Kali ini saya ingin memberi catatan terkait dengan pernyataan seorang profesor kimia dari sebuah universitas terbesar negeri di Indonesia yang merasa mensyukuri dan menertawakan pengroyokan yang dialami oleh Ade Armando lewat status facebooknya. Bahkan komen-komen profesor ini bisa dibilang agak sadis dan keji. Ketika banyak yang mengecam dan bahkan ada yang menuntutnya, profesor ini dengan enteng mengatakan bahwa dia sedang olok-olok saja, guyon. Dia merasa terdesak karena semakin banyak kalangan yang mengecamnya, dia meminta maaf, meskipun permintaan maafnya terlihat kurang tulus. Masih ada embel-embel.
Sebenarnya, saya sudah mendengar agak lama soal fenomena di kalangan sarjana dan akademisi di Indonesia yang memiliki simpati pada perjuangan politik Islam dan hal-hal yang berkaitan dengan politik identitas. Hal ini tidak hanya terjadi pada level global, tapi juga pada level nasional. Hal yang cukup menarik karena adanya asumsi bahwa mereka yang cenderung pada political Islam dan politik identitas memiliki latar belakang ilmu alam (sciences).
Tidak hanya sosok dosen dan profesor kimia yang mengajar di sebuah universitas negeri terbesar di Indonesia, namun saya melihat juga fenomena yang serupa juga terjadi mahasiswa, sarjana dan pengajar di universitas-universitas lain. Menariknya, banyak universitas yang menjadi tempat subur bagi perkembangan pemikiran yang ekstrim ini berstatus negeri, alias punya negara.
Saya ingin mengatakan bahwa fenomena si profesor ini menunjukkan bukti jika soal ekstremisme dan radikalisme keislaman itu tidak selalu terkait dengan rendahnya pendidikan dan juga ketidakberuntungan ekonomi serta politik seseorang. Sang profesor ini dan juga rekan-rekannya yang memiliki cara pandang sama rata-rata memiliki pendidikan yang sangat baik. Bukan pendidikan biasa, tapi pendidikan tertinggi. Bahkan bukan hanya dosen biasa namun dosen yang memiliki pangkat akademik tertinggi, profesor. Sebagai seorang profesor, kehidupan ekonominya juga dipastikan tinggi.
Namun sang profesor mengalami bahwa capaiannya yang tinggi ini setidak sejajar dari pikirannya yang terbuka pada perbedaan. Ilmu-ilmu yang dia pelajari yang memiliki sifat saintifik dan terbuka pada kritik tidak mampu mempengaruhi cara pandang agamanya. Bahkan, bisa dikatakan dia memiliki cara pandang keagamaan yang ingin memenangkan identitasnya sendiri. Dia tidak mau melihat pihak lain berbeda darinya. Dia ingin semua orang sama seperti dirinya. Jika ada orang lain yang tidak cocok dengan cara pandang keagamaanya dianggap keluar dari Islam.
Di sini saya ingin menjelaskan fenomena kalangan sarjana dan akademisi yang mempelajari ilmu-ilmu pasti dari sebuah penelitian yang sangat menarik. Penelitian itu dituangkan dalam sebuah artikel yang berjudul, Why are there so many Engineers among Islamic Radicals? Artikel ini ditulis oleh Diego Gambetta dan Steffen Hertog. Judul artikel itu berarti “Mengapa Begitu Banyak Insinyur di kalangan radikalis Islam.”
Penelitian itu melihat 404 orang yang terlibat dalam gerakan terorisme dari seluruh dunia, mencapai sekitar 30 negara. 196 dari 404 yang diteliti adalah mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan mereka mengentam pendidikan tinggi di 37 negara di Barat.
Dari 196 kasus ini di jurusan atau bidang apakah mereka belajar?
Penelitian menunjukkan bahwa dari 196 kasus, ada 78 orang yang belajar mesin (engineering), ada 34 orang yang belajar Islamic studies, 14 orang yang belajar medis, 12 orang belajar ekonomi bisnis, 7 orang belajar science, 5 orang belajar pendidikan, 28 orang belajar di luar subyek yang disebutkan dan 18 orang tidak diketahui secara persis apa yang mereka pelajari.
Jumlah 196 dari 404 orang yang diteliti itu cukup signifikan. Di sini bahkan bisa dilihat betapa level pendidikan yang tinggi dan juga bidang pengetahuan memiliki hubungan dengan sikap radikalisme dan ekstremisme. Atau, pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang untuk tidak berpikiran ekstrim dan radikal. Mereka ini bukan hanya intoleran namun sudah radikal dan ekstrim.
Hasil ini sekaligus membantah jika orang-orang yang ngebom, intoleran, ekstrim adalah mereka yang tidak mengenyam pendidikan. Pendidikan tinggi biasanya dicapai karena memiliki kemampuan untuk membayar ongkos pendidikan. Artinya, mereka secara ekonomi adalah orang-orang yang memiliki kedudukan ekonomi baik. Hal ini sekaligus bisa menjelaskan bagaimana seorang profesor bisa berada dalam posisi yang ekstrim dan radikal.
Di sini berarti dalam bidang yang dipandangnya sebagai urusan agama, mereka yang belajar mesir, kedokteran, dan sains, yang biasanya menggunakan logika saintifik, tidak lagi bisa demikian. Mungkin di sini urusan ilmu dlsb kalah penting dibanding urusan agama an keyakinan.
Berarti, politik identitas keagamaan lebih dipegang kuat daripada faktor-faktor yang lain seperti faktor ekonomi, pendidikan, dan hal-hal lainnya. Jika politik identitas ini mendominasi cara pandang mereka maka sangat wajar apabila mereka mudah dan cepat bersikap ketika mereka melihat bahwa agama dan keyakinan mereka terganggu.
Jika kita melihat riset di atas, maka kita tidak akan terlalu cepat mengambil kesimpulan jika tindakan sebagaimana yang dilakukan oleh Karna Wijaya sebagai hal yang biasa saja sebagai gairah keagamaan yang tidak patut dibawa-bawa ke dugaan radikal dan ekstrim.
Saya kira cara berpikir seperti ini mengingkari kenyataan bahwa memang banyak kalangan terpelajar memang karena didorong oleh semangat politik identitas yang tinggi yang mengambil jalur radikal dan ekstrim.
Saya kira kita berpikir obyektif saja atas kenyataan yang kita lihat pada sejumlah kalangan terpelajar yang radikal dan ekstrim. Lagian, masalah seperti ini bukan dilabelkan begitu saja, namun juga didukung oleh pelbagai riset yang sudah dilakukan oleh banyak kalangan.
Lebih baik kita tidak menjadi kalangan yang denial dalam menghadapi fenomena kelompok terpelajar yang berpikir radikal dan esktrim ini. Dengan tidak denial kita lebih bisa mencari jalan penyelesaian.
Sebagai catatan, pendidikan tinggi menjadi hal yang perlu dicapai untuk tujuan kehidupan yang baik, namun tingkat pendidikan yang tinggi tidak menjamin seseorang untuk tidak berpikir radikal dan ekstrim. Pendidikan tinggi dipahami sebagai satu hal dan urusan agama dan keyakinan dipahami sebagai hal yang paling penting. Agama dan keyakinan memang hal yang sangat penting bagi kita, namun lebih penting lagi jika dengan agama dan keyakinan kita, kita bisa berpikir terbuka, toleran dan tidak ekstrim.