Jumat, Maret 29, 2024

Kursi Kristen, Kursi Islam: Contoh Sesat Pikir Yahya Waloni

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Yahya Waloni tidak berhenti untuk terus membuat kontroversi dalam kegiatan dakwahnya. Kontroversi terbaru kini yang diperkenalkan adalah benda ternyata beragama. Dia sebut kristen kursi Gereja (Kristen) vs kursi Islam. Kursi yang sudah disediakan oleh untuk tempat duduknya dalam sebuah acara dakwahnya ternyata ia anggap sebagai kursi Gereja. Karena kursi kayu yang didudukinya berbusa.

Dia minta kursinya diganti dengan kursi kayu yang keras yang disebut dengan kursi Islam. Karena Islam menurutnya suka yang keras-keras. Jelas, cara pikir kayak begini mencerminkan ketidaktahuannya tentang Islam. Nampaknya, orang seperti Yahya Waloni memang sengaja kontroversial karena itu yang bisa membuatnya memiliki pendengar dan audien. Anehnya, fenomena asal bicara seperti ini kenapa kerap terjadi pada pendakwah-pendakwah mualaf.

Pertama, dengan mengatakan ada kursi gereja dan kursi Islam, sebenarnya dia tidak apa hakikat agama dan untuk siapa agama itu diturunkan. Siapa di alam semesta ini yang bisa beragama atau siapa yang menjadi sasaran. Beragama, siapa yang keagamaannya diterima dan tidak diterima. Manusia lah di bumi ini yang terkena seruan dan beban (taklif) untuk beragama. Itu pun di dalam konsep Islam, Allah memberi pilihan bebas kepada manusia apakah manusia itu memilih beriman atau memilih inkar, sudah bareng tentu, dengan konsekwensinya masing-masing.

Hewan dan benda-benda, meskipun ciptaan Allah, itu tidak ada tuntutan bagi mereka untuk beragama, untuk meyakini Tuhan. Jadi, kalau benda-benda mati seperti kursi disemati atau diberi identitas agama atau hal-hal yang berkaitan dengan agama, maka itu jelas-jelas cara berpikir yang mengada-ada.

Saya memandang bahwa dia sengaja melakukan itu untuk mendapatkan tanggapan dan respon dari para pendengar dan pendukungnya. Sudah barang tentu respon yang emosional. Provokasi seperti ini akan bahaya kalau dia terus lanjutkan dalam dakwahnya karena cara ini bisa membuat hubungan antar agama di akar rumput, terutama di tempat di mana dia berdakwah bisa disharmonis dan becah belah.

Masalahnya, model Yahya Waloni yang lain juga banyak. Ini masalah ruwet dalam penyelenggaraan dakwah di ruang publik yang selama ini tidak ada aturan. Pendakwah model Yahya Waloni juga memperlihatkan kepada orang banyak tentang kelemahan sumber daya manusia pendakwah Muslim kita. Bagi orang di luar, kenapa orang berdakwah dengan kualitas seperti itu masih mendapat tempat di masyarakat kita dan masih ada pendengar dan penggemarnya juga. Saya sering mengatakan bahwa fenomena seperti ini justru bisa menjadi polusi bagi dakwah.

Kedua, penyebutan kursi gereja (Kristen) dan kursi Islam itu sepintas nampak sederhana, namun jika kita pikirkan secara mendalam hal itu memiliki implikasi yang mendalam. Di balik pernyataan seperti itu ada kesan jika Yahya Waloni ingin membenturkan agama yang pernah diyakini dan agama baru yang kini dia yakini. Bahkan rasa permusuhan dia pada agama lamanya itu terlihat melalui eskpresi dia dalam soal agama kursi tadi.

Secara umum, apa yang diungkapkan oleh Yahya Waloni memang menunjukkan bahwa sasaran tembak para pendakwah di Indonesia adalah kelompok Kristen. Kristen dianggap oleh pendakwah model Yahya Waloni sebagai rival utama Islam. Kristen dianggap sebagai agama yang menduduki peringkat utama mengancam Islam di Indonesia.

Karenanya, Kristen selalu menjadi agama yang disebut di depan dalam konteks persaingan agama-agama di Indonesia. Yahya Waloni harus tahu bahwa sejarah Islam-Kristen di Indonesia bisa dikatakan cukup baik. Pada masa awal-awal kedatangan agama-agama itu bisa dikatakan antara keduanya berkompetisi secara damai. Masing-masing agama melakukan ekspansi untuk mendapat umatnya.

Bahkan, jika kita tilik sejarah awal tidak pernah ada kejadian benturan fisik (perang) antar Islam dan Kristen di Indonesia. Sejarah Islam-Kristen Indonesia sangat berbeda dengan sejarah Islam-Kristen di Eropa atau di wilayah lain seperti Afrika. Karenanya, dalam konteks ini, pengungkapan pengalaman pribadi Yahya Waloni pada agama yang dia peluk sebelumnya untuk dia publikkan itu jelas-jelas tindakan yang tidak fair. Seolah-olah semua orang ingin diajaknya kepada urusan pribadi dia, merasakan pengalamannya, padahal publik belum atau sama sekali tidak tentu memiliki pengalaman dan imaginasi seperti yang dia miliki.

Dakwah adalah pekerjaan publik karena itu dilakukan untuk mempersuasi publik agar publik mengikuti apa yang dikatakan oleh si pendakwahnya. Karenanya itu hal-hal personal atau pribadinya yang dibawa ke ruang publik layaknya adalah hal-hal yang baik dan memiliki pesan rahmatal lil alamin. Jika dia membawa hal-hal pribadinya ke publik, apalagi mengajak dan menyeru ruang publik agar membenci agama yang dia peluk sebelumnya maka itu sama dengan melakukan agitasi dan penciptaan permusuhan di ruang publik pada pihak yang tidak terkait dengan urusan dia.

Ketiga, sekali lagi saya berpendapat jika dakwah-dakwah seperti ini terus berkembang di masyarakat kita maka saya tidak akan heran jika lamban laun hubungan antara Islam dan Kristen atau Islam dan agama-agama lain akan mengalami degradasi. Apa yang kita bayangkan tentang hidup damai saling berdampingan bisa terkikis dengan model penceramah seperti Yahya Waloni.

Di negara multi-agama seperti Indonesia, sudah barang tentu, dakwah model Yahya Waloni lebih menjadi ancaman serius daripada menjadi harapan hidup bagi negeri ini. Kalau tidak ada upaya bersama untuk memperbaiki mutu dakwah maka yang akan merugi kita semua. Di sini lah saya setuju jika masing-masing agama di Indonesia melakukan peningkatan mutu pengetahuan bagi para preachers atau pendakwah mereka masing-masing. Negara dalam hal ini bisa memberikan supportnya, penyediaan sarana prasarana dan orang-orang yang ahli di masing-masing agama untuk melakukan peningkatan mutu dakwah ini.

Sebagai catatan, maraknya dakwah keagamaan di tengah-tengah masyarakat kita pada satu sisi menunjukkan gairah keagamaan yang tinggi pula, namun, sudah barang tentu dakwah yang berkualitas, bukan dakwah yang asal-asalan. Dakwah asal-asalan ini harus dihadapi dengan gerakan dakwah yang benar, yang memberi respon pada dakwah asal-asalan, agar dakwah asal-asalan tersebut tidak dianggap sebagai dakwah yang benar di lingkungan masyarakat.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.