Jumat, April 26, 2024

Tidak Menyebutkan Kata “Agama” Bukan Berarti Agama Tidak ada

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Kementerian yang dipimpin oleh Mas Menteri Nadiem meluncurkan Peta Jalan Pendidikan 2035 dan langsung menuai pro-kontra di publik. Seperti biasanya, Majelis Ulama Indonesia, dalam hal ini Anwar Abbas, langsung bersuara memberikan kritiknya, kenapa agama tidak disebutkan secara ekplisit di dalam visi pendidikan 2035.

Tidak hanya MUI, Muhammadiyah juga memberikan peringatan agar Peta Jalan Pendidikan 2035 memasukkan kata “agama” di dalamnya. Pihak Kementerian dengan cepat memberikan penjelasan kepada publik dan juga pihak yang memprotes, Jika Peta Jalan Pendidikan 2035 ini belum final dan menempatkan agama sebagai hal yang sangat penting di dalam pendidikan kita.

Saya berusaha mempelajari dari pelbagai sumber soal soal Peta Jalan Pendidikan 2035 ini dan kesan saya ini merupakan peta yang cukup komprehensif, mencakup jalan masalah dan jalan penyelesaian yang ditawarkan untuk memajukan pendidikan kita.

Di dalam Peta Jalan Pendidikan 2035 ini ada yang disebut dengan “Visi pendidikan Indonesian 2035.” Bunyi visi ini: “membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbukan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.” Di sini rupanya letak protes MUI dan Muhammadiyah karena di dalam visi di atas tidak ada kata agama.

Saya ingin menyoroti bahwa jika dilihat dari kalimat visi pendidikan Indonesia, meskipun kata agama tidak atau belum disebutkan karena masih dalam proses penyurunan bentuk finalnya, sesungguhnya isinya adalah hal-hal yang diperintahkan oleh agama. Menjadikan rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup adalag hal yang diperintahkan dan dianjurkan oleh seluruh agama.

Bahkan, dalam perspektif Islam, pembelajar seumur hidup itu bisa dikatakan implementasi dari Sabda Rasulullah, “carilah ilmu dari lahir sampai mati.” Ini jelas pembelajaran seumur hidup. Lalu, menjadi unggul, berkembang, sejahtera, di mana semua konsep ini juga merupakan konsep yang dianjurkan oleh semua agama.

Saya kira tidak ada satu pun agama di dunia ini yang tidak menghendaki pemeluknya menjadi manusia unggul, berkembang dan sejahtera dan maju. Islam sendiri meletakkan kemaslahatan publik (maslahah) sebagai tujuan dari kehadiran Islam di atas bumi ini sendiri. Unggul itu sendiri adalah sanjungan agama bagi orang-orang yang mau mencari ilmu. Mereka yang mau mencari ilmu akan diangkat derajatnya.

Selanjutnya, frasa “berakhlak mulia dengan menumbukan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila” jelas merepesentasikan makna agama yang mendalam. Bayangkan rangkaian kata “berakhlak mulia.” Tidak ada kesan lain bagi ungkapan ini kecuali ungkapan agama belaka.

Kata “berakhlak” adalah serapan bahasa Arab, artinya perilaku. Dalam bahasa umum, akhlak sering dimaknai sebagai perilaku atau tata laku yang baik. Berakhlak yang mulai berarti bertata-laku yang luhur, tidak rendah. Rasulullah diutus kepada kita tidak lain adalah menyempurnakan kemulian-kemuliaan tata-laku manusia (li utammima makarima al-akhlak). Dengan kata lain, visi pendidikan 2035 ini pada dasarnya ikut mewujudkan misi Rasulullah SAW. Jika demikian halnya, mana sesungguhnya yang bukan dari agama itu.

Kemudian, nilai-nilai budaya dan Pancasila ini justru merupakan ungkapan yang sangat melandingkan agama dengan kehidupan kemanusiaan. Kita tahu bahwa agama itu berpengaruh pada produksi budaya (muntij al-tsaqafi) dan juga berdialog dengan budaya (muntaj al-tsaqafi). Baik nilai-nilai budaya dan Pancasila semuanya merupakan pengaruh agama.

Pertanyaan kita: “Mana yang lebih utama, apakah agama disebutkan namun tidak diperinci detilnya atau detil agamanya yang disebutkan namun kata agama itu sendiri tidak disebutkan karena semuanya adalah isi agama?”

Saya secara pribadi memandang isi visi pendidikan 2035 dari mulai frasa pembuka, tengah dan sampai akhir pada intinya adalah perintah dan tujuan agama maka konstruksi visi pendidikan 2035, menurut saya, sudah cukup. Bahkan soal keberadaan agama di dalam visi pendidikan 2035 itu diperjelas lagi dengan kalimat selanjutnya: “SDM yang unggul merupakan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nlai Pancasila itu jelas isinya adalah nilai-nilai agamis karena di dalam Pancasila ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagaimana kita bisa mengatakan tidak ada agama di sana, sementara di situ ada nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai Pancasila adalah nilai-nilai yang diilhami oleh agama.

Saya teringat dengan slogan pendidikan pada zaman Presiden Habibie. Habibie sering mengatakan kemajuan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia harus selaras dengan Imtak artinya Iman dan Takwa. Dua kata ini sangat kuat di mana-mana diucapkan oleh Presiden Habibie dan menjadi mantra bagi kita semua pada saat itu.

Dua kata Iman dan Takwa itu bukan ungkapan utuh agama, namun Iman dan Takwa adalah bahasa dan bagian penting dari agama. Tidak menyebutkan kata agama secara langsung, namun kata agama diwakili dengan kata Iman dan Takwa. Semua orang sudah tahu bahwa ungkapan Imtak Presiden Habibie saat itu adalah menginginkan bahwa pendidikan nasional kita dijiwai oleh agama. Meskipun sering diwakili oleh Iman dan Takwa, agama adalah inspirasi pendidikan nasional. Pada saat itu, semua orang sudah tahu bahwa itu adalah agama. Saya berpendapat jika rangkaian kata dalam visi pendidikan 2035 pada intinya pada dasarnya adalah rangkaian kata yang mewakili agama itu sendiri.

Memang ada sebagian dari masyarakat kita yang kurang marem (lega) jika kata agama tidak muncul secara ekplisit. Mereka perlu penyebutan formal. Bagi mereka yang memiliki aspirasi yang demikian ini juga sah-sah saja untuk diaspirasikan ke ruang publik. Namun sekali lagi saya berpendapat bahwa visi pendidikan 2035 di atas sudah cukup justru karena kenyataan sosial, politik, dan hukum kita adalah negara Pancasila, bukan negara agama. Meskipun Pancasila bukan negara agama, namun agama menjadi hal yang penting. Melaksanakan agama dijamin di negeri Pancasila ini.

Sebagai catatan, manusia Indonesia seringkali lebih menyenangi hal-hal yang bersifat formalitas. Segala hal harus disebutkan secara resmi meskipun penyebutan kata itu seringkali tidak disertai dengan pelaksanaannya. Orang bilang, kita sering berwacana, artinya kita lebih sering mengungkapkan kata daripada melaksanakan isi kata.

Mari kita semua jangan terjebak dalam ungkapan formal. Apa yang penting bagi kita adalah substansinya, isinya, kandungannya dilaksanakan.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.