Sabtu, Oktober 5, 2024

Ketika Negara-negara Islam Tidak Cukup Berprestasi dalam Olahraga

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Perhatian kita belum lama ini tersedot sedikit ke pesta olahraga dunia di Jepang. Negeri kita baru merayakan medali emas untuk cabang Badminton. Meskipun baru satu peraihan emas tapi cukuplah menggembirakan bagi kita. Dalam kesempatan ini saya ingin mencoba melihat mengapa negara-negara Islam –yang secara ideologis memiliki sistem politik Islam—memiliki kendala untuk mengembangkan olehraga baik pada level regional maupun internasional.

Sudah barang tentu ada jenis olahraga yang mereka maju seperti sepak bola, namun sepak bola ini merupakan ekspresi patriarkis mereka yang memang menjadi khas negara-negara Islam. Sejauhmana sebenarnya agama mempengaruhi performance mereka dalam dunia olahraga secara umum? Perspektif yang saya gunakan sudah barang tentu perspektif teologis.

Secara teologis, di dalam ajaran Islam badan yang sehat dan kuat itu dianjurkan. Ada pepatah yang terkenal, al-aql al-salim fi jism al-salim, maknanya akal yang sehat terletak di dalam badan yang sehat. Ini bukan hadis maupun ayat al-Qur’an, namun oleh awam, pernyataan ini selalu mengemuka.

Ada beberapa hadis yang mendukung misalnya orang beriman yang badannya kuat lebih disukai oleh Allah daripada orang beriman yang badannya lemah. Bahkan ada sebuah hadis yang secara literal menyatakan ada tiga hal yang disunnah untuk diajarkan kepada anak yakni berenang, memanah dan berkuda. Hadis ini populer di kalangan salafi sehingga mereka banyak menyelenggarakan kegiatan memanah, berkuda dan juga berenang di sekitar Jakarta dan kota-kota lain.

Meskipun anjuran olah raga ini kuat, namun pelaksanaanya harus tetap berpegang pada syariah. Salah satu hal yang harus dipegang adalah keharusan untuk menutup aurat dalam berolah raga, apapun bentuk olah raga tersebut. Bagi kalangan laki-laki, aurat mereka lebih fleksibel, namun bagi perempuan, aturan aurat mereka sangatlah rigid.

Olahraga apa saja boleh dilakukan oleh perempuan asal mereka mematuhi ketentuan syariah. Sebagus apapun olahraga mereka, kalau tidak memenuhi syariah dalam hal penutupan, maka itu tidak dibenarkan secara agama, meskipun jenis olah raganya sendiri diperbolehkan.

Jadi, di dalam konteks negeri-negeri Islam, ketegangan antara aturan syariah dalam berolahraga dan aturan olahraga secara umum itu terjadi sehingga beberapa negara Islam tidak mengirimkan cabang olah raga yang sensitif pada pelanggaran syariah.

Hal yang menarik lagi, di negeri di mana kaum salafi mendominasi, seperti Saudi Arabia, persoalan olahraga bahkan tidak hanya terkait dengan aurat, namun lebih dalam lagi sebagai persoalan invasi Barat atas dunia Islam. Di dalam pemikiran kaum salafi ini, dunia Barat telah menjajah dunia Islam lewat macam-macam jalan, film, musik, dan juga olah raga.

Di sekolah-sekolah Saudi misalnya masih ada anggapan yang sangat kental jika olahraga di luar berkuda, memanah dan berenang, itu adalah olah raga Barat. Tidak memiliki dasar di dalam Islam. Sepakbola misalnya dianggap sebagai cultural attack atas dunia Islam. Orang-orang muda Islam Saudi yang gila bola dianggap sebagai orang yang mengalami kosongan dan degradasi moral. Hal ini misalnya dikemukakan oleh Hasan Muhammad Hasan dalam kitabnya berjudul Wasa’il Muqawamat al-Ghazw al-Fikr li al-Alam al-Islami, terbitan 1981.

Hiyam Mulki, penulis lain, dalam kitabnya Thaqafatuna fi Muwajahat al-Infitah al-Hadari, terbitan tahun 1995 bahkan menilai jenis olah raga selain yang tiga di atas adalah bagian dari plot Zioanisme. Bahkan menariknya lagi, yang diharamkan dalam olah raga selain yang dianjurkan rasul di atas adalah bukan hanya atletnya namun juga kita yang menonton pertunjukan olahraga.

Seorang ulama salafi dari Lebanon Syaikh Faysal Mawlawi ketika menjawab pertanyaan bahwa orang yang nonton olahraga dianggap membuang waktu dia menyatakan jika kita diperintahkan Nabi untuk menghibur diri kita dengan hal-hal yang dilegalkan oleh syariah. Syaikh Muhammad Salih al-Munajjid bahkan secara langsung melarang pertandingan sepak bola karena dia anggap sepak bola tidak bermakna dan jenis hiburan. Sementara jenis hiburan yang melalaikan Tuhan itu jelas-jelas diharamkan.

Bahkan ada sebuah kejadian yang sangat menarik ketika ada seorang perempuan Muslim yang ingin menikah dengan seorang pemain sepak bola yang agamanya Islam juga namun merumput di Jerman. Tanggapan Muhammad Salih al-Munajjid atas kejadian perempuan ini adalah mengharamkannya untuk menikahi sang lelaki Muslim yang bermain sepak bola di Inggris. Mengapa? Karena pemain sepak bola ini, meskipun lelaki, auratnya diumbar dan akan membawa si istri untuk hidup di negeri kafir.

Hal yang lebih rumit lagi adalah cabang olahraga yang melibatkan perempuan. Ulama Salafi mengharamkan semua jenis olahraga yang mencampur jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Kalau ini terjadi, jelas ganda campuran Badminton kita, jika mengikuti aturan salafi tidak akan terjadi.

Sudah menjadi fatwa yang populer bahwa seorang Muslim perempuan tidak diperbolehkan ikut olah raga berenang jika bentuk tubuh mereka terekspos oleh pakaian renang yang tidak syar’i. Bahkan jika semua badan ditutupinya, maka pakaian yang dipakai oleh perenang tidak boleh membentuk tubuh. Di sini jelas, yang menjadi masalah bukan soal olahraganya, tapi apakah olah raga itu mengumbar aurat atau tidak. Ini sudah menjadi perdebatan lama di kalangan mereka, bukan rekaan kita belaka.

Sebagai catatan, berdasarkan paparan di atas, jelas pengembangan olah raga di negeri-negeri Islam, menghadapi semacam tantangan dari otoritas keagamaan mereka. Jika otoritas keagamaan mereka sangat kuat seperti di Saudi dan Qatar, maka jelas seluruh jenis olahraga yang dianggap keluar dari norma syariah mengalami tantangan berat. Ini bukan rekaan kita, namun kenyataan tidak hanya terjadi di negeri mereka, namun sudah mulai menjalar dan berkembang di kalangan olah ragawan di negeri kita tercinta.

Akankah gejala membawa ajaran Salafi dalam berolahraga terus menguat dan akhirnya menjadi tantangan pengembangan olahraga kita? Hal itu sangat tergantung kita semua, negara dan juga masyarakat secara umum. Keadaan ini tidak hanya melibatkan olahraga, namun juga kondisi kehidupan keagamaan secara umum, apakah kita mau melakukan proteksi pada olahraga kita dari pengaruh salafi wahabi ataukah tidak.

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.