Jumat, Maret 29, 2024

Sebab Musabab “Taliban” Begitu Ekstrim

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Minggu lalu adalah minggu yang mencengangkan kita semua, terutama masyarakat dunia. Kelompok politik-agama yang sudah tersingkir dari struktur kekuasaan Afghanistan selama kurang lebih 20 tahunan kembali mengambil alih kekuasaan di negeri multi etnik ini. Kelompok yang disebut dengan istilah Taliban ini merebut kembali Afghanistan dari pemerintahan hasil pemilu dan didukung oleh Amerika, Inggris dan negara-negara sekutunya dengan kekuatan militer.

Di tanah air, sebagaimana masyarakat terbelah dalam melihat masalah kekuasaan Taliban ini. Ada yang merasa bahagia, menyambut secara eforia, karena Taliban berhasil mengusir pemerintahan Afghanistan dukungan Barat. Mereka ini melihat Taliban membebaskan Afghanistan dari penjajahan baru. Ada yang merasa mashgul karena kemenangan Taliban ini adalah simbol kembalinya kekuasaan tiranik, esktrim, menindas hak asasi manusia, kaum perempuan dan anak terutama. Kali ini saya ingin melihat mengapa Taliban begitu ekstrim dan violent? Saya memilih menjelaskannya lewat sisi teologis.

Secara pribadi, mengikuti perkembangan penguasaan kembali Afghanistan oleh Taliban, saya melihat pelbagai siaran TV internasional, baik yang berbasis di Eropa seperti BBC, TV Prancis, TV Rusia maupun Cina, secara bergantian. Sudah barang tentu, cara pemberitaan mereka berbeda-beda, tergantung kepentingan jurnalistik mereka. Tapi ada satu hal yang mereka terus sebut yakni afiliasi teologis Taliban pada madzhab Hanafi dan Deobandi.

Lalu selanjut saya bertanya, bagaimana sebuah kelompok yang menganut madzhab Hanafi, madzhab paling rasional di dalam Islam, memerintah dengan cara yang sadis, memenjarakan perempuan sebagai misal, padahal fiqih Hanafi memberikan ruang publik yang cukup luas bagi perempuan. Ini salah satu contoh dari banyak contoh ekstrim dari governing model Taliban. Bagaimana dengan Deobandi yang di India memiliki cara pandang tajdid, tapi sampai ke kelompok Taliban menjadi begitu rigid yang hampir mendekati rigiditas kaum salafi?

Dalam sejarah perkembangan fiqih, di antara empat madzhab fiqih yang masih ada, madzhab Hanafi adalah madzhab yang terbuka karena penggunaan ra’yu (pandangan akal). Madzhab Hanafi ini memang menjadi madzhab resmi di Kawasan negara-negara Asia Selatan seperti India dan Paskitan, dan juga beberapa negara Asia Tengah. Taliban bermadzhab Hanafi karena para pendiri faksi ini memang belajar dari mata rantai keilmuan yang disemai di Darul Ulum Deoband. Darul Ulum Deoband adalah lembaga pendidikan Islam terbesar di dunia Sunni setelah al-Azhar Mesir.

Taliban yang dalam Bahasa Arab memiliki arti murid, itu terkait dengan kebanyakan madrasah di Pakistan. Banyak madrasah dan perguruan Islam yang merupakan kepanjangan dari madrasah Deoband. Besar kemungkinan, dari sisi sejarah ini, nama Taliban digunakan karena mereka, para pendiri, tokoh dan aktivis Taliban adalah para murid atau santri dari madrasah Deoband.

Syaikh Waliyullah Dehlawi (1703-1762), seorang sufi dan sekaligus sarjana besar Muslim dari kawasan Asia Selatan adalah bapak spiritual Darul Ulum. Deoband sendiri merupakan kota kecil di wilayah provinsi Uttar Pradesh, di India. Sebagai lembaga pendidikan, Darul Ulum memiliki tiga tujuan penting pendiriannya; 1) memajukan peranan agama dalam kehidupan pribadi dan umum, 2) bebas dari penindasan baik oleh kaum kolonial maupun diktator dalam negeri 3) kesederhanaan (simplicity) dan kerja keras. Para tokoh lulusan Deoband ini memiliki sumbangan besar dalam pembebasan India dari kolonialisme Inggris.

Lalu bagaimana dengan Taliban?

Ada ungkapan yang menarik bahwa setiap orang Afghanistan adalah seorang Deobandis (every Afghan is a Deobandi). Setelah Pakistan menjadi negara sendiri pada tahun 1947, cabang-cabang Darul Ulum Deoband banyak didirikan di seluruh negeri ini. Sentuhan politik bertambah pada Deoband Pakistan karena konteks Pakistan sebagai negeri baru saat itu. Mereka mulai melihat kasus-kasus penindasan masyarakat Muslim di India seperti Kashmir. Madrasah Deoband Pakistan ini banyak berdiri di wilayah perbatasan Pakistan-Afghanistan. Jadi, wajar apabila orang-orang Afghanistan banyak yang belajar di sini dan termasuk sebagian besar yang kini menjadi pemimpin Taliban.

Sebagai murid dari Deoband, Taliban merupakan gambaran kontradiktif dari madrasah Deoband itu sendiri yang berpusat di India tadi. Darul Ulum Deoband dikenal sebagai pembaharu dan mengutamakan ajaran-ajaran sufistik. Bahkan cenderung rasional karena aliran kalam mereka adalah Maturidi yang agak dekat Mu’tazili.

Sementara Taliban di Afghanistan dalam operasi politik dan pemerintahan mereka cenderung dekat pada model al-Qaeda dan Jama’ah Islamiyah bahkan dari segi kekerasan dan brutalitas atas nasib perempuan dan anak itu mendekati ISIS, meskipun Taliban tidak akur dengan ISIS. Ternyata hal ini bisa terjadi. Menurut beberapa analisis, karena Taliban ini belajar Islam lebih banyak di Madrasah Deoband yang berada di Pakistan, yang berbeda dengan Deoband pusat di India. Mullah Omar, tokoh utama Taliban, misalnya belajar di Darul Ulum Haqqania, Peshawar, Pakistan. Meskipun lembaganya Darul Ulum, para pengajar mereka di Pakistan, banyak juga datang dari kalangan Wahhabi dan Mujahidin.

Apa yang saya kemukakan di atas mungkin salah satu penjelasan saja yang mungkin luput dari pembicaraan masalah Taliban di negeri kita ini. Dominasi Barat–Amerika dan Inggris—terutama mungkin bisa menjadi penjelas euforia keberhasilan Taliban kali ini dan itu boleh saja. Misalnya Taliban berhak mengatur negeri mereka sendiri, tanpa intervensi dari pihak kolonial baru, Taliban adalah model kemenangan syariah Islam dan lain sebagainya.

Meskipun awal kemunculan Taliban itu lebih merupakan moral force untuk memerangi penguasa Mujahidin yang korup dlsb, tapi kita tahu bahwa Taliban, secara teologis, sejak kemunculannya itu juga menjadi masalah bagi kelompok telogis Afghan yang lain. Pendek kata, pendekatan sosial, politik dan macam-macam lainnya, itu memang bisa menjadi penjelas namun tetap itu tergantung kita melihatnya dari titik pandang yang mana.

Sisi teologis, menurut saya adalah cara pandang yang cukup lumayan. Bagaimana melihat Taliban dari sisi ajaran-ajaran yang mereka anut, sumber-sumber dan pengajar-pengajar yang mereka rujuk dlsb. Bagi saya, corak penafsiran syariah yang violent dan ektremis dari Taliban lebih mudah dijelaskan lewat ini daripada lewat penjelasan-penjelasan lain. Hal ini disebabkan karena Taliban, sebelum menjadi kekuatan kontra rezim syah yang didukung Amerika dan Inggris, sudah memiliki cara pandang yang esktrim dan violent.

Bahkan, pada awal-awal kelompok ini muncul dan mereka kerjasama dengan pihak Amerika, pandangan esktrim dan violent sudah bersama mereka. Karena asumsi yang mengatakan bahwa Taliban itu esktrim dan violent karena invasi Amerika dan Inggris, itu tidak benar. Mereka sudah menginternalisasi sikap extrim dan violent sebagai bagian dari karakter Taliban.

Sebagai catatan, saya setuju jika Taliban adalah fenomena yang kompleks, namun saya tidak setuju jika fenomena yang komplek menghapus kenyataan bahwa mereka menjalan pemerintahan syariah versi mereka yang merugikan umat manusia Afghan yang lainnya.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.