Pembunuhan satu keluarga non-Muslim di Sigi beberapa waktu lau menyadarkan kita bahwa teroris ternyata masih di sekitar kita. Kejadian Sigi sulit untuk dikatakan tidak keji dan bengis. Sebenarnya yang harus kita pikirkan bukan hanya tindakan terorisme tersebut, namun sebab musabab yang menghantarkan tindakan kejam dan keji ini masih saja berlanjut sampai kini.
Sudah lama kita diingatkan oleh para ahli bahwa serangan terorisme itu tidak sekali jadi. Ada proses-proses yang mendahuluinya dan mematangkannya. Kegagalan kita dalam menganalisa dan mengantisipasi ini semua akan menyebabkan bahwa terorisme berarti kegagalan kita juga melakukan pemberantasan terorisme.
Bahkan bagi saya pribadi berpendapat, sebaiknya jika energi nasional lebih diarahkan pada hal-hal yang menyebabkan dan mengantarkan pada kejadian terorisme. Dalam teori-teori yang sudah banyak dikupas, tahapan-tahapan menuju tindakan terorisme itu adalah menjadi intoleran dulu, lalu menjadi radikal (lebih tertanam dalam pikiran dan hati mereka), dan puncaknya adalah tindakan terorisme itu sendiri.
Jika melihat kehidupan kita akhir-akhir ini, ada kecenderungan yang berkembang di wacana publik untuk memaklumi tindakan intoleransi. Tindakan intoleran kata mereka yang gemar melakukannya adalah hak mereka. Bukan dosa untuk menjadi intoleran karena menjadi intoleran itu justru sesuatu yang diajarkan oleh agama, itu klaim kebanyakan mereka. Sebagai misalnya, jika tidak mengucapkan selamat hari besar pada agama lain, mereka anggap itu bukan intoleransi, karena mengucapkan ini dan itu pada hari besar agama lain.
Bagi mereka, agama mereka bukan urusan kita, urusan mereka adalah agama mereka sendiri. Apalagi ditambahi oleh bumbu-bumbu dalil agama yang mereka tafsirkan sebagai pelanggaran akidah jika mengucapkan selamat natal, selamat waisak dlsb. Bahkan, mereka mengklaim boleh tidak mengutuk tindakan rasial asalkan tindakan itu dilakukan dengan kekerasan. Mereka tidak paham bahwa hal itu masuk ranah ujaran kebencian.
Situasi di sekitar kita memang sudah akut. Menurut banyak banyak jajak pendapat, tingkat intoleransi kita terus meningkat. Bahkan mereka yang intoleran ini memiliki latarbelakang yang bermacam-macam. Keberadaan mereka tidak lagi terbatas pada organisasi keagamaan vigilante, namun sudah meluas ke guru, pegawai negeri sipil, akuntan, dan masih banyak lagi. Mereka tidak merasa risih memiliki sikap intoleran karena banyak yang melakukannya. Guru-guru agama, ustadz, politisi dan panutan mereka di masyarakat banyak yang intoleran, toch dari mereka tidak ada yang menjadi teroris, itu klaim mereka. Kalau demikian hal, mengapa orang tidak boleh intoleran?
Saya setuju bahwa tidak semua intoleransi itu akan berakhir pada tindakan terorisme, namun hampir dipastikan bahwa mereka yang menjadi teroris memiliki pandangan intoleran. Berdasarkan studi-studi yang ada, hampir semua tindakan terorisme di Indonesia itu memiliki kaitan dengan motivasi keagamaan. Jika motivasi keagamaan sudah tertanam jauh pada level intoleransi, maka jelas bahwa hubungan intoleransi dan terorisme itu sangat dekat sekali.
Bahkan jika terorisme itu menargetkan pengrusakan, pembunuhan dan tindakan sadis yang lain, maka intoleransi tidak jarang menumbuhkan teror. Bukankah kita sering menyaksikan orang-orang intoleran menebarkan teror di mana-mana. Mereka menganggap diri dan kelompok merekalah yang paling benar. Junjungan dan pimpinan merekalah yang paling suci. Parahnya mereka mengaitkan tindakan ini dengan agama. Karenanya muncul pernyataan siapa saja yang mengritik pimpinan mereka itu berarti mengritik agama mereka.
Katakanlah, jika pemimpin yang mereka tahbiskan itu beragama Islam, namun si pemimpin sering melanggar hukum, mencaci maki orang yang berbeda dengannya, bahkan mengobarkan permusuhan pada wali amri, jika kita mengritiknya, maka pengikutnya langsung menyatakan wah itu anti Islam dlsb.
Jangan anggap intoleransi itu perkara biasa dan normal. Intoleransi itu tetap berbahasa karena dengan intoleransi itu banyak teror bermunculan. Misalnya, baru-baru ini ada kejadian dimana seorang ibu dari seorang pejabat negara diteror –bukan terorisme—oleh sebuah cabang organisasi nasional karena si pejabat itu dengan tegas mengatakan tindakan hukum pada pemimpin Ormas itu. Teror ini berbahaya karena itu seperti hukum rimba. Siapa yang kuat itu yang menang.
Memang kita tidak bisa menyerahkan semua persoalan penghilangan terorisme dan teror semata-mata pada negara. Kita harus akui bahwa negara itu memiliki batas kemampuan. Sebagai masyarakat, kita juga punya tanggung jawab. Karenanya, dalam hal ini, kita merasa bersyukur pada akhirnya Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan kutukannya atas peristiwa Sigi, meskipun agak terlambat.
Kembali lagi pada kemampuan negara, keterbatasan yang mungkin ada pada negara, namun kita perlu ingatkan Kembali bahwa keterbatasan itu tidak menghapus wewenang negara untuk memiliki hak penuh untuk penanggulangan terorisme dan teror ini. Sebenarnya, negara bisa memulainya dengan dengan cukup menegakkan hukum secara konsisten. Setiap ada gejala intoleransi yang mengancam keselamatan pihak lain atau menimbulkan kerusakan, maka proseslah masalah ini secara cepat dan tepat.
Ada kesan selama ini pihak aparatus negara ragu jika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan intoleran dan teror yang mengatasnamakan agama. Alasannya klise, mereka, para aparatus negara, tidak mau dianggap memusuhi agama mereka, karena itu stigmatisasi yang biasa disematkan oleh kaum intoleran dan teror pada diri mereka. Perasaan seperti ini harus dihilangkan dengan cara melihat damage yang disebabkan oleh pembiaran pada tindakan kaum intoleran dan teror. Resikonya, rusaknya negara, pecahnya masayakat, dan kepercayaan yang rendah pada apparatus negara.
Sebagai catatan, percayalah teror dan terorisme adalah dua hal yang harus kita perangi bersama. Terorisme dan teror adalah hasil dari perbuatan intoleran, maka untuk menghilangkan keduanya maka intoleransi harus dihilangkan. Jika kita mau hidup secara damai, maka sikap intoleransi harus dikikis habis.