Rabu, Mei 1, 2024

Mengapa Begitu Terobsesi dengan Penyatuan Hari Raya?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Mestinya perbedaan hari raya tidak sampai menimbulkan hal-hal yang bersifat polarisasi itu terjadi. Kita sudah melaksanakan hari raya dengan dua tanggal masehi yang berbeda dan itu berjalan dengan baik. Kenapa persoalan ini masih mengundang kontroversi? Inilah masalah yang tersisa pasca lebaran.

Masalah itu terkait dengan pernyataan Thomas Djamaluddin di media sosialnya mengaku heran dengan Muhammadiyah yang tidak taat kepada pemerintah terkait penentuan Hari Raya Idulfitri 1444 Hijriah, tapi ingin menggunakan lapangan untuk Shalat Idulfitri. Jelas di sini Thomas menyebut Muhammadiyah, yang dianggap tidak mengikuti hasil Sidang Isbat Pemerintah (dalam hal ini dipimpin oleh Kementerian Agama), dianggap tidak berhak minta difasilitasi pemerintah.

Parahnya, pernyataannya di media sosial itu memicu sebuah komentar yang berbau kekerasan dari seorang peneliti BRIN yang dikenal dengan nama AP Hasanudin. Isi komennya sangat jelas bahasannya, “Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda kalender Islam global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang!!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian.”

Pertanyaan yang sudah lama sekali mengendap di otak saya adalah, mengapa kita atau sebagian dari kita begitu terobsesi dengan kesatuan Hari Raya Idulfitri?

Mari kita telusuri masalah ini secara terbuka dan mencoba menggunakan perspektif yang lebih luas.

Pertama, akar dari perbedaan penentuan hari raya adalah metodenya. Sudah lama sekali, di kalangan ulama, bahkan ulama abad pertengahan, cara menentukan hari raya itu terbelah menjadi dua; yakni penentuan melalui perhitungan astronomis yang dikenal dengan istilah hisab dan penentuan melalui penglihatan langsung dengan mata. Saya tidak masuk pada persoalan wujudul hilal, imkanur rukyat dan lain sebaainya, karena istilah-istilah seperti itu pada dasarnya disebabkan oleh kedua metode atau cara di atas.

Dalam konteks kita di Indonesia, Nahdlatul Ulama memakai metode ru’yah dan Muhammadiyah memakai metode hisab (perhitungan astronomis). Masing-masing memiliki dasar atau argumen keagamaan. Kita sebagai umat Islam seharusnya sudah bisa menganggap bahwa perbedaan ini adalah hal yang sudah lama terjadi.

Meski berat, dan banyak umat Islam yang merasa sedih dan kecewa kenapa hari raya berbeda, atau hari masuk puasa berbeda dlsb, namun sebenarnya kita sudah mulai masuk untuk saling memahami di antara yang pihak berbeda. Bahkan, ternyata perbedaan ini tidak lagi menghadap-hadapkan Muhammadiyah dan NU, karena pesantren-pesantren NU yang menggunakan hisab juga ada, tidak hanya satu, namun beberapa. Tokoh atau ulama NU juga sudah mau memahami bahwa hisab itu ya bisa menjadi metode sebagaimana dikatakan oleh Gus Baha.

Sementara ulama terkenal Muhammadiyah seperti Buya Hamka, konon juga bisa menerima ru’yah. Buya Hamka dijadikan referensi teman-teman NU. Di samping mulai tumbuhnya kesaling-pahaman antara mereka yang menggunakan hisab dan mereka yang menggunakan ru’yah, namun dari kedua kelompok ini ada saja yang merasa bahwa perbedaan itu bisa disatukan, bisa dipertemukan. Kedua mereka ini mengadvokasi bahwa pandangan mereka yang seharusnya dipakai. Argumentasi sains dan sosial politik dipakai oleh keduanya, selain argumentasi teologis sudah barang tentu menjadi dasar dari semuanya.

Namun, sejak adanya siding Isbat, ada kesan bahwa pemerintah lebih mengakomodasi pendekatan atau metode ru’yah dibandingkan dengan metode hisab. Akibatnya apa, teman-teman yang memakai metode hisab merasa tak dipertimbangkan dan teman-teman yang memakai metode ru’yah merasa cara merekalah yang harus dipakai karena sudah melibatkan proses rapat penetapan bersama (isbat).

Muhammadiyah sebagai pemakai hisab menganggap bahwa sidang Istbat tidaklah mengikat. Lalu, mereka yang menganggap bahwa Isbat itu keputusan pemerintah –padahal bukan keputusan pemerintah tapi keputusan Ormas—mengaggap bahwa mereka yang berbeda dengan hasil Isbat menganggap mereka tidak patuh pada keputusan ulil amri atau hakim atau pemerintah. Dipakailah kaidah fikih, al-hakim yarfa’ul al-khilaf. Hakim di sini bisa diterjemahkan ke dalam dua versi, pertama hakim dalam pengertian pemerintah dan hakim dalam pengertian hakim atau qadhi yang keputusannya memang mengikat kedua belah pihak yang berkonflik di pengadilan.

Namun, apakah pemakaian kaidah fikih itu bisa diterima seratus persen di kehidupan praktis kita di Indonesia? Sudah barang tentu tidak karena itu kaidah fikih. Di negeri kita, kaidah fikih bukan norma hukum jadi jika ada yang menggunakan sebagai argumen maka argumen itu ya untuk masyarakat, bukan untuk level kebijakan pemerintah.

Dulu pada zaman Suharto, pihak yang banyak berbeda dengan keputusan pemerintah adalah pihak NU. Pada zaman ini NU di bawah kepemimpinan Gus Dur berada dalam posisi yang kritis terhadap negara. Argumen yang dipakai pada saat itu ya sama bahwa NU dan Gus Dur harus memahami bahwa al-hakim yarfa’ul khilaf,” tapi teman-teman NU sebagian besar tetap lebaran pada perhitungan ru’yah. Sementara posisi teman-teman yang memakai hisab lebih sering berlebaran berdasar keputusan pemerintah. Ini adalah sejarah kita yang tidak perlu kita lupakan dan hindarkan sebagai bagian dari kekayaan dan dinamika kehidupan sosial dan politik keislaman di Indonesia.

Kedua, jika kita pahami secara seksama dari masa ke masa maka kedua belah pihak yang bertentangan itu sama-sama menganggap baik hisab maupun ru’yah adalah bagian dari “keyakinan” keagamaan. Kedua belah pihak saling mempertahankan metode mereka masing-masing karena metode-metode bagi mereka adalah bagian dari prinsip keagamaan. Karena itu, saya mengusulkan agar jalan keluarnya tidak memakai jalan teologis, namun kebebasan beragama (religious freedom).

Dalam pandangan ini, baik mereka yang memakai ru’yah dan mereka yang memakai hisab dipandang oleh negara sebagai jalan mereka melaksanakan keyakinan dan agama mereka masing-masing.

Lalu bagaimana pemerintah menjadi penengah dalam konteks ini? Kembali kepada konstitusi kita apakah peran negara dalam kehidupan kebebasan beragama? Konstitusi kita memberikan jaminan pada kebebasan beragama, baik itu di kalangan Islam maupun dengan kalangan non-Islam.

Saya setuju dengan libur nasional resmi dua hari, maksudnya jika di antara umat Islam berbeda jatuh hari rayanya, maka mereka dapat semua. Sebagai catatan, perbedaan hari raya sudah lama terjadi dan bahkan kembali ke sejarah masa lalu Islam juga terjadi di kalangan ulama yang berbeda pendapat dan ini biasa saja bahkan menjadi rahmat. Jika perbedaan ini dasarnya adalah keyakinan mereka, kenapa harus ada upaya mereduksi keyakinan-keyakinan yang berbeda tersebut. Justru obsesi penyatuan hari raya malah mengurangi kedewasaan kita dalam hal perbedaan ini.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.