Kamis, April 25, 2024

Protes Soal Libur Maulid Digeser

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Pemerintah memutuskan kembali menggeser libur Hari Besar Keagamaan (HBK). Belum lama ini libur Maulid Nabi yang harusnya jatuh pada tanggal 19 Oktober 2021 digeser ke tanggal 20 Oktober 2021. Keputusan ini diprotes, antara lain oleh Cholil Nafis, salah satu pengurus MUI dan Hidayat Nurwahid seorang tokoh dari PKS.

Keduanya berpandangan jika menggeser tanggal libur hari besar keagamaan menurut mereka sudah tidak relevan dan tidak bijak, apalagi Covid-19 sudah mulai mereda. Alasan pemerintah menggeser hari libur HBK untuk menghindarkan dampak yang akan terjadi akibat libur nasional.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang sudah dilalui, lonjakan kasus baru selalu muncul setelah pelaksanaan hari libur. Sebenarnya tidak selalu hari libur keagamaan, namun juga hari libur yang lain. Dalam bahasa agama, pergeseran hari besar keagamaan ini bisa disebut sebagai bagian dari upaya untuk memajukan kemaslahatan publik.

Tugas pemerintah memang memikirkan agar hal-hal buruk yang akan terjadi pada rakyatnya tidak benar-benar terjadi. Dalam konsep Islam, tindakan atau kebijakan pemimpin pada rakyat itu didasarkan pada kebaikan atau maslahah. Dalam bahasa Arab diungkapkan,

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة

Dalam hal ini pemerintah atau imam-negara boleh memiliki pertimbangan yang mereka pikirkan akan menjadi penyelamat bagi rakyat mereka. Pihak MUI atau sebagian umat Islam mungkin memandang jika angka kasus baru Covid-19 sudah turun secara drastis. Aktivitas publik juga sudah mulai berjalan. Jadi, bagi sebagian mereka, pergeseran libur hari besar keagamaan itu tidak harus dilakukan. Tanggal libur hari besar keagamaan itu memang harus mengikuti hari besar keagamaannya. Itu klaim mereka.

Nampaknya, pihak pemerintah mungkin memiliki cara pandang lain yang lebih kuat bahwa jangan sampai kasus baru yang sudah sangat menurun ini akan melonjak lagi, karena efek dari hari libur. Pemerintah takut kasus akan berulang dan itu akan mengembalikan keadaan yang sudah mulai membaik ini menjadi memburuk lagi.

Untuk mencapai keadaan seperti yang kita alami sekarang ini tidaklah mudah. Saya menjadi paham mengapa pihak pemerintah terus memperpanjang PPKM agar keadaan memang benar-benar mendekati normal. Dalam konteks ini saya harus mengakui jika PPKM yang diterapkan kali ini ternyata memang cukup efektif dan manjur mengurangi kasus baru.

Hal yang mungkin perlu dipikirkan berkenaan dengan pergeseran hari Maulid itu sendiri adalah soal peringatan Maulid secara keseluruhan di negeri kita. Kegiatan peringatan Hari Lahir Rasulullah itu diperingati secara panjang. Sudah menjadi tradisi kita di Indonesia, sejak dahulu, peringatan Maulid Nabi itu minimal dilaksanakan pada tanggal 1 sampai 12 pada bulan Maulid atau bulan Rabiul Awal.

Di beberapa tempat seperti Jakarta, misalnya, peringatan Maulid Nabi dilaksanakan tidak hanya terbatas di seluruh bulan Maulid, namun juga bisa dilaksanakan ke bulan-bulan berikutnya. Maulid Nabi adalah perayaan yang sangat meriah di negeri kita. Tidak hanya di Indonesia, Maulid juga diperingati dengan meriah di negeri-negeri Muslim lainnya.

Di Indonesia, hari lahir Rasulullah diberi libur, namun hal yang perlu kita ingat, kegiatan Maulid tidak terbatas pada hari lahir Rasulullah saja. Karenanya, pihak pemerintah harus turun lebih dalam lagi dan mengajak dialog dengan para ulama, pemimpin masjid dan musholla di lapangan, agar kegiatan peringatan Maulid Nabi selama bulan Maulid ini atau selama bulan-bulan berikutnya tetap terlaksana dengan aturan PPKM.

Jadi, tugas pemerintah tidak hanya sebatas pada persoalan pergeseran hari libur Maulid, namun juga memikirkan hal dan tradisi yang sudah berlaku dan mengakar di lingkungan masyarakat Muslim selama bulan Maulid ini. Jika hanya menggeser hari libur saja, namun justru kegiatan selama bulan Maulid ini tidak dipantau dalam perspektif protokol kesehatan, maka ini dikhawatirkan bisa menimbulkan peningkatan kasus baru.

Jika peringatan hari raya itu terjadi sehari dua hari sampai seminggu, maka peringatan Maulid Nabi berlangsung jauh lebih panjang. Dari sisi pertemuan-pertemuan seperti pembacaan riwayat Nabi di masjid dan musholla dan juga pengajian-pengajian akbar memperingati Maulid itu, berdaya jangkau ekstensif dan meluas.

Aktivitas-aktivitas masyarakat Sunni Indonesia untuk memperingati hari lahir Rasulullah ini memang sudah mandarah-daging di dalam masyarakat. Ada sebagian kecil kalangan yang menolak, yaitu kalangan salafi-wahhabi yang menganggap peringatan Maulid Nabi sebagai hal bidah, namun pandangan ini tidak populer di Indonesia.

Karena begitu mengakarnya peringatan Maulid dalam bentuk pengajian dan juga kumpulan-kumpulan, serta kegiatan-kegiatan lain, dalam hal pemerintah harus bisa mencari solusi dan jalan keluar yang bisa diterima oleh semua pihak.

Jika memang dikhawatirkan akan menimbulkan lonjakan baru kasus Covid-19, maka pemerintah wajib untuk mengambil inisiatif dan tindakan agar rakyat terhindar. Dalam bahasa agama ada kaidah yang berbunyi, “menghindarkan dari kerusakan lebih didahulukan daripada menarik atau mengambil manfaat.”

Katakanlah memperingati Maulid Nabi secara jamaah sebagaimana yang dilakukan itu bisa mengambil manfaat, namun jika dengan gerakan jamaah memperingati Maulid Nabi itu menimbulkan bahaya, maka antisipasi atas timbulnya bahaya itulah yang harus didahulukan.

Saya setuju dengan kebijakan pemerintah atas pergeseran hari libur keagamaan. Namun, agar tidak terjadi kesalahpahaman, pihak pemerintah harus juga benar-benar bisa berlaku konsisten dan adil dalam menjalankan kebijakan seperti ini.

Hal keagamaan di negeri kita ini biasanya sangat sensitif dan potensial untuk dipolitisasi. Artinya, pihak pemerintah harus menerapkan hal yang setara untuk hari keagamaan agama-agama lain juga. Jika ada perbedaan perlakuan, maka harus ada alasan yang kuat, yang diutarakan secara terbuka. Jika tidak, maka hal itu bisa menimbulkan anggapan di kalangan masyarakat bahwa pemerintah melakukan tindakan pilih kasih.

Intinya di sini sebenarnya adalah jika alasan dan bukti-bukti nyata itu bisa dihadirkan, maka masyarakat akan bisa menerimanya.

Sebenarnya saya melihat kasus yang berkaitan dengan keagamaan di negeri kita ini lebih banyak diwarnai oleh unsur politiknya daripada unsur keagamaan yang murni itu sendiri. Jika pemerintah mengeluarkan satu perkara kebijakan, terutama yang bersinggungan dan berkaitan dengan hal ikhwal keagamaan, oleh pihak yang selama ini memang selalu tampil mengeritik pemerintah apapun isi kebijakan itu, maka suara mereka selalu memandang kebijakan pemerintah sebagai hal yang buruk.

Sebagai catatan, sebenarnya apa yang dilakukan pemerintah itu bukan mengganti Hari Libur Keagamaan, namun hanya menggeser liburnya saja. Itu pun dilakukan untuk kepentingan umum kita bersama. Hari Lahir Rasulullah tetap tanggal 12 Rabiul Awal (Maulid) bertepatan dengan tanggal 19 Oktober untuk tahun ini dan semua umat Islam mengetahui akan hal itu. Liburnya saja tidak pas hari itu karena pertimbangan pandemi. Jika masalahnya seperti itu, kenapa kita harus selalu protes terhadap kebijakan tersebut?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.