Dalam masa wabah seperti ini, banyak “ijazah” doa tolak balak yang kembali dibacakan di lingkungan kita. Salah satunya adalah syi’ir “li khamsatu utfi biha,...”
Syi’ir yang dikenal banyak orang di Jawa, karena zaman dulu sering dilantunkan, “pujian” sebelum shalat wajib ini adalah ijazah dari Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Sebenarnya saya menerima saja dan juga mengamalkan shalawat tersebut.
Namun, beberapa waktu ini, saya melihat tulisan di media sosial yang mulai memperdebatkan beberapa hal, antara lain di akhir syi’ir itu pada bait kedua, apakah yang benar wa al-fatimah (pakai artikel definite al) atau hanya tertulis wa fatimah (tanpa al).
Lalu, juga pertanyaan dari sebenarnya rujukan ijazah Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari di atas, apakah bersanad atau tidak? Bersanad maksudnya adalah apakah sampai pada Rasulullah Muhammad doa tersebut? Ingat bahwa silsilah itu sangat penting di kalangan NU.
Pada mulanya saya menikmati perdebatan tersebut. Namun, karena beberapa hari ini saya juga sedang menulis sebuah artikel dalam bahasa Inggris tentang peranan masyarakat sipil dan kapasitas negara dalam penanggulangan Covid-19. Karenanya, saya juga ingin melihat narasi Islam Indonesia tentang pandemik dan wabah itu seperti apa sebenarnya dan tertarik untuk menelisik lebih jauh.
Dalam kesempatan riset lewat internet –netnografi–, saya mendapatkan buku yang ditulis oleh Hazrat Mirza Ghulam Ahmad–pendiri Ahmadiyah—yang berjudul Defence Against the Plague (Dafi‘ul-Bala’i wa Mi‘yaru Ahlil-Istifa’, judul bahasa Arab). Buku ini asalnya ditulis dalam bahasa Urdu, pertama diterbitkan pada tahun 1902 M.
Di dalam buku ini, saya membaca kutipan syi’ir “li khamsatun utfi biha harra al-bala’ al-khatimah #al-mustafa wa al-murtadla wa abnahuma wa al-fatimah”, memakai al juga. Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menceritakan bahwa dalam keadaan pandemi semua orang-kelompok dalam Islam, Sunni, Syiah dan sebagainya–berdoa baik dalam bentuk shalat maupun doa.
Beliau juga berkunjung ke lingkungan Syiah di mana di pintu-pintu rumah mereka ada tulisan syi’ir di atas. Hazrat Mirza mengatakan bahwa guru beliau waktu masa kecil adalah seorang Syiah dan guru ini sering mengatakan bahwa satu-satunya jalan untuk mengobati epidemi adalah dengan cara tawalla dan tabarra’ pada Ahlul Bait.
Menurut cerita Hazrat Mirza selanjutnya, ketika di Bombay terjadi wabah pertama kali, maka orang-orang Syiah pada mulanya menganggap bahwa wabah ini merupakan mukjizat Imam Husein karena wabah tersebut hanya terjadi pada komunitas Hindu yang sedang berkonflik dengan komunitas Syiah. Namun ketika wabah tersebut juga menyerang komunitas Syiah, panggilan untuk Imam Husein berhenti (lihat h. 9).
Berdasarkan buku Hazrat Mirza di atas, maka syi’ir “li khamsatun…dan seterusnya” di atas juga populer di kalangan masyarakat Syiah di India. Lalu saya tidak berhenti di sini, namun berusaha menelisik terus.
Sumber Sunni dan Syiah
Lalu apakah syi’ir ini disebutkan juga di dalam kitab-kitab yang lain? Menurut beberapa tulisan di media sosial, syi’ir tersebut juga ditemukan kutipannya di dalam sumber-sumber lain sebagaimana disebut dalam tulisan-tulisan di media sosial.
Menurut informasi sahabat saya, Kyai Ahmad Ishomuddin, dalam status Facebooknya (31 Maret 2020), bahwa Badiuzzaman Said Nursi–guru sufi dari Turki-menuliskan syi’ir ini di kitabnya yang al-Mulahiq fi Fiqh al-Da’wah al-Nur. Ketika membaca nama Said Nursi yang ada dalam benak saya adalah beliau banyak menulis karya-karyanya dalam bahasa Turki, bukan bahasa Arab.
Benar, setelah kitab ini saya lihat, judul aslinya adalah Lahikalar, penerjemahnya adalah Ihsan Kasim Salihi. Saya berhasil melacak edisi 6 dari kitab ini yang diterbitkan Sozler Publcations yang berpusat di Nasr City, Cairo. Jika dilihat halaman 81 dari kitab ini, Said Nursi mengutip syi’ir ini dalam rangka menjawab pertanyaan Sayyid Ra’fat –di mana di dalam kitab ini tidak dikemukakan pertanyaannya, yang ada hanya judul Hawla Ali al-‘Iba’.
Ada dua hal yang dijawab oleh Said Nursi pada Sayyid Ra’fat dalam kesempatan ini, namun saya akan kemukakan di sini jawaban kedua saja yang memuat kutipan syi’ir tolak balak di atas. Syi’ir tersebut diletakkan dalam konteks hadis Nabi riwayat dari Aisyah yang berkaitan dengan ayat “innama yuridullah liyadhaba al-rijsa ahl al-baiti wu yutahhirukum tathira,” (Sesungguhnya Allah menghendaki untuk menghilangkan kotoran para ahlil bait dan Allah mensucikan dengan kesucian, al-Azhab, al-Ahzab 33).
Kita tahu bahwa ayat itu diperebutkan oleh ulama Sunni dan ulama Syiah tentang siapa yang dimaksud di Ahlul bait dalam ayat ini. Ibnu Katsir panjang lebar mengulas ayat ini. (Lihat Ibn Katsir dalam Tafsir Ibn Katsir, Jilid 11, Cetakan Mu’assah Qardoba, 2000, h. 154-161).
Hal yang menarik di sini adalah Said Nursi meletakkan syi’ir tolak balak di atas untuk di bawah konteks kesucian ahlul bait (lihat al-Mulahiq h. 81). Di sini ada catatan kaki dan saya memiliki kesan bahwa catatan kaki ini tidak dibuat oleh Said Nursi langsung namun mungkin oleh penerjamah dan editor kitab ini.
Pandangan saya ini berdasarkan redaksi catatan kaki yang berbunyi, “warada fi Majmu’at al-ahzab al-Kamusyakhanawi juz 2 sahifah 5050 fi al-du’a daf’ut ta’un” (Syi’ir tersebut juga ada di dalam kitab Majmu’at al-ahzab yang dikumpulkan oleh al-Kamusyakhanawi juz 2 halaman 505 tentang doa tolak balak).
Dalam kitab Said Nursi ini Syaikh Syaikh Diya’uddin Ahmad bin Mustofa bin Abdurrahman (w. 1311 H) ini disebut dengan al-Kamuusyakhanawi saja, ada wawu–tulisan yang benar al-Kamsyakhanawi, tidak ada wawu. Kitab yang merupakan kumpulan hizib tarekat al-Syadziliyyah, pendirinya Qutb Abi Hasan al-Syadzili ini, dikaitkan dengan alasan keberlangsungan sanad syi’ir di atas tidak dijamin sepenuhnya.
Kitab Majmu’at edisi al-Kamusyakhanawi yang berjuz dan berhalaman lebih dari 500 yang dikutip di dalam al-Mulahiq karya Said Nursi berbeda edisinya dengan edisi Majmu’at al-ahzab cetakan Book Publisher, Lebanon, yang jumlah halamannya 448.
Memang ini syi’ir ini ada dalam kitab Majmu’at al-ahzab tariqat Syadzaliyyah, namun hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa syi’ir “li khamsatun…dst ini berpangkal pada Qutb Abi Hasan al-Syadzili, namun lebih dari itu bisa juga memuat interpretasi lain yakni bisa jadi itu didapatkan oleh Qutb Abi Hasan al-Syadzili dari sanad ahlul bait.
Hal itu saya kontraskan dengan bacaan saya atas Majmu’at Awrad wa Ahjab al-thariqah al-naqsyahbandiyyah di mana saya menemukan Syi’ir “li khamsatun utfi biha…”. Di dalamnya juga (lihat Majmu’at Awrad wa Ahjab al-thariqah al-naqsyahbandiyyah dimana Majmu’at Awrad wa Ahjab al-thariqah al-naqsyahbandiyyah (dikumpulkan oleh Syaikh Ahmad Diya’uddin Afandy, w. 1311 H) di halaman 333, dalam anak bab yang berjudul, “Hizbun li Daf’in al-Tha’un wa al-Waba’ wa Kullu al-‘ilal (Hizib untuk menolak pandemik dan wabah dan semua penyakit).
Dalam rangkain hizib itu memang dimulai dengan syi’ir di atas, namun dalam syi’ir ini tidak ada penjelasan tentang darimana doa ini berasal. Karena tidak ada keterangan sumber dari doa ini, maka sangat sulit untuk mengatakan bahwa syi’ir tolak balak ini berasal dari lingkungan ulama Sunni.
Namun, jika kita baca silsilah tariqat Naqsyabandiyyah yang dijelaskan di dalam Majmu’at ini, di mana di tiga figur terakhir adalah Syaikh Hasan al-Basri, lalu Sayyidina Ali dan terakhir adalah Abu al-Qasim, Muhammad Rasulullah. Di sini, ada jalur Sayyidina Ali, di mana jalur ini memberikan ruang penafsiran jika syi’ir “li khamsatun …dst, bisa saja bersumber dari tradisi yang dekat dengan Sayyidina Ali r.a (lihat Majmu’at hal. 13-14).
Mari kita lihat juga kitab yang berjudul Masadir al-dirasat al-islamiyyah, al-aqa’id wa al-adyan wa al-madhahib al-fikriyah al-qadimah wa al-haditsah, jilid 2, (cetakan Dar al-kutub al-ilmiyyah, 1971). Saya kutipkan pendapat yang dirujuk pada al-Fatawa al-Radlawiyyah dalam kitab ini (hal. 960), sebagai berikut:
“Inna tartiba al-aghwas yubda’u bi ‘Aliy, wa anna Aliyya yadfa’u al-bala’ wa yaksyifu al-karub, wa min du’aihi:
“Nada ‘Aliyya mudhiral al-‘aja’ib #tajidhu awnan laka fi al-nawa’ib”.
“Li khamsatun utfi biha harra al-waba al-hatimah# al-mustafa wa al-murtadha wa abnahuma wa al-fatimah”.
“Sesungguhnya urutan berdoa itu dimulai dari Ali dan sesungguhnya Ali itu menghilangkan bala’ dan menyingkap kesedihan”.
“Panggillah Ali penampak keajaiban #maka engkau temukan pertolongan bagimu dalam segala bencana itu”.
“Bagiku ada lima hal yang aku gunakan untuk mematikan wabah yang panas #al-Mustafa dan al-Murtada dan kedua anak laki-lakinya dan Fatimah.”
Pertama, sumber dari kutipan Masadir al-dirasat al-islamiyyah, al-aqa’id wa al-adyan wa al-madhahib al-fikriyah al-qadimah wa al-haditsah adalah al-Fatawa al-Radlawiyah.
Alhamdulillah saya berhasil mendapatkan kitab ini dan di dalam al-mabhas al-awaal (pembahasan yang pertama) dijelaskan siapa Syaikh Ridla Ali Khan pemilik kitab ini. Dia lahir di Kandahar, Afghanistan pada 1857 M dan keluarganya pindah ke India. Ayahnya bernama Naqyu Ali bin Ridla bin Kadzim Ali bin A’dzam Syah bin Saad Yar al-Afghani al-Barilawi, salah seorang ulama besar madzhab Hanafi yang lahir 1830 M.
Guru Syaikh Ridla Ali Khan adalah kakeknya, Syaikh Mufti Ridla Ali Khan, lalu belajar dengan ayahnya sendiri, lalu belajar ke Alsyah Ali Rasul al-Marahrawy dan dia menjadi Imam Tarekat Qadirriyah dari Alsyah Ali Rasul ini. Lalu belajar ke Syaikh Abu al-Ali al-Ramafuri (1885), ulama terkenal di India pada zamannya, lalu belajar ke Alsyah Abu Hasan Ahmad al-Nuri (1883 M), ulama India juga, lalu belajar ke Syiakh Ghulam Qadir Bek Luknow, India pada 1917M, lalu belajar ke Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan al-Syafi’i al-Makky pada 1881 (guru para ulama Nusantara), lalu belajar ke Syaikh Abdurrahman Syiraj Mufti Muzdhab Hanafi Mekkah, 1883 M dan belajar kepada Syaikh Husein bin Shalih Jamal al-Lail al-Makki pada 1884, ulama seumurnya.
Namun oleh kalangan Wahhabi Syaikh Ahmad Ridla Ali Khan al-Barilawy ini dianggap sebagai ulama Syiah yang taqiyyah, menyembunyikan identias kesyiahannya. Hal ini misalnya bisa dilihat dalam Kitab Mau’suat al-farq al-muntasabah li al-Islam al-durarur al-sunniyah, al-matlab al-sani usratuhu, hal. 361.
Namun menariknya lagi, kitab al-Fatawa al-Radlawiyah ini mendapat pengantar dari Mufti Hanafi Pakistan, Abdul Aziz al-Hanafi. Lihat Ahmad Ridla Khan, al-Fatawa al-Radlawiyyah, Cet. Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1971.
Dari ini kita bisa tahu beberapa kemungkinan bahwa syi’ir “li khamsatun” itu dikenal di kalangan Syiah dan Ahmad Ridla Ali Khan al-Barilawy yang bermadzhab Hanafi mungkin saja mendapatkannya dari bacaan dia tentang tradisi Syiah.
Bagaimana dengan Hadratus Syaikh Hasyim al-Asyari, jelas di dalam silsilah gurunya Ahmad Ridla Ali Khan al-Barilawy, terdapat Syaikh Zaini Dahlan yang menjadi guru para ulama Nusantara yang belajar di Mekkah.
Kedua, dari segi isi syi’ir “li khamsatun…’ mengindikasikan tradisi yang juga dianut oleh kalangan Syi’ah. Mari kilat lihat. Apa yang dimaksud dengan al-Mustafa adalah Rasulullah, al-Murtada adalah Sayyidina Ali, wa abnahuma adalah Hasan dan Husein dan wa al-Fatimah adalah Fatimah.
Titik Temu
Saya tidak tahu kebenaran akhirnya, ini semua hanya hasil bacaan saya, namun diskursus tentang syi’ir ini benar-benar membantu kita untuk kembali melihat pertemuan (encounter) antara Sunni dan Syiah dan kemungkinan adanya mutual exchange antara ulama kedua paham besar Islam ini.
Mungkinkah kita bisa mengambil titik-titik temu yang lainnya. Mungkin saja, asal ada driving force behind discourse. Masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia sesungguhnya adalah kelompok yang paling dekat untuk bertemu dengan tradisi Syiah.