masalah dan jangan dikatakan bahwa ini adalah salah satu cara untuk mencegah menyebut namaNya di masjid Allah; ini sesungguhnyta adalah untuk kebaikan atau kebutuhan atau untuk darurat yang tidak permanen.”

Sesungguhnya kalau orang seperti Abdus Somad mau membuka hati dan pikiran, pasti dia dengan mudah bisa menemukan argumen-argumen keagamaan yang tidak hanya menjadi pendapat segilintir ulama di Indonesia, namun sudah menjadi pendapat ulama sejagat.

Bahkan, jika kita memakai logika fiqhiyyah, maka penutupan masjid pada saat penyebaran Covid-19 yang benar-benar tidak bisa dikendalikan itu menjadi ijma’ ulama (consensus ulama). Ijma itu bisa menjadi dasar hukum ketika di dalam usul fiqih setelah al-Qur’an dan Sunnah.

Argumen lain yang bisa digunakan adalah melindungi nyawa atau kehidupan itu hal yang sangat diutamakan di dalam Islam. Jika menutup masjid atau tempat ibadah lain memang dengan tujuan untuk melindungi kehidupan manusia, maka itu harus dilakukan. Apa gunanya masjid bagi manusia jika tidak ada kehidupan manusia. Siapa yang akan memakmurkan masjid jika kehidupan punah.

Saya kira, argumen-argumen seperti ini pasti dengan mudah diketahui oleh Abdus Somad atau oleh ustadz-ustadz dan mubaligh-mubaligh lainnya, dengan catatan, jika mereka mau sumeleh.

Tapi, yang menjadi masalah bagi saya, meskipun mereka itu pasti mengerti akan masalah ini, kenapa mereka tetap berpendapat seperti Somad? Apakah ada hal yang lebih penting bagi mereka selain dalil-dalil keagamaan, misalnya soal dendam politik atau asal tolak kebijakan pemerintah, wa allhu a’almu bi al-sawab.

Sebagai catatan, tidak semua argumen dan fakta keagamaan yang sudah jelas dan terang benderang bisa menyebabkan seseorang itu bisa menerimanya. Hal itu bisa terjadi karena di dalam diri orang ada soal lain, yakni soal politik dan soal kepentingan pribadi.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.