Keluhan tentang mutu dakwah kita yang rendah masih saja mengemuka ke permukaan. Tidak hanya berkaitan dengan konten-konten yang disampaikan di dalam dakwah, keluhan dijumpai juga dalam gaya pendakwah dalam menyampaikan dalam ceramahnya. Gaya pendakwah yang intimidatif dan menganggap bahwa materi dakwah dialah yang paling benar adalah gejala umum dalam dakwah kita sehar-hari baik dakwah di langsung maupun dakwah melalui media sosial.
Model dan gaya dakwah mengumpat dan menghardik menjadi gambaran aktivitas dakwah para pendakwah kita, sebagaimana gaya Nur Sugik, terutama mereka yang memiliki kecenderungan politik identitas. Yang penting bagi pendakwah model gini adalah menghardik lebih dulu. Karenanya, tidak heran jika para mubalig yang caranya seperti ini banyak yang berurusan dengan kasus hukum. Tidak hanya berurusan, namun juga masuk penjara.
Sayangnya, sebagian kalangan dari kita, memang tidak besar jumlahnya, menganggap gaya seperti itulah yang disebut dengan dakwah. Jika ada dakwah yang retorikanya klemar-klemer, meskipun isinya bagus, karena tidak ada agitasi, mereka tidak menyebut sebagai dakwah. Bahkan penyampai dakwah yang demikian ini mereka sebut sebagai ulama. Pandangan sebagian masyarakat demikian ini tercipta karena asmosfer dakwah kita yang memang sudah lama dipenuhi oleh pemaksaan dan kebencian baik pada sesama Muslim maupun pada non-Muslim.
Fenomena pendakwah kasar dan agitatif sebenarnya model dakwah yang tidak mencontoh pada model dakwah Rasulullah. Bagaimana model dakwah Nabi Muhammad yang harus dijadikan sebagai pedoman menjalankan dakwah bagi para mubalig kita?
Muhammad Sayyid Thantawi (mantan Imam Besar al-Azhar dan Mufti Dar al-Ifta Mesir) dalam sebuah catatan kecilnya, La Ikraha fi al-Din, memberikan gambaran di mana pemaksaan agama dan keyakinan itu memang terjadi di dalam menyampaikan Islam di dalam kehidupan sehari-hari. Rupanya, fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di dunia Islam lainnya seperti Mesir dan negara-negara Timur Tengah.
Pertama, al-Qur’an menyatakan bahwa pemaksaan untuk mengikuti sebuah keyakinan atau akidah itu tidak ada manfaatnya. Beragama dan berkeyakinan itu masalah hati dan kecenderungan jiwa yang dibimbing oleh kebebasan. Menurut Sayyid Thanthawi, antara keyakinan dan pemaksaan itu dua hal yang bertentangan, keduanya juga tidak bisa berkumpul (al-ikrah wa al-i’tiqad, naqidlani la yajtami’ani). Karenanya, jika ada orang yang memaksakan keyakinannya pada orang lain, dengan cara mengancam misalnya kalau tidak menuruti maka akan masuk neraka Jahanam, maka itu cara yang tidak dianjurkan oleh Islam.
Tuhan sendiri tidak memaksa umat manusia untuk beriman sebagaimana ayat: “apabila Tuhanmu berkekehendak maka seluruh orang di atas bumi akan beriman semuanya.” Namun ini Tuhan tidak berkehendak, apalagi memaksakan. Sayyid Thanthawi mengatakan jika tugas Rasul itu menyampaikan (berdakwah), mengingatkan (tabsyir), membawa kabar gembira dan juga memberi kabar yang tidak menggembirakan.
Tidak ada cara dakwah Nabi yang memaksakan dan membelenggu untuk orang lain agar masuk Islam. Menurut Sayyid Thantawi, syariah Islam itu menghindarkan ucapan, perbuatan dan juga keyakinan yang datang karena pemaksaan. Biarlah keyakinan itu datang pada seseorang karena pilihan bebas mereka, kesenangan mereka, dan penerimaan mereka.
Jika saya kontraskan model dakwah Nabi Muhammad, sebagaimana digambarkan Sayyid Thanthawi, dengan kenyataan dakwah kita di lapangan maka praktinya berbeda. Di lapangan, dakwah tidak untuk memeluk orang, namun menjauhkan orang, tidak untuk menyatukan namun memisahkan, tidak untuk memberikan pilihan kebebasan namun memaksakan dan membelenggu. Lihat saja model dakwah yang dilakukan oleh Dzakir Naik. Dengan cara menyerang kitab suci agama lain dia sebenarnya ingin memaksakan agar pengikut kitab suci agama lain mengikutinya. Cara dakwah yang demikian ini jelas tidak bisa lakukan. Jangan dengan orang yang berbeda keyakinan, dengan keluarga sendiri seperti pada anak kita tidak diperkenankan memaksakan keyakinan kita.
Di dalam sebuah sebab peristiwa yang menyebabkan ayat “la ikraha fi al-din” (tidak ada paksaan dalam beragama) dan seterusnya terdapat cerita yang sangat menarik. Diceritakan, ada seorang laki-laki dari Bani Salim bin Auf yang memiliki dua anak. Keduanya tidak beragama Islam dan si bapaknya tadi sudah masuk Islam. Lalu, si bapak ini tanya ke Nabi Muhammad, apakah saya harus memaksa kedua anak saya untuk masuk Islam?
Lalu turunlah ayat di atas, “la ikraha fi al-din… Jelas ini merupakan pesan yang inklusif bagi kita semua yang sering menjajakan agama dengan cara yang memaksa. Ruang media sosial kita penuh dengan konten-konten dakwah yang memaksa pihak lain (the others). Hal ini bisa terjadi karena sebagian orang mengatakan bahwa dakwah itu jihad. Dakwah itu memang bagian dari perjuangan (jihad), namun dakwah tidak boleh dengan cara coercive (memaksakan). Dakwah itu persuasi karenanya masuk akal apabila dakwah tidak boleh dilaksanakan dengan cara-cara antagonistik.
Tingginya polarisasi dan disintegrasi di dalam masyarakat kita, terutama masyarakat Muslim, itu disebabkan oleh kegagalan dakwah kita yang memakai model jihad di atas. Obyek dakwah dianggap sebagai obyek perang. Perbedaan keyakinan disikap dengan penyerangan, bukan disikapi dengan pendekatan yang baik. Bagaimana satu sama lain tidak semakin memanas apabila psikologi dakwahnya adalah psikologi penaklukan. Jadi ungkapan-ungkapan yang ofensif di dalam corong dakwah ditujukan untuk menaklukkan keyakinan pihak lain. Hal yang paling kongkrit selain menyebabkan polarisasi, dakwah antagonis tidak menyebabkan orang kita menjadi lebih maju dan sejahtera.
Sebagai catatan, kita sekarang harus memulai mengubah model dakwah kita. Cara memaksa, menaklukkan, mengancam, dlsb, itu sudah tidak zamannya lagi. Orang akan lari dengan cara seperti itu.