Meskipun sudah meminta maaf, namun tindakan DKM al-Amanah, yang bernama Abdul Rahman yang mengusir seorang jamaah bermasker dari masjid boleh dikatakan sebagai tindakan yang aneh. Alasan Ustadz Abdul Rahman yang mengusir seorang jemaah yang memakai masker karena dia tidak ingin masjid disamakan dengan pasar. Maksudnya, dia tidak ingin melihat masjid sebagai tempat yang riuh dan kotor seperti pasar.
Ustadz Abdul Rahman juga mengatakan jika semua orang yang masuk masjid pasti diberi perlindungan dan keamanan. Ustadz Abdul Rahman ingin memberikan pesan secara tidak langsung lewat Jemaah yang diusirnya jika orang yang masuk ke dalam masjid pasti tidak akan terkena Covid-19.
Sepintas alasannya masuk akal jika itu tidak dia katakan pada masa pandemi seperti sekarang ini. Abdul Rahman dalam ini juga menutup mata pada kenyataan jika orang bisa tertular Covid-19 di mana saja, termasuk di dalam masjid. Mungkin pengurus masjid seperti Abdul Rahman ini contoh dari penegurus masjid yang tidak memahami pesan agama secara baik.
Meskipun tindakan ini dilakukan oleh salah seorang oknum DKM, namun nama masjid menjadi tercoreng. Seolah-olah masjid adalah tempat orang-orang tertentu saja. Seolah-olah masjid itu milik pengurusnya saja, sehingga jema’ah bahkan orang yang mungkin mampir saja ke masjid tersebut untuk shalat bisa diberlakukan sebagaimana yang terjadi pada pemakai masker di masjid al-Amanah.
Masjid memang hal yang penting dan menarik karena masjid adalah tempat yang strategis bagi umat Islam terutama karena keberadaannya sebagai pusat berkumpul masyarakat Muslim. Masjid tempat ibadah shalat wajib lima waktu dan juga shalat sunnah serta kegiatan-kegiatan lain.
Pendek kata, masjid menjadi pusat aktivitas umat Islam. Karena begitu pentingnya makna masjid, sehingga semenjak tahun 1972, ada inisiatif nasional, terutama Kementerian Agama Indonesia untuk membentuk semacam organisasi, yang isinya kumpulan dari pelbagai kalangan yang concern untuk memajukan kemakmuran masjid.
Pada mulanya DKM memang murni upaya untuk memajukan dan memakmurkan masjid. Namun pada perkembangan selanjut muncul dinamika kontestasi dalam kepengurusan masjid. Artinya, pada satu sisi, pembentukan DKM merupakan upaya yang baik karena dengan demikian, masjid memiliki pengurus yang pasti, pengurus yang mengelola seluk beluk urusan untuk kemakmuran masjid. Masjid butuh bersih, butuh membayar listrik, dan butuh hal-hal lainnya dan ini semua membutuhkan pihak yang mengurus dan mengelolanya.
Namun, pada sisi yang lain, terbentuknya kepengurusan masjid, DKM-DKM, menyebabkan masjid bagaikan birokrasi pemerintahan kecil. Artinya, di dalam masjid ada seperangkat prosedur, aturan, dlsb, yang harus ditegakkan. Masjid menjadi ruang yang kurang membebaskan lagi karena mereka yang ingin masuk masjid harus mematuhi aturan yang diciptakan oleh DKM.
Kondisi yang demikian menyebabkan betapa masjid itu rawan untuk dipolitisasi oleh para pengurusnya. Mungkin kita semua masih memiliki ingatan yang segar betapa masjid yang harusnya memeluk dan menerima malah menjadi memusuhi dan menolak jemaahnya. Pemilu 2014, Pemilu Gubernur DKI 2017 juga Pemilu 2019 adalah masa-masa di mana masjid menjadi ruang yang banyak digunakan oleh para pengurusnya untuk kepentingan politik mereka.
Bahkan pada Pemilu Gubernur Jakarta 2017, ada pengurus sebuah masjid yang dengan terang-terang membuat spanduk yang berisi menolak menyembayangi pendukung Ahok yang meninggal. Para pengurus ini, karena ambisi politiknya mereka, harus menyatakan diri untuk melanggar hukum Islam soal kewajiban bagi yang hidup untuk mensholati mereka yang meninggal. Tindakan yang sebenarnya ditolak oleh nilai-nilai kemasjidan itu sendiri. Namun karena hati mereka dipenuhi oleh dendam politik sehingga mereka rela untuk melakukan tindakan yang tidak dibenarkan di dalam agama untuk membela marwah politik mereka.
Ya, itu yang terjadi dengan pengalaman buruk DKM-DKM masjid dan sebenarnya itu tidak boleh terjadi lagi. Pada tingkatan yang lain, kita melihat apa yang terjadi pada DKM al-Amanah nampaknya hampir serupa, yakni DKM yang memaksakan cara pandang lain kepada para jemaahnya.
Bahkan, ada sebagian kelompok keagamaan dan politik yang memiliki agenda untuk mengokupasi masjid-masjid komunitas-komunitas keagamaan lain. Jalan yang mereka tempuh adalah melalui DKM. Tadinya menjadi anggota DKM bisa, lalu di dalamnya bermanuver, lalu ketika kekuatan sudah ada, mereka mengambil alih masjid yang bukan mereka bangun dari awal. Banyak peristiwa seperti ini terjadi. Misal, tadinya sebuah masjid itu terbiasa dengan cara ibadah ala Nahdlatul Ulama, namun karena ada pengurus DKMnya yang memiliki afiliasi keagamaan Salafi dan Wahabi akhirnya, ibadah yang biasa dipraktikkan di keyakinan Nahdlatul Ulama misalnya sholat subuh pakai qunut tidak diperboleh di dalam masjid tersebut.
Dulu, sebelum Orde Baru, masjid itu dikeloka tidak sekaku sebagaimana pengelolaan masjid pada masa DKM ini. Masjid pada masa itu dikelola secara lentur dan jauh dari kesan birokratis. Kepemimpinan masjid berpusat pada figur kyai atau imam masjid. Seringkali tidak hanya satu kyai namun kyai-kyai lain dengan mempertimbangkan aspek-aspek perwakilan. Mereka juga mempertimbangkan kebajikan lokal (local wisdom).
Salah satu kelebihan masjid pra-DKM, karena pimpinannya kyai maka aspek pemahaman keagamaan menjadi benar-benar dikuasai oleh mereka. Hal ini berbeda pada era DKM, di mana pengurus DKM biasanya terdiri orang-orang yang secara keagamaan tidak ahli. Namun kadang-kadang, mereka menempatkan diri sebagai kyainya atau orang yang tahu ahli agama. Kasus DKM al-Amanah nampaknya seperti itu. Dengan berbekal ayat Qur’an yang hanya dipahami begitu saja sehingga dia bisa mengambil keputusan untuk menegusir jemaahnya keluar dari masjid.
Sebagai catatan, kita semua meyakini bahwa masjid adalah tempat bersujud umat Islam. Masjid harus menjadi tempat yang terbuka bagi semua orang untuk beribadah. Masjid juga menjadi tempat yang aman bagi jemaahnya. Karena itu, dalam era pandemi, di mana yang membuat aman adalah menjaga protokol kesehatan, maka hendaknya itulah yang didahulukan dan dilaksanakan. Para DKM selain harus memahami aspek pengelolaan masjid, mereka juga harus mengetahui ajaran agama. Jika mereka tidak tahu, maka tanya kepada kyai atau ahli agamanya. Jangan membuat keputusan sebagaimana yang dilakukan oleh DKM al-Amanah.