Saya menghimbau kepada Pak Jokowi agar mengikuti jejak kaki (foot-step) Gus Dur dalam mengelola dan mengarahkan hubungan agama dan negara sebelum terlalu jauh menuju arah jejak Erdogan. Hal ini saya kemukakan pada pemerintahan Jokowi di periode kepemimpinan kedua Jokowi. Di sini, ada kecenderungan pergeseran kebijakan yang berkaitan hubungan agama dan negara. Kehadiran agama di ruang publik pada Pak Jokowi ini pelan namun mengalami peningkatan.
Memang secara kasat masa, Pak Jokowi sering dianggap melemahkan Islam. Anggapan ini tidak benar karena pada masa Jokowi inilah sesungguhnya terjadi institusionalisasi syariah yang cukup mapan. Agenda-agenda pelembagaan syariah mendapat akomodasi yang cukup penting dalam agenda kerja Jokowi terutama dalam periode keduanya.
Beberapa contoh yang bisa saya kemukakan di sini misalnya adalah pelaksanaan sertifikasi halal yang sekarang merupakan mandatory (kewajiban). Karena ini merupakan kewajiban maka sertifikasi halal harus diperoleh bagi mereka yang memproduksi segala macam barang. Bahkan sertifikasi halal pada era Jokowi ini bergerak tidak hanya pada barang-barang tapi juga untuk jasa. Karena dukungan kebijakan negara, para aktivis dan pengusaha berlomba-lomba mengembangkan usaha-usaha jasa syariah. Iklan-iklan tourisme dan juga hotel syariah bisa kita jumpai dimana-mana.
Belum lagi dukungan negara pada upaya-upaya untuk memajukan ekonomi syariah di Indonesia yang sangat terlihat pada era Pak Jokowi. Masih banyak contoh dimana pelembagaan syariah pada masa Pak Jokowi itu terjadi. Apalagi kini Jokowi didampingi seorang ulama yang memang sudah lama menjadi tokoh yang memajukan implementasi syariah di Indonesia melalui ekonomi syariah dan ekonomi halal.
Pada satu sisi, langkah-langkah Jokowi ini mungkin merupakan harapan bagi sebagian umat Islam, namun saya melihatnya justru sebagai setback (kemunduran) bagi Jokowi. Dulu kita berharap bahwa Jokowi menjadi pemimpin kita yang memiliki pandangan yang jelas dan clear soal pengelolaan hubungan agama dan negara.
Kita berharap bahwa Jokowi menempatkan agama atau syariah sebagai spirit dan semangat, bukan melembaga dalam lembaga-lembaga formal. Kita dulu berharap bahwa agama merupakan spirit of morality saja, bukan menjelma menjadi kantor-kantor dan program-program kelembagaan negara seperti yang kita lihat pada kantor-kantor bank, perusahaan keuangan dan penyelenggara halal.
Kita berharap Jokowi paling tidak bisa mempelajari dan mengambil langkah-langkah yang pernah di tempuh Gus Dur. Pada kasus Prancis beberapa waktu lalu, Pak Jokowi nampaknya lebih dekat cara pandangnya pada model Erdogan dibandingkan pada cara pandang Gus Dur. Ketika kasus monitor terjadi, yang melibatkan Arswendo Atmowiloto sebagai pembuat perangkingan di mana Nabi Muhammad berada di posisi jauh lebih rendah dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain bahkan Suharto sendiri, Gus Dur melakukan respon dengan cara seimbang.
Ungkapan Gus Dur saat itu adalah kasus monitor itu kasus gila dan sekaligus gila kasus. Disebut oleh Gus Dur sebagai kasus gila karena hanya orang gila yang membuat perangkingan seperti ini dan disebut dengan gila kasus karena kasus seperti ini dijadikan sebagai alat demonstrasi, menggugat dan menimbulkan ancaman bagi kelompok minoritas. Jokowi mengambil langkah Erdogan, mengutuk Prancis tanpa mengutuk pembunuhan atas seorang guru.
Jika zaman dulu Gus Dur berani menolak intervensi Lasykar Jihad, dengan cara mengusir tokoh-tokohnya yang menghadapnya di Istana Merdeka karena Lasykar Jihad memaksakan kehendak agar Gus Dur melakukan apa yang mereka usulkan, intervensi agama pada urusan agama. Jokowi, terlihat sejak awal, cenderung menghindari masalah-masalah seperti ini. Bahkan dalam beberapa hal, Jokowi cenderung bersikap kompromistis dengan tokoh-tokoh yang mempromosikan supremasi agama di ruang publik.
Jokowi memang beda dengan Gus Dur. Pada satu sisi, mungkin kita bisa paham pada posisi Jokowi yang memang lemah dalam hal isu-isu yang berkaitan dengan relasi agama dan negara. Namun, pada sisi lain, selemah apapun, Jokowi adalah seorang pemimpin kita, yang memang kudhu berani mengambil pelbagai kemungkinan resiko yang harus ditanggungnya. Misalnya, soal kepulangan Habieb Rizieq Shihab ini, yang dulu pergi ke Saudi untuk beberapa lama karena kasus hukum yang menimpanya.
Seorang Pak Jokowi ditunggu sikap apa yang akan diambil dalam masalah seperti ini. Jika beliau berani, maka beliau, maka Pak Jokowi akan menjalankan perintah hukum dimana kasus-kasus hukum yang menimpa Habib Rizieq Shihab akan diselesaikan berdasarkan hukum kita yang berlaku. Jika terjadi kompromi, maka jalan kebijakan Presiden Jokowi, sekali lagi, agak jauh dari cara Gus Dur.
Hubungan agama dan negara memang hal yang harus lebih dalam diperhatikan dan dipahami oleh Pak Jokowi karena masalah ini adalah masalah penting sekali bagi kelanjutan kita dalam hidup berbangsa dan bernegara. Saya yakin Pak Jokowi memperhatikan hal ini, namun satu hal yang mungkin bisa diambil oleh Pak Jokowi adalah mempelajari dan meneladani langkah-langkah Gus Dur, presiden pendahulu, dalam mengurusi masalah bagaimana menjaga negara ini dalam kerangka Pancasila dan demokrasi.
Pak Jokowi jangan sampai kendor dalam masalah ini karena persoalan pragmatisme ekonomi dan politik yang itu belum tentu beliau rasakan langsung manfaatnya. Sebagai Presiden, Pak Jokowi harus berpikir lebih pada kepentingan nasional, kepentingan menjaga sustaibilitas negara bangs aini dengan cara memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan dan kenegaraan kita.
Sebagai catatan, agenda yang menginginkan supremasi agama atas negara nampaknya akan berjalan terus dan intensitasnya semakin meninggi ke depannya. Jika Pak Jokowi tidak mengambil peran yang lebih besar dalam masalah-masalah seperti ini, seperti arus syariatisasi yang semakin established, maka Pak Jokowi akan dikenang sebagai Presiden kita yang ikut memberikan andil pada penguatan syariah di ruang publik kita.