Sebuah Kapel di Depok didatangi oleh sejumlah orang yang memprotes adanya bangunan ini yang digunakan untuk beribadah. Kapel ini konon memiliki persoalan soal perizinannya. Kapel yang digeruduk massa sekitar 50-60 orang ini bernama Kapel GBI. Lokasinya di daerah Cinere yang secara administratif menjadi wilayah Depok. Warga setempat diberitakan menolak mentah-mentah keberadaannya.
Warga yang menggeruduk dan mendorong Kapel yang berupa bangunan ruko. Persyaratan administrasi yang dipahami oleh masyarakat yang menggeruduk adalah soal izin. Kapel ini mereka anggap gereja dan karenanya izin sesuai dengan SKB 2006 harus menempuh izin dengan prosedur tertentu. Pihak Kapel konon sudah meminta izin namun izin yang diurus mungkin bukan izin mendirikan gereja karena kapel bukanlah gereja.
Peristiwa ini menyebabkan reaksi dari pelbaga kalangan tidak hanya dari pemerintah daerah Depok, namun juga pemerintah pusat.
Tanggapan Kemenag, Yaqut Cholil Qaumas cukup simpatik. Dia mempersilahkan Kantor Kemenag setempat untuk dijadikan tempat ibadah. Pada satu sisi Kemenag meminjam, namun pada sisi lain, namun Menteri Agama mengatakan jika soal pemindahan Kapel ini masih menjadi pembicaraan. Dia merasa optimis ada jalan keluar.
Apa yang ingin saya sampaikan di sini sebenarnya ada dua. Pertama, Depok sebagai wilayah yang sering terjadi problem relasi antar agama dan kedua mengapa jawaban pemerintah selalu sama dalam masalah rumah ibadah minoritas.
Soal Depok yang menjadi wilayah di mana hubungan antar umat beragama sering terjadi ini sebenarnya menjadi pertanyaan terus menerus di kalangan kita. Sejak kapan sebenarnya Depok menjadi wilayah yang masyarakat mayoritas melakukan protes atas rumah ibadah kelompok minoritas.
Hal ini sebenarnya bukan dugaan, namun hal ini dibuktikan secara riset. Setara Institute menyatakan jika Depok menduduki tingkat tertinggi kota intoleran. Urutan kedua Banda Aceh, lalu ketiga, Cilegon, berikutnya berturut-turut Pariaman, Langsa, Sabang, Padang Panjang, Padang, Pekanbaru, dan lalu Makassar.
Menurut Setara Institute, posisi Depok sebagai kota intoleran tidak mengalami perubahan selama tiga kali riset. Wali Kota Depok Mohammad Idris menanggapi jika temuan Setara Institute tidak sesuai dengan kenyataan. Idris justru melihat hal yang berbeda. FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) berjalan dengan baik. Hal yang menarik bagi Wali Kota Idris, jika ukuran yang digunakan oleh Setara Institute ini adalah penyegelan masjid Ahmadiyyah, maka menurutnya itu tidak tepat. Bagi Idris penyegelan masjid Ahmadiyah sama sekali tidak melanggar UU. Bahkan menurutnya, fatwa MUI memang memiliki fatwa pelarangan Ahmadiyah.
Namun pernyataan Mohammad Idris bahwa intoleransi Depok ini yang tidak sesuai kenyataan ini justru kasus Kapel GBI ini ingin mengujinya. Apakah memang benar jika Kota Depok itu toleran?
Mohammad Idris dalam pernyataannya mengatakan jika janganlah kasus Kapel GBI ini dikait-kaitkan dengan status Depok sebagai kota paling tidak toleran sebagaimana dinyatakan oleh Setara Institute. Namun sekali lagi, mestinya, jika kota Depok baik-baik saja, maka kasus-kasus seperti yang dialami oleh GBI tidak pernah atau terulang terjadi. Bahkan menurut Mohammad Idris massa yang datang ke Kapel GBI ini bukan mau menyerang atau nyeruduk namun mereka ingin melihat saja. Dari pernyataan ini terlihat bahwa Pak Wali Kota ingin membela warganya yang diberitakan menggreduk Kapel tersebut, namun dia tidak membela warga yang terancam hak ibadahnya.
Peristiwa Kapel GBI ini sebenarnya bukan hal pertama kali terjadi di wilayah Depok. Ada tahun 2022, pernah ada dugaan tindakan diskriminatif pada siswa SMAN 2 Depok dalam kegiatan Rohani Kristen mereka. Peristiwa ini kemudian diakhiri dengan surat pernyataan pembina Rohani Kristen yang menyatakan jika tidak ada diskriminasi di SMAN 2 Depok.
Jadi, jika Setara Institute menobatkan Depok tiga kali berturut-turut sebagai kota intoleran itu menjadi terasa masuk akal. Mestinya, peristiwa-peristiwa intoleran yang sering terjadi di Depok dan ditambahkan dengan penyematan Setara Institute Depok sebagai kota paling intoleran menjadi hal yang perlu ditanggapi oleh pemerintah kota.
Meskipun demikian, saya melihat bahwa Wali Kota Depok nampaknya tetap beranggapan bahwa kotanya tidak sepertu itu. Sudah barang tentu yang digunakan digunakan oleh Wali Kota Depok adalah perspektif pemerintah atau penguasa setempat. Sudah barang tentu itu hak pemimpin pemerintahan daerah Depok untuk menjawab ke publik soal anggapan Depok sebagai kota paling intoleran.
Namun pada sisi lain, penilaian soal tingkat intoleransi dari lembaga-lembaga non-pemerintah juga bebas dilakukan. Sekuat apapun yang dinyatakan oleh Wali Kota Depok untuk menolak kondisi toleransi di kotanya akan tetap tidak efektif apabila lembaga-lembaga tersebut tidak memberikan nilai dan predikat yang berbeda, apalagi selama tiga tahun berturut. Ini artinya, kota Depok dilihat tidak mengalami perubahan dalam hal tingkat intoleransinya. Paling tidak ini menurut data Setara Institute.
Mengapa di daerah-daerah selain Depok juga sering terjadi permasalahan serupa. Saya berpandangan jika peran pemerintah memang kurang clear soal rumah ibadah ini. Kementerian Agama terutama kantor-kantor wilayahnya nampaknya tidak mampu menjelaskan kepada masyarakat soal aturan dan kesepakatan tentang pembangunan rumah ibadah. Apa kategori rumah ibadah itu sendiri harus benar-benar dijelaskan oleh Kantor-kantor wilayah kementerian agama sehingga di kalangan masyarakat tidak timbul persepsi soal rumah ibadah.
Belajar dari kasus Depok, masyarakat menganggap bahwa setiap ruang yang dijadikan sebagai tempat ibadah, rumah, kantor atau lainnya, itu dipahami sebagai rumah ibadah. Padahal Kapel dalam definisi kalangan Kristiani itu bukan gereja (rumah ibadah resmi).
Masyarakat awam sudah barang tentu banyak yang tidak memahami masalah seperti ini karena urusan sehari-hari mereka saja sudah rumit. Pengetahuan akan agama orang lain adalah hal yang mewah bagi mereka karena mungkin mereka anggap hal ini bukan bagian dari kebutuhan pokok mereka. Siapa yang bertanggung jawab akan masalah ini? Tidak ada pihak lain selain pihak pemerintah dalam pelbagai levelnya. Kementerian Agama dalam ini bertanggung jawab untuk menjelaskan hal-hal seperti ini karena keberadaan kementerian ini memang salah satunya ditujukan untuk menangani masalah keharmonisan dan toleransi beragama. Jangan setiap ada masalah beginian, jawaban Menteri Agama selalu sama.
Sebagai catatan, lembaga-lembaga pemerintah—kota depok dan kementerian agama, nampaknya kurang maksimal melaksanakan perananya untuk menjadi pendidik dan penjelas masalah yang rumit tentang keharmonisan dan toleransi umat beragama. Kementerian Agama dan Wali Kota Depok, penanggungjawab utama masalah ini, harus memiliki jawaban yang tidak biasa saja untuk setiap masalah intoleransi yang muncul.