Di dunia media sosial, terutama twitter, nama Tengku Zulkarnain mestinya sudah sangat populer. Setiap tweetnya selalu di-share dengan semangat oleh kawan maupun lawan. Kini, dalam rekaman ceramahnya, dia hujat banyak kalangan karena dinilai telah melakukan ujaran yang berbau rasisme.
Tengku Zulkarnain membanding-bandingkan gaya ustadz Sumatera dan gaya ustadz Jawa. Perbandingan ini oleh sebagian kalangan dianggap merendahkan ras Jawa dibandingkan ras Sumatera. Bahkan ada yang mengatakan jika perbandingan itu berpotensi memecah belah.
Sebenarnya, selain ceramah Tengku Zulkarnain di atas patut disesalkan, namun secara pribadi, saya melihat hal-hal lain seperti tweet-tweetnya terdahulu yang lebih kontroversial yang mungkin lebih menarik untuk diperhatikan. Banyak tweet-tweet Tengku Zul yang tidak didasarkan pada pengetahuan yang benar yang mendisinformasi masyarakat.
Sederet kontroversi Tengku Zulkarnain menjadikannya layak untuk untuk dipanggil oleh MUI. Tapi mungkinkah itu terjadi? Ada dua alasan bagi saya mengapa Tengku Zulkarnaen (Ayah Naen) pantas dipanggil MUI?
Pertama, secara formal, Ayah Nain adalah tetap Wakil Sekjen MUI. Ke mana-mana, status sebagai Wasekjen MUI tetap melekat dengan dirinya. Media-media juga masih menyematkan jabatan itu pada diri Tengku Zul. Kenyataan lain, banyak kalangan yang merasa percaya kepada ceramah-ceramahnya justru karena menyematkan diri jabatan sebagai Wasekjen MUI Pusat pada dirinya.
Kedua, apabila dilihat dari segi pernyataan-pernyataan Ayah Nain di Medsos maupun di ceramah-ceramahnya, MUI memang merasa layak untuk membuat klarifikasi atas beberapa kontroversi yang dia hasilkan.
Idealnya, sebagai Wasekjen MUI, Tengku Zulkarnain seharusnya menghadirkan pernyataan-pernyataan yang mencerminkan posisi MUI. Kita tahu bahwa posisi MUI yang selama ini MUI katanya di banyak kesempatan adalah sebagai tenda umat Islam. Fungsi sebagai tenda ini harusnya tercermin pada seluruh pengurus MUI, tak terkecuali pada diri Tengku Zulkarnaen.
Apakah MUI rela apabila salah satu pengurus terasnya justru memerankan peran kontroversial? Saya kira MUI sebagai lembaga ulama kredibel semestinya tidak akan membiarkan itu terus terjadi.
Ketiga, sebagai organisasi keagamaan yang dihormati oleh banyak kalangan termasuk pemerintah, MUI perlu menjaga reputasi organisasi dengan cara memantau pernyataan-pernyataan pengurusnya yang berkaitan dengan visi dan misi MUI.
Jika seseorang bersedia menjadi pengurus MUI, maka sudah wajar apabila seseorang itu menjaga visi dan misi MUI. Visi dan misi dakwah MUI adalah menyatukan, mengayomi dan menyampaikan tausiyah-tausiyah keagamaan yang moderat.
Bukankah MUI secara resmi dalam taglinenya menyatakan untuk memperjuangkan Islam Wasatiyyah? Islam Wasatiyyah adalah Islam jalan tengah, Islam moderat, dan Islam yang tidak menyulut permusuhan apalagi mendorong rasisme.
Dari tiga alasan di atas, saya menganggap bahwa Tengku Zulkarnain patut dipanggil dan dijadikan obyek dakwah dari MUI itu sendiri. Masalahnya, kapan Tengku Zul itu dipanggil oleh organisasi induknya sendiri sebagaimana jika ada mubaligh atau penceramah yang kontroversial dan banyak memberikan informasi yang salah tentang ajaran agama Islam dipanggil oleh MUI.
Jika MUI membiarkan apa yang selama ini dilakukan oleh Tengku Zul, dengan tidak mengklarifikasi (tabayun) dan memperbaiki (islah), maka jangan salahkan jika ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa MUI berbuat tidak adil karena ada pengurusnya yang terus menerus melakukan dakwah yang dianggap memecah umat yang itu selama ini menjadi hal yang dari tujuan MUI yang mempersatukan umat.
Mungkin saja MUI sudah memanggilnya, namun kenapa Tengku Zul tidak berubah-ubah, tetap saja Tengku Zul yang seperti kita lihat dan baca, berselancar dalam dunia kontroversi di Medsos.
Memang terkadang Tengku Zul minta maaf atas pernyataannya. Namun permintaan maafnya tidak sebanding dengan jumlah kontroversi yang diproduksinya. Apakah hal seperti ini tidak disadari oleh MUI sebagai induk organisasinya akan menggerogoti kewibawaanya.
Saya tahu bahwa memang harus dibedakan Tengku Zul sebagai pengurus MUI dan sebagai pribadi yang berhak bebas. Kalau demikian halnya, maka kendali seharusnya ada pada pihak MUI. Tadi, apakah MUI rela memiliki pengurus pentingnya yang terus menerus berkontroversial atau bagaimana?
Saya membayangkan hubungan yang ideal antara perilaku individu yang bebas dan perilaku individu yang menjadi pengurus MUI. Jika seorang individu masuk secara sadar ke dalam sebuah organisasi, maka separoh badannya tidak bisa dilepaskan dari visi dan misi organisasi tersebut. Kebebasan masih ada, namun tidak sepenuhnya bebas, karena ada komitmen keorganisasian. Di sini mestinya diletakkan pada prinsip-prinsip utama yang dikembangkan dan dianut oleh MUI. Hal demikian mestinya berlaku pada semua pengurus MUI tanpa terkecuali.
Jika Tengku Zul menyadari bahwa perilaku dirinya itu sebagian besar dianggap mencerminkan perilaku MUI, maka dia harus bisa menjaga kebebasan dirinya untuk disesuaikan dengan prinsip-prinsip yang harus dipegang di dalam MUI. Kecuali, MUI memang sudah melepaskan begitu saja apa yang dilakukan oleh Tengku Zul.
Saya mengemukakan pendapat yang seperti di atas karena komplen yang muncul di kalangan masyarakat berkaitan dengan pernyataan-pernyataan dan tindakan-tindakan Ayah Naen selalu dikaitkan dengan MUI. Salahkah masyarakat menilai seperti demikian? Menurut saya tidak salah.
Pertama, karena pada dasarnya status sebagai Wasekjen memang masih melekat pada diri Tengku Zul. Kedua, belum terlihat oleh masyarakat luas akan tindakan peringatan MUI pada Ayah Naen. Jika MUI menanggap bahwa mereka sudah melakukan peringatan pada Tengku Zul dan masyarakat tidak perlu tahu akan hal itu. Maka, sekali lagi masyarakat tetap boleh dan berhak menganggap bahwa MUI membiarkan Tengku Zulkarnaen seperti itu karena pada dasarnya memang mereka belum pernah tahu ada tindakan itu.