Jumat, Maret 29, 2024

Merusak Makam Kristen, Sinyal Bahaya Perilaku Intoleran Anak-Anak

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Peristiwa yang membuat hati kita nelongso datang dari Solo. Ada sejumlah anak, rata-rata di bawah usia 12 tahunan, merusak pemakaman orang yang berbeda agama. Jumlah makam yang dirusak tidak hanya satu atau dua namun puluhan.

Pada satu sisi, kita sadar bahwa tindakan ini masih dilakukan oleh anak-anak, namun pada di sisi lain, tindakan seperti ini berbahaya justru karena yang melakukannya adalah anak-anak. Kejadian ini sebenarnya sama sekali tidak diinginkan oleh siapa saja, termasuk orang tua mereka, namun apa kata itu benar-benar terjadi. Apa hal yang menyebabkan sampai anak-anak melakukan tindakan seperti itu? Apakah ini inisiatif murni yang datang dari pemikiran mereka sendiri atau merupakan suruhan atau ajaran orang lain? Apakah ini ada kaitannya dengan hasil indoktrinasi sebuah paham atau bagaimana?

Sudah barang tentu pihak berwajib sedang mempelajari motif apa dibalik peristiwa itu dan kita menunggunya. Semoga pihak berwajib bisa mengungkapkan motif apa yang di balik itu semua.

Jika boleh berefleksi, menggunakan anak untuk melakukan perbuatan yang memiliki motif keagamaan bukan hal baru di dunia ini. Menggunakan anak-anak memang hal yang sangat potensial dan memungkinkan. Usia mereka masih sangat dini mudah sekali dijejali dengan informasi-informasi baru apalagi yang bersifat doktrinal. Penggunaan anak sebagai sarana atau senjata peperangan menurut UNICEF mengalami kenaikan dari masa ke masa. Menurut data UNICEF, di dunia ini ada sekitar 27 juta anak yang dipaksa keluar sekolah untuk berperang. Mereka ini menjadi target dan juga menjadi terekspos kekerasan.

Pada tahun 2017, organisasi Boko Haram (kaum militan di Nigeria) menggunakan 135 anak untuk menjadi pelaku bom bunuh diri (suicide bombers). Hal ini mengalami 5 kali peningkatan dari tahun sebelumnya 2016.

Di Somalia, pada 2017, ada sekitar 1800 anak yang direkrut untuk terlibat dalam perang. Di Sudan Selatan, anak-anak dikerahkan juga untuk menjadi pasukan perang (army group), sejak tahun 2013. Jumlahnya tidak sedikit, ada 19,000.

Bagaimana dengan ISIS?

Menurut sebuah laporan, anak yang terlibat dengan ISIS sebagai generasi pelanjut mereka sekitar 10,000 yang tersebar di Syiria dan Iraq. Menurut film pendek PBS, dalam Children of ISIS, anak-anak ini mengaku mereka memang dilatih untuk berperang. Di kamp-kamp ISIS mereka diajarkan hanya dua, listening and obeying, mendengarkan dan mematuhi.

Pengakuan anak-anak ISIS, mereka memang dilatih untuk berkomitmen pada kekerasan. Bahkan kekerasan seperti membunuh orang kafir adalah hal yang memang benar-benar ditekankan. Mereka ini diajak menonton video-video di mana di video-video itu anak-anak menjadi pelaku bom bunuh diri. Mereka, anak-anak ISIS ini, tidak hanya diajak nonton sekali, namun berkali-kali, sampai timbul keinginan mereka untuk melakukan hal yang sama sebagaimana anak-anak yang mereka tonton.

Pekerjaan seperti yang ISIS tidak bisa dilakukan kecuali melalui indoktrinasi sekali dua kali. Menurut pengakuan anggota ISIS, mereka bisa menjadi anak berjihad karena mereka melukan indoktrinasi yang intensif pada mereka. Jadi, usaha mereka memang benar-benar dilatar belakangi oleh keyakinan dan motif yang sangat kuat sehingga tidak ada kata mundur bagi anak-anak itu untuk tidak melaksanakan perintah membunuh ISIS.

Jumlah-jumlah di atas itu baru sebagian. Masih masih banyak lagi yang terjadi di tempat-tempat lain.

Kita sudah barang tentu tidak mau memiliki anak-anak yang terdoktrin seperti children of ISIS. Namun bagaimana kita bisa agar anak-anak kita terhindar dari nasib seperti children of ISIS, jika dari kita semua tidak memberi perhatian seksama bagi mereka ini. Apalagi jika masih ada di antara kita yang berpikir jika peristiwa di anak-anak yang merusak makam orang-orang Kristen dianggap sebagai perbuatan biasa dari anak-anak.

Akhirnya, orang-orang ini lalu menganggap anak-anak masih jauh lah dari kondisi anak-anak di Negeria, Somalia, Syiria dan lain sebagainya. Bahkan jika masih ada anggapan jika memperhatikan sikap intoleran anak-anak dianggap sebagai upaya peneguhan atas sikap pemerintah saat ini yang mereka anggap anti perbedaan.

Segala sesuatunya memang bermula dari kecil. Tidak ada sejarah kelompok besar yang dimulai dari besar. Pasti segalanya dari kecil. Katakanlah peristiwa anak-anak Solo ini hal kecil, lalu apakah yang kecil ini tidak diperhitungkan agar mereka tidak akan menjadi besar.

Perhatian pada peristiwa anak-anak Solo yang merusak makam ini bukan hanya penting, namun kita juga bisa mengungkap siapa yang berada di balik mereka. Sebagai anak-anak mereka tidak akan memiliki ide merusak makam orang yang berbeda agama tanpa ada pihak yang mengajarkannya.

Anak-anak kita adalah anak-anak yang setiap saat masih berada di lingkungan keluarga mereka. Pasti, jika ada hal ganjil yang menimpa mereka, mereka akan segera mendapatkan peringatan dari orang tua mereka.

Artinya, secara normal, jika ada sikap intoleransi yang terjadi pada anak kita, itu masih dengan sangat mudah untuk diingatkan. Ini sebenarnya yang saya maksud agar kita benar-benar memberi porsi dan perhatian pada peristiswa-peristiwa kecil yang mengindakasikan sikap intoleransi mereka, maka kita masih dekat untuk merengkuh dan memeluknya. Kita tinggal mencari aktor di balik anak-anak itu. Aktor-aktor ini bisa ditemui di sekolah, di pondok-pondok, atau tempat-tempat lain. Early warning adalah hal yang lebih mudah dan murah bagi kita dibandingkan menunggu mereka benar-benar tumbuh di lingkungan intoleran.

Sebagai catatan, kita semua tahu bahwa kita sudah masuk jangkauan ISIS dan juga gerakan-gerakan ekstremis lainnya. Anak-anak adalah masa depan kita dan kita tidak mau jika anak-anak kita tumbuh di lingkungan pendidikan, guru dan orang tua yang intoleran. Riset-riset nasional kita juga sudah mengindikasikan lama jika radikalisme dan terorisme sudah merambah dan menarget anak-anak.

Sekali lagi, semoga kita tidak sampai ke arah itu, namun sekedar berhati-hati dan waspada adalah hal yang sangat penting.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.