Sabtu, April 27, 2024

Persekusi atas Ahmadiyah dan Pergeseran Radikalisme di Daerah

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Peristiwa penutupan Masjid Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat, belum lama ini adalah persekusi yang sekian kali dialami oleh Ahmadiyah dalam periode kepemimpinan Pak Jokowi. Sudah bisa ditebak, tidak ada reaksi yang membela hak-hak warga negara Indonesia yang Ahmadis ini terutama dari pihak negara.

Ketika peristiwa yang hampir sama terjadi pada Ahmadiyah di Garut beberapa waktu lalu, reaksi dari pihak negara hampir tidak terdengar. Tadinya saya sangat berharap bahwa pemerintahan Pak Jokowi pada periode kedua ini menuntaskan segala masalah yang berkaitan dengan kelompok minoritas keagamaan. Tentu harapan saya tidak berlebihan, karena pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan yang kuat dan ditopang oleh cara pandang yang terbuka. Namun harapan ini belum sepenuhnya bisa terlihat sampai saat ini.

Pasca pembubaran HTI dan FPI, tadinya banyak orang berharap bahwa ini tanda-tanda bagi kehidupan keindonesiaan bebas dari ancaman instrusi ideologi yang mengancam pluralisme, toleransi dan harmoni. Memang, pasca pembubaran HTI-FPI, gerakan ekstremisme dan radikalisme keagamaan hampir bisa dikatakan berkurang besar. Dan beberapa kalangan minoritas Islam saat itu mengatakan secara pribadi kepada saya bahwa itu sangat bermanfaat bagi mereka. Hal ini terutama terlihat di Jakarta, ibu kota, yang dijadikan sebagai center stage of movement bagi gerakan-gerakan yang berorientasi pada supremasi formal Islam.

Tetapi, benar juga, pendapat sebagian kalangan bahwa pembubaran HTI dan FPI dan mungkin juga ormas-ormas yang perjuangan mereka mirip dengan keduanya, tidak akan efektif seratus persen untuk menghapus gerakan mereka. Organisasi memang ambruk, namun orang dan ideologi yang dianutnya masih hidup. Bahkan, organisasi mungkin tidak terlalu penting bagi mereka, karena organisasi justru menyebabkan mereka tidak bisa bergerak. Bagi mereka, gerakan tanpa organisasi adalah pilihan utama.

Jika boleh saya menganalisa, persoalan Ahmadiyah di Sintang ini merupakan hasil gerakan anti Ahmadiyah yang tidak terlalu menonjolkan aspek organisasi nasional. Mereka cukup mengatasnamakan Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang. Jelas, bentuk aliansi ini sebagai strategi yang menyamarkan. Dengan sebutan aliansi ini mereka berusaha membawa kesan bahwa semua organisasi Islam di sana berada di belakang gerakan mereka, padahal mungkin tidak demikian adanya.

Cukup dengan pergerakan dan narasi besar bahwa Ahmadiyah dilarang oleh pemerintah melalui SKB 3 Menteri tahun 2008, itu sudah hal efektif bagi mereka. Orang-orang yang anti Ahmadiyah ini cukup melontarkan gagasan mereka yang menolak masjid Ahmadiyah untuk didengarkan oleh tokoh-tokoh lain dan juga pemerintah setempat. Saya melihat ini sudah diujicobakan di Garut dan berhasil dan kini kembali lagi di Sintang.

Ada kenyataan bahwa gerakan ekstremisme dan radikalisme keagamaan sekarang ini menyasar di daerah sebagai panggung mereka. Gerakan di daerah ini memang strategis bagi mereka karena jauh dari sorotan publik. Jika ada narasi yang mencoba mengungkap mereka seperti yang dilakukan oleh NGO-NGO besar di Jakarta atas tindakan mereka, maka resonansi tidak terlalu terdengar.

Kasus penutupan masjid Ahmadiyyah di Sintang secara geopolitik memang agak mengganjal. Daerah ini, sebagaimana dilansir oleh media-media, dipimpin oleh wakil bupati non-Muslim. Beberapa kali wakil bupati juga memberikan janji verbal yang diberikan kepada kelompok Ahmadiyah bahwa mereka boleh membangun masjid mereka di Sintang.

Namun ternyata ketika masalah ini meledak, tetap saja kalangan Ahmadiyah tidak berdaya, kalangan minoritas lain juga tidak terdengar pembelaan mereka. Akhirnya, pemerintah lokal juga tidak kuasa untuk menolak penggembokan masjid Ahmadiyah. Wakil Bupati Sintang memang mengatakan sikap netralnya, namun sikap netral dalam kondisi seperti ini tidak efektif apabila tidak dibarengi dengan memberikan perlindungan pada hak-hak keagamaan warga Ahmadiyah yang dijamin konstitusi.

Pada umumnya pemerintah daerah memang mengalami kesulitan dalam menangai kasus Ahmadiyah. Hal itu disebabkan oleh adanya SKB 3 Menteri. SKB ini ternyata menjadi alat untuk menekan hak-hak keagamaan kaum Ahmadiyah. Penegak hukum juga menggunakan SKB 3 Menteri ini sebagai landasan mereka bertindak. Bahkan, ketika menghadapi tekanan kelmpok anti Ahmadiyah, tidak jarang mereka mengatakan sebaiknya Ahmadiyah kembali ke jalan yang benar, sebaiknya Ahmadiyah bertobat dan masih banyak lagi.

Lalu bagaimana nasib untuk warga Ahmadiyah selanjutnya? Setelah bertahun-tahun diberlakukan, nampaknya, SKB 3 Menteri bukan jalan permanen bagi penyelesaian bagi warga Ahmadiyah. Dulunya, para pengusul dan pendukung SKB 3 Menteri ini –termasuk Kyai Ma’ruf Amin–menganggap bahwa jalan ini bisa menjadi solusi baik bagi Ahmadiyah maupun bagi kelompok anti Ahmadiyah.

Namun kenyataan yang terjadi, kelompok Ahmadiyah semakin terpojok menjadi individu-individu yang terkungkung di rumah mereka, karena seluruh ruang publik keagamaan tertutup bagi mereka, sementara kelompok anti Ahmadiyah semakin berjaya. Sedikit-sedikit mereka akan menggunakan SKB 3 Menteri sebagai senjatanya.

Saya berharap pemerintah melakukan evaluasi atas SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah ini. Coba dievaluasi isi SKB ini dan tinjau dari perspektif konstitusi dan juga hak asasi manusia. Saya kira ini adalah momen yang tepat bagi Pak Jokowi untuk melakukannya. Selain itu, kini dua kementerian inti dari penerbitan SKB ini dipimpin oleh tokoh-tokoh yang progresif. Kementerian Agama yang dipimpin oleh Gus Yaqut dan Kementerian Dalam Negeri dipimpin oleh Pak Tito Karnavian. Sudah saatnya Pak Jokowi mendukung kedua beliau ini untuk melakukan peninjauan ulang atas SKB 3 Menteri di atas.

Hal itu juga sekaligus ingin membuktikan bagaimana pernyataan-pernyataan Menteri Agama yang ingin melakukan afirmasi atas kelompok minoritas. Jika serius itu dilakukan, maka usulan peninjauan SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah adalah hal yang sangat tepat.

Saya paham, usulan ini pasti akan mendapat tantangan, dan terutama dari kyai Ma’ruf yang kini menjawab Wapres. Tapi, jika suara Jokowi bulat untuk melihat kembali SKB 3 Menteri ini maka siapa pun akan terlewati karena wewenang tertinggi memang di tangan beliau, Presiden.

Sebagai catatan, jika tidak ada peninjauan atas SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah, maka saya yakin bahwa urusan Ahmadiyah tidak akan berhenti. Karenanya, saya mengusulkan bahwa cara penyelesaian yang dibutuhkan saat ini adalah bagaimana hak-hak kewargaan Ahmadiyah untuk menjalankan keyakinan mereka dilindungi dan itu bisa terjadi apabila, salah satunya, SKB ditinjau.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.